Iman Herdiana
BANDUNG, kabarkampus – Reformasi 1998 tidak lahir tiba-tiba. Jauh sebelum 1998, sejumlah peristiwa mendorong terjadinya pembentukan wacana perlawanan. Mulai penembakan Santa Cruz, Dili, Timor Timur (kini Timor Leste) pada 1991 hingga peristiwa 27 Juli 1996.
Serangkaian peristiwa kekerasan yang dilakukan rezim Orde Baru itu menumbuhkan kesadaran politik mahasiswa, sebagaimana diakui Budi Yoga, salah satu aktivis 98 dari Universitas Parahyangan (Unpar).
“Kesadaran politik itu muncul dari peristiwa Dili (Santa Cruz), lalu rezim ini mulai masuk masa senjanya ketika masuk peristiwa 27 Juli. Kelihatan bagaimana semakin digunakannya kekerasan berarti semakin turun akal yang digunakan,” kata Budi Yoga, saat bincang santai “20 Tahun Reformasi” di Kaka Cafe, Jalan Sultan Agung Tirtayasa, Bandung.
Diskusi tersebut dihadiri sejumlah narasumber dari aktivis 98, diantaranya Priston Sagala, aktivis 98 dari GMNI, Irzal Yanuardi dan Furqan AMC, aktivis 98 dari Forum Aktivis Mahasiswa Unisba (FAMU).
Irzal Yanuardi menuturkan, gerakan mahasiswa 98 termasuk gerakan baru setelah 32 tahun negeri ini dibelenggu rezim Orde Baru. Mahasiswa yang terlibat masa itu kebanyakan masih polos politik namun punya cita-cita besar untuk melakukan perubahan. Mereka berangkat dari satu pemikiran yang sama, bahwa kekuasaan yang otoriter dan banyak melakukan penindasan di mana-mana itu harus dilawan.
“Perlu perlawanan yang cerdas mengingat Orde Baru yang dipimpin Suharto berada dalam posisi sangat kuat,” kata Irzal.
Sebagai gambaran, kata Irzal, istilah demonstrasi masa itu bisa dibilang menakutkan, apalagi demonstrasi menentang kekuasaan. Beda dengan zaman kini dimana demonstrasi sudah lumrah dilakukan.
“Dulu hanya sepuluh atau lima orang keluar dari kampus saja pasti ada teror dan segala macam. Itulah sebenarnya yang membangkitkan semangat bahwa memang dengan cara apa pun, dengan cara yang cerdas, kami harus melawan kekuasaan ini. Dan akhirnya sampai terjadi peristiwa yang benar-benar tidak pernah kami duga,” ungkap aktivis Forum Aktivis Mahasiswa Unisba (FAMU) ini.
Peristiwa lain yang kian mendorong mahasiswa 98 terus bergerak ialah tewasnya Moses Gatotkaca di Yogyakarta. Moses ialah mahasiswa peserta aksi yang menuntut reformasi. Dia tewas setelah terjadi bentrok dengan aparat.
Menurut Irzal, peristiwa Moses bersamaan dengan penculikan terhadap aktivis di Jakarta. Di saat yang bersamaan, Presiden Suharto sedang berkunjung ke Mesir.
Gerakan mahasiswa semakin meningkat pasca-penembakan aksi damai mahasiswa di kampus Trisakti Jakarta 12 Mei yang menewaskan Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Hendriawan Sie, dan Heri Hartanto.
Penembakan mahasiswa Trisakti memicu keresahan sosial di berbagai kota di Indonesia. Pada 13-14 Mei terjadi kerusuhan besar di Jakarta. Setelah itu, gerakan mahasiswa mampu membangun konsolidasi dan berhasil menjebol gedung DPR/MPR di Jakarta.
“Walaupun sebelumnya di Bandung, tanggal 12 Mei sudah mulai duluan pendudukan DPRD di Gedung Sate,” cerita Irzal.
Sementara Priston Sagala, aktivis 98 dari GMNI, menyatakan gerakan perlawanan mahasiswa tak lepas dari aktivitas angkatan sebelumnya, yakni angkatan 70 yang dikenal angkatan 77/78 dan angkatan 80 yang kemudian pararel dengan gerakan mahasiswa menuju 98.
Gerakan tersebut sebagai respons terhadap kekuasaan otoriter Suharto yang menimbulkan dehumanisasi di berbagai aspek. Ia mengatakan, Suharto tidak lagi komitmen atau konsisten mengemban amanat rakyat.
Waktu itu, Suharto didukung kekuatan militer dan modal asing. Selama 32 tahun Indonesia dan sumber daya alam maupun sumber daya manusianya mengalami penghisapan habis-habisan.
“Itu yang menimbulkan efek panjang dari satu kondisi masyarakat yang tidak berlkualitas. Kalau SDM tak berkualitas maka kadar kekritisan untuk menolak tekanan kekuasan ini tak terjadi,” kata Priston yang kini aktif mendampingi anak-anak jalanan.
Tetapi pemerintah yang tiran lambat laun mengundang perlawanan. Menurut Priston, perlawanan itu berupa demonstrasi, pendampingan kasus-kasus ketidakadilan yang menimpa masyarakat, buruh, nelayan, petani.[]