Penulis : Iman Herdiana
BANDUNG, KabarKampus – Di balik istilah pribumi, terdapat riwayat panjang dan problematik. Etnografi disebut-sebut “bertanggung jawab” atas pemunculan dan pemaknaan istilah ini sejak zaman kolonial.
Antropolog Prancis yang lama menetap di Bandung, Sarah Anaïs Andrieu, mengatakan istilah pribumi memang tak lepas dari perkembangan ilmu etnografi. Sarah membedah istilah ini dalam presentasi ilmiah “Mencari Pribumi: Riwayat Etnografi dari Abad 19 Sampai Sekarang” di KaKa Café, Jalan Sultan Tirtayasa 48 Bandung, 12 September 2018.
Di hadapan puluhan pengunjung yang kebanyakan anak muda, doctor antropologi sosial dari Lembaga penelitian Centre Asie du Sud-Est (CASE) Paris itu membeberkan bagaimana sejarah etnografi dalam menggali pribumi yang menggunakan metode antropologi, etnologi, sosiologi.
“Etnografi sebagai tahap pengumpulan data, diintrepretasikan lewat etnologi. Ujungnya antropologi sosial untuk membandingkan masyarakat-masyarakat yang berbeda-beda dengan mencari nilai universal. Misalnya, tidak boleh menikah dengan ibu, itu universal,” terang peneliti yang yang desertasinya mengangkat soal wayang golek, memulai presentasinya.
Objek penelitian etnografi adalah manusia atau masyarakat. Ada impian di kalangan etnografer dahulu bahwa mereka bisa meneliti masyarakat yang eksotis, terpencil atau pedalaman. Menurut Sarah, Indonesia sendiri merupakan negeri yang masih memiliki masyarakat eksotis yang tak lagi dimiliki Prancis.
Etnografi erat hubungannya dengan antropologi yang diresmikan sebagai disiplin ilmu sejak abad 19. Antropologi lahir dalam konteks kolonialisme di mana negara-negara barat menjajah negeri-negeri di luarnya, termasuk Indonesia. Konteks lain berkembangnya etnografi dan antropologi ialah revolusi industri yang diiringi kemajuan sains. Lewat kolonialisme yang disokong kuasa ilmu pengetahuan (etnografi dan antropologi), negeri-negeri yang dilanda kemajuan ini menyadari akan keanekaragaman manusia. “Dengan menjajah, belahan dunia barat sadar mereka tak sendiri,” kata Sarah.
Fokus antropologi masa itu ialah evolusi manusia. Sehingga lahir pemikiran evolusionisme dan primitivisme di mana kaum pribumi dianggap sebagai fosil atau masyarakat yang bakal punah. Mereka yakin orang-orang pribumi atau pedalaman akan mencapai kemajuan seperti orang barat, hanya saja mereka belum sampai kepada kemajuan itu.
Pada abad 19-20, pribumi menjadi objek ilmuwan barat sebagai representasi dari daerah jajahannya. Di Paris, Prancis, misalnya, pada 1931 dibangun kampung Bali.
Sejarah lalu mencatat munculnya antropologi penyelamat di mana antropolog menjadi pengarsip. Tetapi paham ini tetap beridiologi evolusionisme dan primitivisme. Antropolog penyelamat meyakini bahwa objek antropologi sekarat dan perlu diabadikan melalui tulisan dan dokumentasi. Dengan demikian, memori kaum pribumi bisa diselamatkan. Upaya ini diyakini demi kebaikan orang-orang pribumi itu sendiri.
“Di sini pribumi dianggap tak berdaya, sebagai korban saja, yang nerima dampak kolonialisme dan revolusi industri, tapi tak bisa apa-apa. Tak dipikirkan bahwa pribumi punya akal dan punya strategi sendiri untuk bisa selamat,” ungkap Sarah.
Dengan adanya sejumlah doktrin tersebut, revolusi industri justru berdampak buruk pada masyarakat tradisional atau kaum pribumi. Orang-orang barat datang ke daerah jajahannya dengan membawa pemikiran bahwa mereka datang dari puncak peradaban manusia sekaligus memandang pribumi yang masih prasejarah, primitif, atau liyan.
“Ilmu antropolog menolak mereka punya kemampuan secara ekonomi dan mandiri. Ini doktrin yang kuat bahwa mereka tidak punya kesempatan untuk mandiri,” katanya.
Pandangan superior barat atas negeri-negeri jajahannya bukannya tidak mendapat penentangan. Di Jerman lahir antropologi fungsionalis yang fokus pada aktor dan konteks penelitian. Mereka mengganti fokus dari sejarah dan masuk ke lapangan untuk mengerti kegiatan orang-orang yang ditelitinya.
Lalu muncul entografer Bronislaw Malinowski (1884-1942), peneliti Polandia yang belajar di Inggris, yang melakukan penelitian etnografi di Papua. Sarah menuturkan, Bronislaw datang ke Papua ketika Perang Dunia I meletus. Lebih dari 4 tahun Bronislaw melakukan penelitian mendalam di timur nusantara itu.
Bronislaw, yang disebut Sarah sebagai pahlawan etnografi, kemudian melahirkan metode observasi partisipatori yang menuntut etnografer seharusnya tinggal di tempat yang dia teliti untuk berhubungan dengan masyarakat yang ditelitinya. Karya agung Bronislaw, “Argonauts of the Western Pacific” (1922), kemudian menandai lahirnya etnografi kontemporer.
Kritik terhadap etnografi dan antropologi juga muncul di era poskolonialisme. Salah satu pemikirnya ialah Edward Saïd yang menulis buku “Orientalisme”. Fokus Orientalisme ialah mengkritisi kolonialisme dan pengetahuan. Edward Said menyatakan bahwa baratlah yang menciptakan timur. Ia lalu membeberkan bagaimana cara-cara barat dalam menciptakan timur, timur tengah, timur jauh.
Berdasarkan uraian sejarah itu, kata Sarah, istilah pribumi di Indonesia awalnya diciptakan sistem kolonial untuk membedakan dengan orang barat dan pendatang. Namun pasca-kemerdekaan, istilah pribumi dipakai pemerintah Orde Baru untuk membedakan warga negara pendatang seperti Cina, India, Arab dan lain-lain. Setelah reformasi, Gusdur (Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid) menghilangkan istilah pribumi dan non-pribumi karena semua warga Indonesia adalah sama.
Tapi merangkum identitas dalam satu negara juga memiliki problem tersendiri. Sarah mengambil contoh di negerinya, Prancis, yang menetapkan seluruh warga negaranya sebagai warga Republik Prancis tanpa melihat identias agama, kulit, negeri asal, dan lain-lain.
Pada 2010, tutur Sarah, di Prancis muncul pertanyaan tentang identitas Prancis. Di saat yang bersamaan, banyak pemeluk Islam yang tinggal dan menjadi warga negara Prancis. Identitas mereka pun dipertanyakan, apakah mereka harus dipandang orang Islam atau orang Prancis? Jika pemerintah Prancis memutuskan bahwa mereka harus dianggap sebagai orang Islam, menurut Sarah, konsekuensinya akan memunculkan tawanan identias. Menurutnya, orang Islam di Prancis bisa jadi tidak mau diidentifikasi sesebagai orang Islam. Bagi mereka mungkin tidak penting pemerintah melihat identitas keagamaan mereka.
Untuk diketahui, kata Sarah, di Prancis agama merupakan sesuatu yang sangat pribadi, tidak boleh muncul ke permukaan publik atau politik. Sarah khawatir identifikasi agama akan menjadi masalah dalam praktik kehidupan sehari-hari di lapangan. Misalnya, dalam melamar pekerjaan, mereka akan menghadapi pertanyaan soal agama dan negeri asal.
“Padahal ini ga ada hubungannya, dia cuma mau melamar kerja, apalagi pakai KTP Prancis. Ini namanya tawanan identitas saat minoriter ditetapkan identitasnya,” terangnya.
Sarah percaya identitas sebagai sesuatu yang sangat pribadi. Identitas diperlukan jika ada pihak kedua atau ketiga. Ia mengilustrasikan, jika ia berjalan-jalan ke pantai seorang diri, tentu ia tidak perlu identitas. Identitas muncul ketika di pantai ia bertemu dengan orang lain yang bertanya dari mana asalnya. Lalu ia akan menjawab dari Prancis.
Di tengah zaman yang makin mengglobal ini, Sarah melihat persoalan identitas justru semakin mengeras. Negara yang terlibat dalam pasar global cenderung akan akan memunculkan identitasnya. Menguatnya identitas ini juga tak lepas dari kebijakan pemerintah.
“Ada peranan pemerintah dan lembaga internasional yang mendukung identitas muncul dan mengeras. Ini dua sisi dari satu koin. Terkait persaingan identitas global. Di sisi lain bisa jadi strategi. Di pihak Unesco – PBB ada teks atau ruang khusus untuk pribumi/primitif, ada hak khusus untuk masyarakat adat atau tradisional. Hak ini sudah jalan untuk masyarakat tradisional di Kanada dan Australia,” bebernya.
Sarah sendiri tidak setuju dengan pandangan esensialisme pada budaya suatu etnis atau pribumi. Pandangan ini melihat budaya sebagai esensi atau benda yang harus dipertahankan kemurniannya. Bahkan tafsir atau penelitian budaya hanya dilakukan oleh orang-orang pribumi saja, bukan oleh orang luar.
Padahal menurut Sarah budaya bersifat progresif dan dinamis yang mendapat masukan dari konteks. Karena itu, tak ada budaya asli atau murni. “Tidak ada esensi atau kemurnian, kemurnian hanya dilihat suatu saat. Budaya Sunda saat ini seperti ini, belum tentu sama dengan budaya Sunda 2 abad lalu. Karena menjawab konteks yang berbeda,” terang penulis buku “Raga Kayu, Jiwa Manusia: Wayang Golek Sunda” ini.
Pada dasarnya budaya sama seperti manusia yang suatu saat bisa mati. Menurut Sarah, hilangnya suatu budaya bukan saja karena ada unsur kekerasan dari luar, tetapi penyebabnya bisa dari masyarakatnya sendiri yang tidak mau mempertahankan budayanya. Mereka menganggap budayanya tak lagi relevan. “Yang memutuskan tak relevan adalah manusianya.”
Pandangan masyarakat terhadap budayanya itu cenderung tak disadari pemerintah. Sehingga muncul kebijakan yang justru bertentangan. Pemerintah ingin mempertahankan kemurnian suatu budaya, sedangkan masyarakatnya tak mau. Sarah mencontoh pada masyarakat adat yang hidup tanpa listrik di daerah terpencil. Menurutnya, apakah mereka akan tetap dipertahankan hidup tanpa listrik?[]