PAS/SPA: Kehilangan Orientasi Diri?
Seorang aktivis yang mengalami PAS atau SPA menurut saya adalah seseorang yang sedang mengalami keterpurukan karena sedang kehilangan orientasi dirinya. Apa yang mau dilakukannya setelah wisuda S1 dan berakhir masanya menjadi aktivis gerakan mahasiswa? Pilihannya adalah (1) melanjutkan menjadi aktivis gerakan sosial, (2) berhenti menjadi aktivis dan tidak menghubungkan diri dengan aktivisme dan gerakan sosial sama sekali, (3) berhenti menjadi aktivis, namun masih menghubungkan diri dengan aktivisme dan gerakan sosial yang dilakukan orang lain.
Pilihan yang pertama tentu menjadi pilihan terberat, karena berhadapan dengan realitas diri dan realitas sosial di dalam masyarakat di mana dia hidup. Sebab biasanya lebih sedikit orang yang memilih menjadi aktivis gerakan sosial, ketimbang mereka yang memilih menjalani kehidupan yang berbeda. Meskipun seringkali, orang-orang yang sebelumnya bukan aktivis gerakan sosial, kemudian menjadi aktivis karena menjadi korban dari situasi dan kondisi secara ekonomi, sosial dan politik. Ketika orang-orang mengalami ketertindasan dan ketidakadilan, maka kemungkinan terbaik untuk dipilih adalah menjadi aktivis gerakan sosial.
Pilihan yang kedua adalah pilihan termudah meskipun bukan yang terindah. Masa menjadi aktivis gerakan mahasiswa adalah bagian dari masa lalu. Seolah itu gampang dilakukan, tapi sesungguhnya tidak gampang melupakan. Termasuk melupakan kawan-kawan terutama para mantan. Bagi kawan-kawan yang memilih melanjutkan menjadi aktivis gerakan sosial, asumsi yang akan dimunculkan dan seringkali disampaikan adalah anggapan tentang kepengecutan dan pengkhianatan. Sementara itu, bagi para mantan, ketika sudah menikah dan berpasangan dengan orang lain, ya sudah, memang harus tidak dipikirkan lagi.
Pilihan ketiga adalah pilihan yang paling galau namun juga bikin silaturahmi masih terjangkau dan sesekali mengingat kekonyolan bersama di masa lalu atau bahkan heroisme ketika satu tangan mengepal ke atas dan satu tangan menggenggam megaphone dan meneriakkan yel-yel perjuangan: “Hidup rakyat! Hidup mahasiswa! Hidup kaum tertindas sedunia!”. Menggunakan kain pengikat kepala dan bendera-bendera serta spanduk tuntutan dikibarkan dan dibentangkan sebagai latar belakang. Sementara itu, di masa kini, mungkin situasi dan kondisi hidup sudah berubah, sedangkan masih banyak rakyat dan kaum tertindas yang mangalami “nasib adalah kesunyian masing-masing”.
Apakah Kamu adalah PASer?
Ya, apakah kamu menjadi bagian dari aktivis yang mengalami post-activim syndrome (PAS) atau Sindrom Pasca Aktivisme (SPA)? Jika iya, maka ada sedikit saran atau nasihat dari hasil perenungan saya hari ini, cara terbaik menghadapi segala sesuatu adalah ketika kita tahu kapan memulainya, maka kita juga harus tahu kapan mengakhirinya. Untuk tahu kapan aktivisme berakhir, ternyata tidak cukup dengan sikap membiarkan itu terjadi begitu saja dan dialami dalam kehidupan aktivis, bahkan dengan gegabah mengatakan: “kalau tiba masanya, maka berpisahlah kita dengan aktivisme dan gerakan…”. Ketika itu terjadi dengan diri kita, berarti kita tidak pernah berpraktik dalam perbuatan aktivisme dan bertindak dalam gerakan sosial dengan rasional. Sebab aktivisme itu, juga gerakan sosial itu bisa berakhir dan bahkan harus diakhiri, dan kita tentu saja bisa mengetahuinya kapan itu terjadi. Caranya adalah dengan belajar teori bahkan membangun teori aktivisme dan gerakan sosial. Maka, PAS atau SPA kembali menyadarkan kita tentang arti pentingnya praxis, atau kesatuan antara pemikiran, perkataan, dan perbuatan. Bukan hanya dalam aktivisme dan gerakan, tapi keseluruhan hidup menjadi manusia!
***
Penulis: Virtuous Setyaka, Dosen HI FISIP Unand, Mahasiswa S3 HI Unpad, Ketua Koperasi MDM, Direktur Kajian I.REST Indonesia dan Anggota Gostrategy Study Club (GSC) Indonesia.