Sebuah pemandangan mencolok terlihat pada suatu sore di kampus Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Seorang pria dengan rambut kuning, mengenakan kaos hitam lebar, celana jeans dan sepatu boot dengan hak tinggi duduk di antara teman-temannya. Ia adalah Lilis, seorang mahasiswa jurusan Tata Rias dan Busana ISBI.
Lilis memiliki nama lengkap Musa Hendrik. Namun, ia senang berkenalan dengan nama Lilis. Mahasiswa berusia 24 tahun tersebut mengaku, nama Lilis tersebut adalah nama legend orang Sunda. Ia bangga mengenalkan diri sebagai Lilis kepada orang lain. Ia mengakui menyukai ekspresi gender feminin saat berbincang dengan Kabarkampus.
“Merasa banget, saya merasa feminin, “ kata lilis saat ditemui,Rabu, (25/09/2018).
Lilis adalah salah satu individu yang memilih mengekspresikan dirinya lebih feminin. Penampilan seperti ini masih menjadi sorotan di masyarakat. Dengan ekspresi mereka, banyak orang memandang miring dengan anggapan dan stigma negatif dan dikaitkan dengan pilihan atau orientasi seksual mereka.
Dengan penampilannya, ia mengatakan tidak setuju jika pakaiannya disebut feminin. Baginya fashion itu tidak berjenis kelamin. Ia mencontohkan pakaian raja-raja zaman dahulu yang mengenakan rok dan sepatu berhak tinggi. Ketika makin modern, ekspresi fashion makin dikurangi dan dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Baginya pakaian untuk laki-laki atau permpuan sama saja, yang penting nyaman dipakai.
“Tapi orang melihatnya, ekspresi fashion saya lebih ke perempuan,” ujar mahasiswa berusia 24 tahun ini.
Ia mengatakan berani mengekspresikan dirinya sejak duduk di Kelas 3 Sekolah Teknik Menengah. Hanya ada seorang siswa perempuan di sekolahnya saat itu. Berbeda dengan siswa yang lain, ia menjahit sendiri celana seragam sekolahnya dengan bentuk yang ia inginkan. Ia juga aktif di sanggar teater dan komunitas seni. Teman-temannya pun menghargainya. Ia tetap mempertahankan ekspresi femininnya ketika ia memasuki bangku Perguruan Tinggi. Ia tetap menjadi diri sendiri. Apalagi tak banyak mahasiswa yang mengomentari gayanya, termasuk para dosen.
Meski demikian, bukan berarti Lilis tidak pernah mendapat perlakuan diskriminatif. Di kampus, ia pernah dilecehkan mahasiswa lain yang memegang-megang dirinya, karena ia menggunakan pakaian feminin. Kemudian, baru lima meter keluar kampus, ada saja yang mengatainya bencong. Belum lagi di lingkungan rumah. Baru keluar rumah, tetangga mengomentarinya dengan berbagai macam. Ada yang bilang aneh, ada juga yang bilang seperti perempuan.
Pada awalnya, Lilis risih dengan kondisi seperti itu. Ia juga kadang merasa berbeda dari orang lain. Namun makin ke sini, karena orang tua memberi dukungan dan membebaskan dirinya asal tidak mencoreng nama keluarga, ia pun tidak terlalu mendengar apa kata orang. “Selagi positif, ya sudah saya lakukan saja. Jadi semakin ke sini orang mau ngomong apa juga ngga terlalu didengar,” kata Lilis.
Lilis tak memusingkan omongan orang di sekitarnya. Lilis membalas semua dukungan yang Ia dapatkan dengan prestasi. Prestasi itu diantaranya adalah juara satu lomba Jabar Ngagaya. Ia juga memegang wardrobe salah satu radio di Bandung dan salah satu artis beken dari kota Bandung. Ia percaya, setiap pekerjaan di dunia ini bakal lebih sempurna bila dikerjakan oleh laki laki. Seperti pekerjaan memasak, bidang fashion, dan lainnya akan lebih profesional bila dipegang laki-laki. “Saya merasa Tuhan sudah memberi “gift” yang spesial kepada laki-laki,” katanya.
Begitu juga dengan Lilis, bakat itu juga ada padanya. Sebagai laki-laki yang feminin, ia merasa banyak memberi pengaruh dalam karya-karyanya. Ia bisa membuat rancangan yang dapat digunakan laki-laki dan perempuan. “Mulai dari cutting, ukuran, sama siluet, aku lebih memilih yang bisa dipakai lelaki dan perempuan. Mungkin itu karena feel,” ujarnya.
Meski Lilis mengakui dirinya feminin bahkan mengamini disebut ngondek, ia lebih suka berteman dengan laki-laki. Ia merasa, teman laki-laki itu lebih enak diajak “nguli”. Sehingga saat kuliah sekarang, ia jarang berteman dengan perempuan.“Apalagi mereka oke-oke aja sama aku,” ujarnya sambil tersenyum.
Lain Lilis, lain pula Rahmat yang akrab dipanggil Memita. Pada awalnya, Memita enggan menyebut dirinya feminin. Baginya, feminin itu tergantung dari cara orang memandang. Sementara, apa yang ia lakukan selama ini adalah upaya untuk mengekspresikan diri. “Aku ngga merasa feminin, karena apa yang aku lakukan adalah seni. Seni itu adalah dari mana kamu memandangnya,” kata Memita.
Dari segi penampilan tak terlihat ia berekspresi seperti Lilis. Ia mengenakan kemeja dan celana panjang biasa. Namun gaya bicaranya lembut. Ia tak keberatan dirinya disebut ngondek. “Itu sudah bawaan sejak lahir, memang begini adanya,” ujarnya.
Meski demikian penampilannya pun tak selalu dipastikan. Kadang sangat maskulin, kadang feminin. Ia bercerita pernah memakai celana kulot dengan belahan sampai ke paha ke mall. Kemudian, ia juga pernah menggunakan celana pendek ke kampus sampai paha alias celana “gemes”. Bahkan menggunakan pakaian tersebut ke kampus lain di Bandung. “Ya aku nyaman dengan ekspresi seperti itu. Dari pada membohongi diri sendiri, lebih baik diluapin aja. Toh aku ngga ngerugiin orang lain,” ujar mahasiswa 23 tahun ini.
Soal pakaian, Memita tak mau memusingkan opini orang lain. Baginya yang penting tidak merugikan orang lain. Ia juga tidak berharap orang lain mengurusi apa yang ia kenakan.“Aku ngga telalu musingin orang mau bilang A, B, C, atau D, yang penting aku nyaman dan ngga mengganggu orang,” kata Memita.
Orang tuanya pun tak begitu mempersoalkan gaya feminin Memita. Menurut Memita, keluarganya bersikap biasa saja, tidak pernah membicarakan apa yang ia kenakan. Begitu juga dengan teman serta dosennya di kampus, tidak banyak komentar. Dengan demikian ia pun tidak kagok dan bebas mengekspresikan diri. Apalagi pakaian yang ia kenakan dihasilkan dari penghasilannya sendiri dari menjahit pakaian, nge-wardrobe, dan pekerjaan freelance lainnya. Ia sudah tidak merepotkan orang tuanya lagi. Ia juga dipercaya teman-temannya menjadi ketua himpunan mahasiswa Jurusan Tata Rias dan Busana ISBI.
Memita bercerita berani tampil feminin sejak SMA. Ketika itu, ia mengambil jurusan Tata Busana yang sebagian besar siswanya adalah perempuan. Ia pun lebih senang bermain dengan teman perempuannya, begitu juga saat duduk di bangku kuliah yang lebih banyak perempuannya. “Bagiku, teman perempuan atau laki-laki sama saja. Asal mereka mau menerima aku dan ngga aneh-aneh. Tapi selama ini temanku memang banyak perempuan,” ujarnya.
Sama seperti Lilis, Memita pun mendapat banyak cibiran dari orang lain karena penampilannya saat ke pasar, atau bermain ke kampus lain. Ia pun pernah diganggu atau diejek dengan sebutan bencong. Namun ketika itu, Memita, langsung melabrak orang yang mengejeknya tersebut. “Kalau kamu merasa terganggu jangan lewat sini. Karena saya ngga mau cari masalah sama kamu,” kata Memita mencontohkan bagaimana ia memarahi orang yang mengejeknya. Meski demikian, kata Memita, orang seperti dirinya sebenarnya tidak gampang tersinggung. Mereka juga tidak gampang sakit hati. “Boleh dibilang orang ngondek itu ramai orangnya,” kata Memita dengan tersenyum.
Kabarkampus juga bertemu dengan Fikri Faalih Nugraha, mahasiswa Faikultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (Fikom Unisba). Suaranya lembut dan gestur tubuhnya yang juga lemah lembut. Ia mengakui dirinya merasa lebih dominan berekspresi feminin.”Ngga ke fashion, tapi lebih pada pendekatan diri,” kata Fikri saat bertemu KabarKampus . Baginya, perasaan tersebut mengalir begitu saja. Ia tidak bisa mengubahnya.
Ia sering dipanggil Berbie. Fikri sendiri pada awalnya bingung kenapa dipanggil Berbie. Seingatnya, ia dipanggil Berbie saat kelompoknya menyanyikan lagu di acara ospek. Ketika itu ia menjadi maskot kelompoknya tersebut. Panggilan itu hanya untuk teman yang sudah lama mengenalnya di kampus. Ia merasa tidak nyaman bila ada orang baru dikenal memanggilnya dengan nama itu.
Sehari-hari laki-laki berbadan tinggi ini mengaku menggunakan pakaian yang sewajarnya alias pantas dipakai. Kalau pun ada pakaian perempuan yang ia suka, itu pun bersifat unisex. Bisa dipakai oleh laki-laki maupun perempuan. “Jadi kalau saya cari baju pun saya lebih suka yang unisex, biar bisa tukeran sama Ibu saya,” kata Fikri tersenyum.
Fikri merasa memiliki sifat feminin sejak Sekolah Dasar (SD). Namun saat SD, teman-temannya kaget dengan ekspresi gender dirinya. Sehingga ia sering mendapat diskriminasi dari teman-temannya.Diskriminasi yang paling dirasakan adalah saat pelajaran olahraga. Waktu pemilihan tim basket atau futsal, ia dianggap pilihan buangan alias dianggap tidak bisa apa-apa. “Itu yang kadang paling bikin kesel,” ujarnya.
Pada saat kuliah, diskriminasi memang lebih sedikit. Teman-temannya hanya sering menyebutnya tidak seperti laki-laki. Fikri pun hanya memandangnya sebagai candaan. Namun pernyataan tersebut akan berbeda bila disampaikan oleh orang yang ia kenal. Menurut Fikri, sebagai manusia tentu ia sering baper alias terbawa perasaan. Tetapi kemudian dia mengabaikannya karena merasa tak ada gunanya.
Menurut Fikri sebagai manusia, rasa sakit hati itu ada. Cuma seiring berjalannya waktu, ia pun mulai cuek atau tidak peduli dengan perlakuan tersebut. Namun bila, bisa bicara langsung, ia ingin melarang orang tersebut bicara seperti itu dan agar menggunakan bahasa yang lebih halus.
Selama ini ia memang lebih banyak berteman dengan mahasiswa perempuan. Mahasiswa yang sedang menyelesaikan skripsinya ini mengatakan sebenarnya terbuka berteman dengan laki-laki. Namun teman perempuan menurutnya, lebih terbuka dan bisa menerima dirinya, sementara yang laki-laki lebih sulit menerima dirinya.
“Mungkin mereka risih, padahal saya ngga mengganggu mereka,” ujarnya.
Ia merasa mereka tidak menjauhi secara langsung, padahal mereka belum mengenal dirinya. Tetapi ia mengetahui kehadirannya mendapatkan penolakan.
Menurutnya dengan kondisinya ini ia merasa lebih mudah melakukan pendekatan kepada orang lain. Pilihannya masuk ke jurusan Public Relation menurutnya sangat cocok untuk masa depannya. “Yang penting orang feminin itu punya atitut dan manner yang baik,” katanya Fikri yang pernah menjadi penyiar radio SMA ini.
Kisah lain adalah Fahmi, juga mahasiswa satu jurusan dengan Fikri. Di kampus ia dipanggil Ami atau Genpi. Ia mengakui merasa feminin, namun tetap berekspresi seperti laki-laki. Ia tak mau mengeksplorasi ekspresinya di kampus. “Sekarang aja, aku ngga pakai busana yang feminin, orang lain sudah menghakimi. Apalagi ke kampus pakai pakaian seperti itu,” kata mahasiswa berusia 19 tahun ini.
Ia tak ambil pusing dengan orang lain yang mengatakan dirinya seperti perempuan. Ia hanya menanggapi ringan dengan tertawa jika ada yang mengatakan hal itu.Ia mengambil jurusan Public Relation dan mempercayai masa depannya dengan bekerja di bagian hubungan masyarakat.
Ami menyadari memiliki sifat feminin tersebut, ketika Sekolah Dasar (SD). Namun ketika SD, ia sengaja menjauh dari teman-temannya. Ami takut sakit hati bila, teman-temannya tersebut menghakiminya.
Kemudian, saat SMP dan SMA, ia merasa lebih percaya diri dan tak mempedulikan omongan orang lain “Ejekan dan perundungan sudah jadi makanan saya sehari-hari. Sering dibilang kayak banci, kayak perempuan, kayak bencong, dan sebagainya,” ujarnya.
Saat kuliah, kata Ami, perundungan, tidak secara langsung mengejek di depannya, tetapi tertawa meledek di belakang. Meski sudah bersikap cuek, Ami kadang masih merasa baper atau terbawa perasaan, terutama bila melihat orang tertawa mengejeknya di belakang.Namun Ami bukan tak belajar untuk melewati hal-hal yang membuatnya sakit hati diperlakukan kurang menyenangkan seperti itu. Ia sering sekali menonton video, tentang pengalaman orang-orang yang memiliki ekspresi seperti dirinya. “Ya mereka ngga tahu perjuangan aku sampai seperti itu,” kata Ami.
Menurut Ami, banyaknya teman laki-lakinya yang takut atau menjauhinya. Ini membuat Ami, kemudian memilih berteman dengan perempuan meski ia terbuka berteman dengan laki-laki. Ia menduga para laki-laki tersebut, takut diapa-apakah oleh dirinya. Padahal ia tidak memiliki keinginan untuk mencintai laki-laki. “Mungkin mereka takut aja karena feminin itu dicap suka sesama jenis,” tutur Ami.
Oleh karena itu, Ami berharap orang-orang bisa terbuka dengan laki-laki dengan ekspresi gender feminin. Baginya Laki-laki feminin tidak selalu identik dengan penyuka sesama jenis. Sehingga laki-laki tidak perlu menjauh atau memiliki pikiran negatif terlebih dahulu. “Saya berharap, orang-orang tidak menilai laki-laki dengan ekspresi gender feminin, tanpa terlebih dahulu mengenalnya,” ujarnya.
Mereka di mata teman laki-laki
Mereka yang berekspresi feminin menganggap teman laki-lakinya menjauhinya. Mereka dilabeli dengan berbagai stigma. Sebagian dari mahasiswa laki-laki mengatakan tak keberatan tetapi mereka mempersyaratkan sesuatu. Beberapa mahasiswa memberikan tanggapan atas ekspresi feminin beberapa temannya di sekitar kampus.
Seperti Rizal Fadillah, mahasiswa tingkat akhir jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Univeristas Islam Bandung. Ia melihat sekitar 10-an mahasiswa yang feminin dan ia tidak kenal dekat dengan mereka. “Saya biasa saja dengan mereka, selama mereka tidak mengganggu saya,” ujarnya.
Menurutnya mereka lebih suka berteman dengan mahasiswa perempuan dalam pergaulan sehari-harinya dan susah bergaul dengan mahasiswa laki-laki. Menurut Rizal, sebenarnya, bukan dirinya yang jaga jarak. Mereka saja yang tidak mau masuk ke dunia laki-laki. Mereka benar-benar menghindar. Namun menurut Rizal, ada juga temannya yang benar-benar tidak mau bergaul dengan laki-laki feminine, karena takut suka sama laki-laki. Sehingga mereka memilih untuk tidak bergaul dari awal.
Meski demikian, penampilan teman-temannya yang feminin di Unisba masih dalam kategori wajar. Ia pernah melihat mahasiswa pakaiannya dan cara berdandannya sangat perempuan sekali. Mulai dari pakai lipstick, sepatu hak tinggi, dan sebagainya. “Yang kayak gini buat saya lari,” kata Rizal.
Burhan Fauzan , mahasiswa di kampus yang sama mengatakan tak mempersoalkan adanya laki-laki feminin atau bertingkah ngondek di kampusnya asalkan tidak mengganggu. Ia merasa sangat terganggu jika ada yang sangat ekspresif menunjukkan kefemininannya dan menunjukkan dia menyukai laki-laki. “Itu mengganggu saya banget,” ujarnya saat ditemui usai bermain futsal.
Menurutnya, laki-laki feminin itu biasanya hanya berteman dengan mahasiswa perempuan, mereka menjauh dari mahasiswa pria. Ia mencontohkan saat pertama kali kuliah ia mencoba berteman dengan seseorang, namun justru dia menjauh. Dari sana kemudian dia beranggapan mereka memang menjauh dari laki-laki, kemudian dia melihat temannya tersebut berpenampilan feminin. “Bukan kami yang menjauhi, tapi dia,” ujarnya. Dia juga berpendapat laki-laki feminin tidak selalu identik dengan gay atau penyuka sesama jenis. Hal ini diketahui ketika salah satu temannya yang feminin juga pernah mengungkapkan bahwa dia menyukai seorang perempuan.
Tanggapan yang lain datang dari Johan Herianto, mahasiswa jurusan teater ISBI. Menurutnya laki-laki feminin ini wajar. Demikian juga yang mempunyai orientasi seksual sejenis. “Itu sifat alamiah, karena setiap orag punya sisi yang paling lembut dan itulah yang membuat mereka nyaman,” kata Johan ditemui di kampusnya. Bagi Johan, berteman dengan laki-laki feminin, memiliki kenyamanan sendiri. Dia kadang lebih mengerti laki-laki itu sendiri. Bahkan memiliki kelebihan dari pada dirinya.
Di kampus ISBI, kata Johan tidak sedikit mahasiswa yang feminin. Terutama di jurusan seperti Tari dan Tata Busana. Namun kampus ini tidak mempersoalkan kondisi tersebut. Menurutnya jika pun ada yang mengatakan mereka bencong atau jangan main dengan mereka. Itu sifatnya becanda, bukan kemudian diasingkan.“Kalau saya nyaman dengan mereka,” kata Johan.
Seperti halnya dengan Johan, Muhammad Zulfareza, mahasiswa jurusan Antropologi ISBI ini melihat banyak mahasiswa berekspresi feminin di kampusnya, terutama di jurusan Tari dan Tata Busana. Hal itu tak dipersoalkan di kampusnya. Mahasiswa angkatan 2017 ini ini juga tak mempersoalkan mereka. Ia tetap berteman dengan mereka selama tidak mengganggu. Ia tak memungkiri di jurusannya masih banyak yang belum menerima kehadiran mereka yang berekspresi feminin. Mereka takut dan menganggap individu yang berekspresi feminin adalah penyuka sesama jenis. “Laki-laki yang feminin selalu identik suka laki laki. Meskipun feminin sebenarnya tidak selalu suka dengan laki-laki,” tambah Reza.
Menurut Reza di kampusnya, tidak mempersoalkan yang demikian. Asal mereka mau bergaul, orang-orang akan menerima.“Di sini, justru diskrimniasi terhadap orang-orang yang sering menyendiri. Kalau suka menyendiri otomatis dibullying,” ungkap Reza.
Kajian Hasil SGRC UI
Arung Samudra, anggota Support Group and Resource Center on Sexuality Studies UI menjelaskan, ekspresi gender feminin, dari hasil diskusi kajian SGRC diantaranya karena faktor biologis. Laki-laki dengan hormon testoteron dan perempuan dengan hormon estrogen. Kedua jenis hormon tersebut saling berkorelasi. Sementara bila laki-laki banyak dipengaruhi hormone estrogen, biasanya menjadi feminin.
“Faktor Ilmiah inilah yang banyak mempengaruhi laki-laki menjadi feminin dibandingkan faktor sosial,” kata Arung yang merupakan sarjana Psikologi Universitas Indonesia ini.
Menurut Arung, faktor bawaan inilah berpengaruh besar dalam membentuk ekspresi gender. Meski keluarga mereka tidak menerima ekspresi tersebut, biasanya seseorang akan mengekspresikannya di tempat lain. Biasanya di kampus mereka akan lebih terbuka dibandingkan di rumah. Mereka juga akan lebih ekspresif dengan temannya di kampus. Arung mencontohkan, ada seorang temannya yang akan diwisuda. Namun sebelumnya mereka memperingatkan terlebih dahulu teman-temannya di kampus. Kemudian mereka lebih memilih berfoto saat gladi sebelum wisuda.
“Kebanyakan foto-fotonya sebelum di gladi wisudanya. Pada saat bersama orang tuanya, mereka berpakaian rapih, karena harus menyesuaikan dengan ekspektasi keluarga,” ujar Arung.
Namun kata Arung, ekspresi gender feminin bukan tak mendapat tekanan sosial. Ada peraturan tak tertulis yang menjadi tekanan sosial bagi mereka. “Seperti kok kamu lenjeh dan melambai banget. Walau pun sebenarnya banyak diantara mereka yang heteroseksual. Mereka punya pacar dan sebagainya,” katanya.
Tak hanya itu, kata Arung, mereka juga didiskriminasi secara eksplisit. Seorang laki-laki adalah laki-laki. Sehingga ekspresi tertentu harus dikendalikan. Seorang laki-laki di mata masyarakat harus menjadi maskulin. Bila tidak maskulin kemudian akan dipanggil bencong. Biasanya, kata Arung, mereka yang berada di Fakultas Sosial, tidak begitu merasakan itu. Berbeda yang ia rasakan di Fakultas Teknik atau Sains yang menganggap penting maskulinitas. Bila masih berjalan berlenggang akan menjadi omongan. “Artinya ada ekspektasi yang menganggap ekspresi tertentu harus dikendalikan,” katanya.
Kesetaraan di Lingkungan Akademik
Arung berharap, komunitas akademik, kampus atau universitas melakukan hal yang setara terhadap kelompok tertentu yang dianggap berbeda. Apalagi dalam dunia akademik itu, lensa akademik yang digunakan tidak bisa sepenuhnya religius. “Kadang data yang kita temukan tidak sesuai dengan harapan kita sebelumnya,” kata Arung.
Menurut Arung, banyak sekali temuan psikologi yang mengenalkan kelompok minoritas. Tidak hanya soal ekspresi gender, namun juga kelopok ras lainnya. “Saya berharap masyarakat lebih menerima kelompok-kelompok tersebut,” ungkap Arung.[]