II. GERAKAN SOSIAL: DARI KRISIS SAMPAI PERUBAHAN SOSIAL
Pada peringatan Hari Tani Nasional 24 September 2018 di Gedung Merdeka Kota Bandung, ada sebuah acara besar yang disebut Global Land Forum (GLF)[2] yang diselenggarakan oleh International Land Coalition (ILC)[3]. Selain GLF oleh ILC, juga diselenggarakan aksi demonstrasi yang diselenggarakan oleh Front Perjuangan Rakyat (FPR)[4] dan juga Aliansi Rakyat Anti Penggusuran (ARAP)[5]. Ketiga peristiwa itu bertemu pada isu yang sama: keadilan sosial agraria terutama kepada para petani. Pada hari yang sama Peraturan Presiden (Perpres) nomor 86 tentang Reforma Agraria ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Pada acara GLF informasi tersebut dibacakan bertepatan dengan penghargaan Lifetime Achievement kepada Dr. Gunawan Wiradi (Alit Ambara, 2018). Selain itu, informasi ini juga didapatkan penulis dari jaringan informasi media sosial WhatsApp oleh Sago Indra, seorang Aktivis dari Serikat Petani Indonesia (SPI)[6] sekaligus La Via Campesina (LVC)[7]. Sago menyampaikan bahwa pada bulan Agustus 2018 secara organisasional, SPI dengan tujuh orang perwakilannya yang terdiri dari Ketua Umum, Sekretaris Umum, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Jambi, dan pengurus lainnya, menemui dan mendesak Presiden untuk segera menandatangani Perpres tersebut.
Fenomena di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa dalam dinamika politik keseharian dan politik pemerintahan sangat berhubungan dan tidak bisa dipisahkan. Persoalan tanah yang menjadi lahan garapan petani sehari-hari juga menjadi lahan bagi pembangunan fisik untuk perumahan, perusahaan, dan lahan perkebunan serta pengelolaannya yang disebut isu agraria, ternyata mengalami kompleksitas permasalahan. Karena selain pemerintah negara dan warga negara khususnya petani, juga melibatkan perusahaan swasta, dan juga para aktivis gerakan sosial yang disebut masyarakat sipil terorganisir dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non-Governmental Organization (NGO).
II. 1. Krisis Sosial
Krisis sosial adalah situasi dan kondisi krisis di mana setiap pihak atau setiap orang yang saling berhubungan mengalami hal yang sulit dalam hidup mereka. Krisis sosial termasuk di dalamnya adalah krisis ekonomi, krisis politik, krisis lingkungan, krisis kebudayaan, dan krisis lainnya. Misalnya krisis ekonomi dan keuangan global (terjadi di seluruh dunia) pada tahun 2008. Sebagai akibat dari krisis ekonomi atau politik, misalnya, apa yang dilakukan oleh pemerintahan negara berkemungkinan untuk tidak berfungsi dengan baik. Situasi kondisi tersebut mengarah pada ketidakpuasan dan mobilisasi orang, sehingga merangsang ketakutan dan emosi irasional dari massa. Kombinasi fungsionalisme struktural dan studi sosio-psikologis telah didefinisikan di bawah teori deprivasi relatif (Kern 2008, 5). Deprivasi Relatif atau relative deprivation adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan ketegangan yang terjadi akibat suatu kesenjangan antara yang harus menjadi (ought) dan yang terjadi (is) dalam kepuasan nilai kolektif, mendorong manusia melakukan kekerasan[8]. Keadaan psikologis dimana seseorang merasakan ketidakpuasan atas kesenjangan/kekurangan subjektif yang dirasakannya pada saat keadaan diri dan kelompoknya dibandingkan dengan orang atau kelompok lain. Keadaan deprivasi bisa menimbulkan persepsi adanya suatu ketidakadilan[9].
II.2. Perubahan Sosial Melalaui Gerakan Sosial
Perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat atau warga negara memungkinkan untuk dilakukan dalam proses dua arah: dari atas (top-down) atau dari bawah (bottom-up). Perubahan dari atas berarti diinisiasi dan dipimpin oleh pemerintahan negara, sedangkan perubahan dari bawah berarti diinisiasi dan didorong oleh masyarakat sipil atau warga negara yang mau dan mampu berpolitik dengan baik. Perubahan dari atas yang didorong pemerintah biasanya diselenggarakan dengan membuat dan mengimplementasikan kebijakan, sedangkan perubahan dari bawah yang didorong oleh masyarakat sipil biasanya dilakukan dengan apa yang disebut sebagai gerakan sosial.
Gerakan sosial adalah hasil dialektis dari krisis sosial menuju perubahan sosial. Secara sederhana dapat dipahami bahwa tesis tentang krisis sosial menghasilkan anti-tesis tidak ada krisis sosial, hilangnya krisis sosial berarti adalah perubahan sosial. Untuk mewujudkan perubahan sosial dalam rangka menghilangkan krisis sosial adalah dengan adanya gerakan sosial.
Dalam contoh kasus menyusul krisis ekonomi global, Vestena menuliskan penelitian tentang gerakan sosial mengalami momentum baru: gerakan perlawanan di seluruh dunia telah diselidiki secara khusus (Boito Jr., Galvão, dan Marcelino 2009; Bringel 2011; Estanque 2014; Lima dan Artiles 2014) dan kekuatan pengaruh dan mobilisasi aktor kolektif telah diakui (Kern 2008, 11; Chesters dan Welsh 2010, 19). Tradisi baru harus terjadi dibangun dengan tujuan mengoperasionalkan fenomena kontemporer gerakan anti-penghematan dan kerja yang jujur dan adil dalam kaitannya dengan dinamika kapitalis (Tattersal 2010; Cox dan Nilsen 2014; Fominaya dan Cox 2013).
Ketika gerakan sosial telah menjadi penelitian para ilmuwan secara akademis, maka membuktikan bahwa praktek gerakan sosial adalah sesuatu yang memang ada dan dilakukan untuk mendorong adanya perubahan sosial. Bukti kongkrit yang dapat dipelajari lebih lanjut adalah dengan adanya momentum peringatan Hari Tani, 24 September 2018, di Bandung yang melibatkan ILC, FPR, dan ARAP. Di dalamnya, akan ditemukan lebih banyak lagi kelompok-kelompok masyarakat sipil yang melakukan aktivisme dan gerakan sosial tersebut.
***
Penulis: Virtuous Setyaka, Mahasiswa Doktoral (S3) Program Studi Hubungan Internaional (Prodi HI), Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (PPS FISIP), Universitas Padjadjaran (UNPAD), Bandung; (b) Dosen Prodi HI, FISIP, Universitas Andalas (UNAND), Padang; (c) Anggota Geostrategy Study Club (GSC) Indonesia; (d) Direktur Kajian International Relations Epsitemic Society (I.REST) Indonesia.
REFERENSI:
Carolina Alves Vestena, Mobilization of Rights in Times of Crisis: a Review of Social Movements Theory, Rev. Direito Práx., Rio de Janeiro, Vol. 08, N. 1, 2017, p. 651-669. DOI: 10.12957/dep.2017.27877 | ISSN: 2179-8966.
Eric Hiariej and Kristian Stokke (2017), Politics of Citizenship in Indonesia, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, PolGov FISIPOL UGM, and University of Oslo.
https://web.facebook.com/photo.php?fbid=10216872788240082&set=a.1677125136074&type=3&theater
https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-deprivasi-relatif-atau-relative-deprivation/9029
https://artikeltop.xyz/contoh-teori-deprivasi-relatif.html
https://tirto.id/mempertanyakan-pelibatan-tni-mengurusi-pangan-ctiV
http://www.landcoalition.org/
http://www.spi.or.id/
———————————
[1] Baca: https://tirto.id/mempertanyakan-pelibatan-tni-mengurusi-pangan-ctiV
[2] Informasi selanjutnya baca: https://www.globallandforum.org/
[3] Informasi selanjutnya baca: http://www.landcoalition.org/
[4] Salah satu bagian dari FPR Jawa Barat adalah Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), dapat dibaca di: https://agraindonesia.org/
[5] Untuk ARAP dan terkait dengan GLF dapat dibaca di: http://metaruang.com/mengapa-global-land-forum-glf-2018-di-bandung-patut-ditolak/
[6] Tentang SPI, baca: http://www.spi.or.id/
[7] Tentang LVC, baca: https://viacampesina.org/en/
[8] https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-deprivasi-relatif-atau-relative-deprivation/9029
[9] https://artikeltop.xyz/contoh-teori-deprivasi-relatif.html