More

    Mencari Mufasir Pancasila

    Penulis: Wim Tohari Daniealdi

    Ilustrasi. Gambar : Satelitepost.com

    Pada awal Oktober 2017, di Mahkamah Konstitusi, seorang pengacara senior mempertanyakan di muka pengadilan tentang tafsir dari sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Menurutnya hanya agama Islam saja yang Tuhannya Esa. Sehingga agama-agama lain selain Islam, bisa dikenai pasal pelanggaran terhadap Pancasila. Pertanyaan kontroversial ini kemudian disambut protes dari kalangan agamawan baik dari Islam maupun yang lain. Sayangnya, pertanyaan itu tidak pernah dijawab secara resmi, hanya muncul sebagai polemik, dan tidak pula diketahui bagaimana ujungnya.

    Pada tahun 2017, dalam sebuah debat Pilkada DKI. Calon Petahana ketika itu dipertanyakan tentang kebijakannya menggusur masyarakat di bantaran sungai. Kebijakan tersebut dianggap tidak berprikemanusiaan, tidak adil dan tidak beradab. Tapi sang petahana berkelit. Baginya makna keadilan yang beradab adalah dengan tidak membiarkan warga-negara hidup dalam kawasan kumuh di bantaran sungai tanpa ada solusi yang jelas. Sampai sekarang kita tidak mengetahui secara pasti, pendapat siapa yang benar. Dan apa sebenarnya makna “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Semua seperti dilemparkan ke tengah masyarakat, tanpa ada acuan yang definitif.

    - Advertisement -

    Fenomena perpecahan secara kasat mata terjadi dalam lima tahun terakhir di Negara ini. Dimana terjadi upaya pembalseman terhadap artefak konflik pilpres 2014. Selama lima tahun terakhir, kedua belah pihak yang berseteru dalam Pilpres 2014 masih saling menghujat satu sama lain. Dan saat ini, nalar subjektif masing-masing kelompok sudah menutup kanal rekonsiliasi kedua belah pihak. Struktur  konflik ini sudah demikian massif terjadi mulai dari elit politik hingga akar rumput. Kekhawatiran muncul, karena sebentar lagi kita akan menyelenggarakan Pilpres 2019, yang skema kandidasi Capresnya, seperti meng-copy format Pilpres 2014 – Sebuah ekosistem sempurna bagi kedua kelompok untuk memungkasi perseteruannya. Pertanyaannya, sejauh apa kita sebagai bangsa memaknai sila “persatuan Indonesia”?

    Sejak awal berdirinya republik ini, kita menyepakati demokrasi sebagai salah satu implementasi dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, khususnya sila keempat. Karena pada hakikatnya, baik demokrasi dan Pancasila bergandengan di atas asas yang sama, yaitu “logika persamaan”.

    Tapi hari ini, unjuk kekuatan menjadi trend baru dalam budaya demokrasi kita. Dimana logika kuantitatif (baca: mayoritas vs minoritas) menjadi hukum besi politik, dan menjadi pijakan nalar untuk menentukan nilai benar-salah, atau baik-buruknya suatu tindakan. Maka, sebagaimana kita saksikan, mayoritas memonopoli kebenaran, serta Kuantitas jejaring dan modal (Kekayaan) menjadi syarat menunju kekuasaan.

    Padahal, dalam Pancasila maupun UUD 45, tidak tersebut – baik secara ekspilisit maupun implisit –tentang perbedaan hak mayoritas dengan minoritas, ataupun hak satu kelas atas kelas lainnya. Dengan demikian, sistem politik Pancasila adalah demokrasi kualitatif, bukan demokrasi kuantitatif. Tapi berbeda dengan meritokrasi, Pancasila menekankan pada peningkatan kualitas bersama, bukan individu. Masyarakat yang bergotong royong, bukan berkompetisi.

    Dalam hemat penulis, sila keempat, yang menjadi landasan dipilihnya demokrasi, juga tidak sedikitpun mengandung unsur logika kuantitatif. Bahkan sila keempat Pancasila mensyaratkan hikmah dan kebijaksanaan sebagai kualitas yang harus dimiliki oleh setiap wakil rakyat dalam memusyawarahkan nasib kehidupan rakyat seluruhnya.

    Demikian juga dipilihnya bentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bukan Negara agama, atau Negara dengan ideologi kelas tertentu, adalah upaya untuk membangun logika persamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, dihapusnya 7 kata pada sila pertama Pancasila, tidak lain sebagai upaya untuk menghindari tafsir adanya privilege mayoritas atas kelompok minoritas di kemudian hari.

    Mufasir Pancasila

    Persoalannya, Pancasila tidak pernah melahirkan muffasir (penafsir). Sehingga tidak ada sosok ataupun pihak yang cukup kompeten menjawab dan menengahi multi-tafsir di atas. Rakyat tidak pernah tau yang dimaksud dengan implementasi politik yang bernalar Pancasila, hukum yang berjiwa Pancasila, apalagi ekonomi yang bercita rasa Pancasila, yang menurut sila kelima berbunyi, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Kita hanya mengetahui tujuannya, tapi tidak pernah mampu mengurai langkah-langkahnya secara otentik.

    Sejak masa kemerdekaan, kerangka nilai yang agung ini mengawang-awang sebatas narasi, tanpa pernah diobjektifikasikan. Padahal sebagai nilai adiluhung, Pancasila menyediakan semua bahan baku bagi setiap anak bangsa untuk merumuskan langkah-langkah strategis menuju ke arah tujuan tersebut. Hanya saja, kita kekurangan mufasir yang bersedia menggali lebih jauh makna-makna yang terpendam dalam nilai-nilai Pancasila.

    Untuk melahirkan sekelompok seorang ataupun sekelompok mufasir, tentu dibutuhkan satu iklim intelektual yang berani menjelajah hingga ke dasar kesadaran. Sekelompok orang yang rela terasing dari keriuhan budaya popular lalu menyelami hakikat kedirian yang otentik. Secara umum, orang-orang ini lebih dikenal sebagai filosof. Hanya sayang, di Negara ini para filosof tidak memiliki tempat yang cukup prestisius apalagi untuk didengar dan dimintai pedapatnya.

    Dr. Husein Heriyanto dalam artikelnya berjudul “Laporan dari The 24th World Congress of Philosophy, Beijing, China” mengungkapkan kekecewaannya ketika menghadiri acara prestisius tersebut pada 13-21 Agustus 2018 lalu, tapi tak menemukan satupun perwakilan Indonesia dalam perhelatan tersebut. Fakta ini tentu saja mencemaskan. Bagaimana mungkin Negara dengan jumlah penduduk 250 juta jiwa, tapi tak memiliki satupun komunitas filsafat yang dapat berbicara secara elegan di fora internasional dan turut mendefinisikan peradaban umat manusia ke depan?

    Padahal menurut Husain Heriyanto, “dapat dipastikan cepat atau lambat kita membutuhkan identitas kultural untuk menopang kelanjutan dan memberi arah kemajuan peradaban bangsa kita. Bahkan di balik gegap gempita dunia politik yang telah menghabiskan begitu banyak energi bangsa, kita sebetulnya membutuhkan arah dan panduan visi masa depan peradaban bangsa kita.” Dan menurutnya, Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia sangat potensial untuk diajukan sebagai salah satu pengisi prinsip “living together” yang diusung oleh UNESCO. (Dr. Husein Heriyanto; https://isipindonesia.wordpress.com)

    Berangkat dari hal tersebut, agaknya kita perlu kembali merenungi kembali visi ke-Indonesia-an kita. Siapa kita? Darimana kita berasal? Dan kemana kita akan menuju? Merupakan sejumlah pertanyaan yang membutuhkan butuhkan jawaban secara objektif, bukan retorika politis.

    Untuk itu, Pancasila perlu dibuka dan dikaji. Seperti layaknya komunisme, kapitalisme, dan isme-isme lainnya, bahkan kitab suci. Pancasila harus bersedia dikritisi, digeledah, dan digugat. Agar inti sarinya dapat keluar hingga perasan terakhir.

    Dari hasil pergolakan intelektual seperti ini, kelak akan lahir sosok ataupun kelompok yang cukup mumpuni untuk menjadi penjaga dan pembela narasi-narasi Pancasila. Yang bisa menafsirkan konteks dan menjawab gugatan atas nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila secara elegan.

    Dari titik inilah nantinya, Pancasila bisa tumbuh sebagai kesadaran bersama warga-negara, bukan sekedar doktrin Negara. Pancasila menjadi jati diri bangsa, bukan jargon penguasa. Dengan begitu, kita akan melangkah di tengah-tengah dunia sebagai bangsa yang otentik, bukan bangsa hibrida.

    Wallahu’alam bi sawab

    *Penulis adalah Dosen Hubungan Internasional dan Pegiat Geostrategy Study Club

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here