Saya mencoba mengindonesiakannya Post Activism Syindrom (PAS) sebagai Sindrom Pasca Aktivisme (SPA). Sebuah istilah yang saya gunakan untuk menyebut situasi ketika masa aktivisme telah berakhir. Dalam hal ini harus dibedakan antara aktivisme dengan gerakan sosial. Sebab aktivisme berdimensi personal atau individual dari seorang aktivis atau aktor pelaku gerakan, dan gerakan sosial lebih identik dengan aktivitas atau aksi kolektif.
Aktivisme adalah tindakan menggunakan berbagai bentuk kampanye yang kuat untuk menghasilkan perubahan politik atau sosial. Terdiri dari upaya untuk mempromosikan, menghambat, mengarahkan, atau campur tangan dalam reforma sosial, politik, ekonomi, atau lingkungan dengan keinginan untuk membuat perubahan dalam masyarakat. Sedangkan gerakan sosial adalah sekelompok orang yang terarah dan terorganisir, berjuang untuk bekerja menuju tujuan bersama. Kelompok-kelompok ini mungkin mencoba untuk menciptakan perubahan, untuk menolak perubahan, atau untuk membela mereka yang kehilangan haknya.
Berbeda dengan istilah slactivism atau slackervism, kata portmanteau (sebuah kata yang memadukan bunyi dan menggabungkan makna dari dua kata- slacker atau pemalas dan activism atau aktivisme), istilah yang merendahkan untuk tindakan “merasa-baik” dalam mendukung isu atau tujuan sosial dalam aktivisme dan gerakan sosial. Slacktivisme menunjukkan dukungan untuk tujuan tertentu dalam gerakan sosial, namun dengan tujuan utama justru meningkatkan ego peserta atau aktivis dalam gerakan. Tindakan itu mungkin memiliki sedikit pengaruh selain membuat orang yang melakukannya merasa puas bahwa mereka telah berkontribusi. Slaktivisme sering merupakan suatu bentuk penandaan keutamaan aktivisme. Asumsi yang mendasari istilah ini adalah bahwa adanya upaya-upaya berbiaya rendah yang menggantikan tindakan lebih substantif (https://en.wikipedia.org/wiki/Slacktivism, 14-10-2018, 15:05).
Istilah PAS atau SPA, terpikirkan oleh saya ketika mengingat dan merenungkan pengalaman saya sendiri setelah wisuda sarjana (S1). Sebelumnya, selama hampir tujuh tahun sejak lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) di Yogyakarta dari tahun 1998, saya telah melakukan berbagai aktivitas di luar perkuliahan yang bisa disebut sebagai aktivisme dan melibatkan diri dalam gerakan. Mungkin lebih tepatnya adalah gerakan mahasiswa, yang biasanya lebih sering disebut gerakan moral ketimbang gerakan politik atau gerakan sosial secara umum. Sepertinya, saya kebingungan setelah lulus kuliah S1 dan setelah aktif dalam gerakan mahasiswa.
Apalagi saat itu saya tidak berpikir untuk melanjutkan kuliah ke jenjang S2 (magister) dan S3 (doktoral) seperti yang sekarang saya jalani. Rasanya, berakhirnya kuliah S1 berarti berakhir pula beraktivisme dalam gerakan mahasiswa. Padahal, bukankah sampai S3 saya menjadi mahasiswa? Bukankah saya bisa terus menjadi aktivis gerakan mahasiswa? Iya, saya menyadarinya sekarang, bahwa ketika saya terlibat (lagi) dalam aktivisme seperti di S1 dan S2, saya hanya menjadi bagian dari gerakan moral, karena saya adalah mahasiswa. Walaupun semestinya saya bisa juga mengorganisir, berjejaring, dan berkampanye dalam konteks sebagai dosen yang menciptakan gerakan sosial bersama para dosen lainnya, atau bergabung dengan gerakan sosial yang terorganisir bersama sektor masyarakat lainnya seperti petani, buruh, nelayan, kaum miskin kota, dan kelompok sosial terpinggirkan lainnya. Dan itu, sangat memungkinkan sekali, bukan?
Bersambung ke halaman selanjutnya –>