Nah, bila ada seorang “kritikus gadungan” di sini yang telah dengan gegabah mengatakan bahwa puisi Rumi tidak bertolak dari kedalaman nilai Al-Quran, pula kalah nilai estetiknya dari puisi neo-pujangga-baru karya seorang penyair “plat merah” Malaysia (apa buktinya?), sementara ia sendiri baru membaca sekadar puisi-puisi Rumi dari karya terjemahan dalam Bahasa Indonesia belaka, maka jelas sekali tudingan dan kritik ngawurnya itu sungguh tak berdasar. Jika ia ingin membuat perbandingan dalam konteks gaya puisi misalnya, maka ia mesti memahami dan membaca langsung puisi-puisi Rumi dalam Bahasa Parsi, bukan terjemahan dalam Bahasa Indonesia (apalagi hanya terjemahan yang buruk). Metode perbandingan sastra yang mendasar begini saja tak ia pahami, tapi sudah secara ngawur berani menyimpulkan tanpa pembuktian validitas argumen bahwa puisi Rumi di atas “kalah cepat” (istilah apa pula itu dalam konteks ars poetica?) dibanding dengan puisi seorang penyair Malaysia yang dipuja-pujanya itu (tanpa pembuktian yang benar).
Selanjutnya, dia pun sama sekali tak paham apa sebenarnya teori semiotika dan hipersemiotika dari Umberto Eco. Hal ini terbukti ketika dalam satu tulisannya ia menganggap “a theory of the lie” sebagai teori yang mengafirmasi “dusta” di dalam semiotika atau tindak semiotika. Prof. Gadungan itu justru sama sekali tak paham akan ironi, atau seperti kata Jean Baudrillard: “Seseorang yang telah kehilangan selera akan ironi.” Sekarang saya akan memberitahunya bahwa “Teori Dusta” di dalam semiotika Umberto Eco adalah semacam sarana analisis (umpama dekonstrkuksi) untuk membongkar bagaimana praktik-praktik “pembohongan publik” oleh otoritas-otoritas kuasa–baik kuasa politik atau modal atau rasial atau bahasa atau bahkan agama. Jadi “teori dusta” itu adalah semacam negasi, semacam kritik yang mungkin pedas sekali, terhadap praksis hagemoni dalam semiotika dan atau tindak semiotika. Ketika Umberto Eco dalam bukunya yang berjudul A Theory of Semiotics (1979) menyatakan bahwa semiotika adalah “teori yang bisa digunakan untuk berdusta”, itu tidak berarti secara afirmatif Umberto Eco menganjurkan berdusta. Sama halnya bila saya katakan bahwa “pisau bedah bisa digunakan untuk melukai orang”, pernyataan saya itu tidak bisa dimaknai bahwa saya telah menganjurkan melukai orang dengan pisau bedah. Pahamkah? Jika belum paham, silakan belajar lagi.
Terakhir, saya akan kutipkan langsung pendapat (dengan nuansa ironi yang kental) dari Umberto Eco dalam bahasa Italia. Moga Prof. Gadungan itu bisa menertawakan bagaimana ia sendiri justru telah melakukan praktik afirmasi terhadap teori dusta yang dikecamnya tanpa terlebih dahulu memahaminya dengan benar. Begini:
“C’è una nota storiella che narra come due cani si incontrino a Mosca; l’uno è grasso e ben pasciuto, l’altro magro e affamato. Il cane affamato domanda all’altro: “come fai a trovare da mangiare?” e l’altro, con abilità zoosemiotica, risponde: “facilissimo. Ogni mattina a mezzogiorno vado all’Istituto Pavlov e mi metto a sbavare; ed ecco che a quel punto arriva uno scienziato condizionato che suona un campanello e mi porta un piatto di zuppa”.
(Ada satu cerita terkenal yang mengisahkan bagaimana dua anjing bertemu di Kota Moskow; yang satu nampak gemuk dan cukup makan, yang lain kurus dan kelaparan. Anjing lapar itu bertanya kepada anjing gemuk, “Bagaimana kau bisa cukup makan?” Anjing gemuk itu, dengan kemampuan “semiotika kebun binatang”, menjawab riang: “Sangat mudah. Setiap pagi hingga sore saya nongkrong di Institut Pavlov dan berikutnya saya mulai meneteskan liur. Setelah itu seorang ilmuwan totok yang memainkan bel mulai datang dan menyuguhkan sepiring sup.) ― Umberto Eco, Trattato Di Semiotica Generale.
—————————————————
Esai © Ahmad Yulden Erwin, 2017
—————————————————
*Penulis Lahir di Tanjungkarang, 15 Juli 1972 dan wafat 22 Februari 2022. Penulis aktif menulis puisi dan prosa sastra sejak tahun 1987. Menyelesaikan pendidikan terakhirnya di Fakultas Ekonomi Universitas Lampung (1997). Beberapa puisinya pernah diterbitkan dalam antologi puisi bersama para penyair Lampung dan nasional, di antaranya: Memetik Puisi Dari Udara (1987), Tap! (1988), Pewaris Huma Lada (1989), Gelang Semesta (1989), Belajar Mencintai Tuhan (1992), Jung (1994), Daun-Daun Jatuh Tunas-Tunas Tumbuh (1995), Festival Januari (1996), Refleksi Setengah Abad Indonesia (1996), Dari Huma Lada(1996), Mimbar Penyair Abad 21 (1997), dan Cetik (1999).
Di masa hidupnya, Penulis juga aktif menjadi aktivis gerakan anti korupsi pada satu NGO di Lampung, yaitu Komite Anti Korupsi (KoAK). Aktivitasnya sebagai koordinator KoAK, membuat ia sering turun ke pelosok-pelosok desa di Lampung, membangun basis dan membentuk Posko Masyarakat Pemantau Korupsi (PMPK) di desa-desa. Saat ini KoAK memiliki sekitar 3000 orang relawan dan partisipan yang aktif melakukan pemantauan dan investigasi korupsi di Lampung. Sampai sekarang jaringan KoAK sudah berkembang ke 8 propinsi di Sumatera.[]