More

    Rumi, Umberto Eco, dan Semangkuk Sup

    Mengingat bentuk Masnawi oleh Rumi bukanlah ekspresi lirik, melainkan puisi dua baris berpasangan pada setiap baitnya dan bertujuan sebagai wahana didaktik, maka frasa “roti Mesir” pada puisi yang saya kutipkan di atas jelas bukanlah simbol bebas semacam tanda semiotik hasil imajinasi penyairnya belaka. Frasa “roti Mesir” itu memiliki tiga dimensi ekspresi puitik, yaitu: ekspresi metaforik, pataforik, dan simile. Untuk lebih jelas, dalam konteks ekspresi metaforik, coba telisik ayat 57 surah Al-Baqarah di dalam Al-Quran sebagai berikut:

    وَظَلَّلْنَا عَلَيْكُمُ الْغَمَامَ وَأَنزَلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَى كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَمَا ظَلَمُونَا وَلَكِن كَانُوا أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

    Artinya: “Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu. Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” ( Al-Baqarah: 57)

    - Advertisement -

    Konteks pemaknaan (asbabun nuzul) ayat di atas merupakan narasi dari satu kisah saat bangsa Israel melarikan diri dari Mesir menuju “Tanah Terjanji”. Setelah berpuluh tahun mereka tersesat di tengah gurun, tibalah masa ketika mereka dilanda kelaparan. Kemudian Tuhan mengutus malaikat-Nya untuk mengirimkan “manna” dan “salwa” kepada mereka. Manna adalah sejenis roti yang ada di negeri Mesir sewaktu bangsa Israel masih menjadi budak-budak yang membangun piramida.

    Di dalam tradisi iman Nasrani, pengertian “manna” sebagi roti keselamatan yang diturunkan langsung dari surga tiada lain adalah Yesus sendiri. Seperti Yesus pernah berkata: “Akulah manna yang hidup . . . manna dari Allah ialah roti yang turun dari surga dan yang memberi hidup kepada dunia.” (Injil Yohanes, 6: 38, 34, 33).

    Jadi, frasa itu tidak tepat bila ditafsirkan sekadar roti biasa dari Mesir, roti fisik belaka, tetapi merupakan metafora dari “firman Tuhan yang hidup serta berkah Tuhan kepada manusia yang tengah menuju pembebasan spiritual di Tanah Terjanji”, yang kemudian dicitrakan secara pataforik oleh Rumi sebagai sajak-sajaknya sendiri, pula diekspresikan dengan teknik simile. Tililklah bagaimana Rumi dengan jenial menggunakan secara bersamaan teknik metafora, patafora, juga simile di dalam puisinya itu, dan ini terjadi sekira 800 tahun lalu. Hal begini juga secara tematik merupakan kredo yang halus dengan lapis-lapis kesadaran (bukan propaganda yang menipu) kepada murid-murid Rumi dan para penempuh jalan sufi, yang menjadi sasaran didaktik dari puisi-puisi Masnawi. Dengan kata lain puisi-puisi Rumi merupakan kesadaran langsung perihal makna terdalam Al-Quran dan bukan sekadar kesadaran yang kerap goyah, kesadaran abid awam, di hadapan Al-Quran. Meski begitu Rumi tak perlu membuat siasah atau advertensi dengan menggunakan dusta atau sesat pikir hanya agar puisinya dibaca. Puisi-puisinya telah dibaca oleh ratusan ribu bahkan jutaan orang selama 800 tahun lebih oleh para pembaca dari berbagai bangsa dan keyakinan. Ia tak perlu membuat propaganda “politik sastra” yang mencitrakan seolah-olah ia penyair “Islami” dan puisi-puisinya perlu dibaca, melalui semacam advertensi yang kasar, dengan berteriak-teriak di ruang publik perkara iman, adab, dan kembali kepada Al-Quran (tanpa benar-benar memahami makna terdalamnya). Puisi-puisi Rumi, bila kita mau membaca dengan pikiran terbuka dan terbebas dari segala siasah licik, sudah teramat cukup untuk membuktikan perihal presensi dari “kesadaran Ilahi”-nya, kesadaran terdalam akan firman-Nya.

    Kemudian, dari segi irama puitik, perhatikan bagaimana teks asli puisi Rumi di atas (setelah ditranslasi menjadi pelafalan menggunakan huruf Latin, bukan huruf Arab) sangat menjaga metrum dan rima akhir kalimat. Persoalan metrum ini sangatlah krusial di dalam puisi-puisi Rumi, karena biasanya puisi-puisinya akan dinyanyikan dengan diiringi musik dalam tradisi sufisme. Sebagai orang yang menekuni puisi selama tiga puluh tahun, saya menyadari betapa sulitnya menghasilkan karya sebanyak 65.000 lebih bait, seperti yang dilakukan oleh Rumi, dengan tetap menjaga keseimbangan komposisi puitik antara pendalaman-tematik, lukisan-puitik, hingga gita-puitik. Rumi, dengan bukti 65.000 lebih bait puisinya itu, adalah keajaiban yang hidup dalam dunia spiritual dan khasanah sastra dunia.

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here