Penulis : Muh Fahrurozi

Gerakan mahasiswa belakangan ini bisa bisa dikatakan mengalami kemunduran yang cukup signifikan. Pasalnya tiap-tiap kampus di negeri ini mulai membatasi ruang gerak mahasiswanya, bahkan menyuarakan sedikit, aspirasi pun dilarang.
Beberapa mahasiswa di beberapa kampus memang masih ada yang sampai hari ini terus melantangkan suaranya melawan ketidakadilan, walaupun dengan menanggung resiko akademik. Hal semacam ini patut diapresiasi, lebih-lebih untuk teman-teman mahasiswa Indonesia bagian Timur yang selama ini patut kita acungi jempol ganda karena tetap konsisten dalam dunia-dunia pergerakan yang mengawal setiap ketimpangan kebijakan di negeri ini.
Tapi, bukankah sesuatu hal yang sia-sia ketika menyampaikan aspirasi yang menggema di bawah terik matahari bercampur polusi-polusi ibu kota itu sama sekali tidak memiliki efek dan pengaruh apapun terhadap pemegang kebijakan?
Ada satu hal yang luput dari penglihatan kita, demonstrasi sekarang tidak lagi idealis. Kurang lebih seperti itu anggapan beberapa orang dan juga masyarakat. Demonstrasi yang dilakukan tidak lebih hanya sekedar pencitraan belaka. Buktinya tidak ada hasil nyata yang mereka dapat selepas aksi. Bahkan tidak jarang mendapat cemooh dari masyarakat.
Walaupun begitu, saya masih tetap percaya dan yakin bahwa di antara puluhan dan ratusan orang dalam masa aksi itu, masih ada beberapa yang ‘mungkin’ masih idealis yang patut disebut aktivis ‘sejati’. Meskipun juga makna aktivis yang sebenarnya agung dan suci karena selalu menantang ketidakadilan dan ketidakmanusiaan, pada akhirnya di rusak oleh beberapa orang, sehingga lahirlah paradigma yang buruk terhadap makna aktivis.
Itu adalah sekelumit realitas yang tidak bisa kita elakkan. Tapi fokus tulisan ini menjurus tentang masa aksi yang dewasa ini terkesan patah dan tumpul. Kenapa patah dan tumpul? Gerakan aksi muncul di tiap-tiap ruas jalan ibu kota, mamun sangat di sayangkan, ditengah keadilan yang semakin hari tidak lagi di rasa merakyat ini, mereka malah memilih muncul dengan kelompok-kelompok kecil, membawa idealisme dan ideologi kelompok mereka masing-masing.
Maka tidaklah mengherankan, pemerintah hanya menutup mata dan menganggap sepele masa aksi. Kalau sudah begitu, jelas di mata pemerintah mahasiswa tidak lebih seperti pengemis gelandangan yang tidak berarti apa-apa, bertikai satu sama lainya seperti kucing yang berebut ‘tulang ikan’. Bahkan mungkin berebut tampil di media sosial dengan foto berlatar masa aksi dan kepulan asap ban bekas yang dibakar sambil memegang megaphone, bendera dan spanduk. Sehingga suara yang diteriakan dengan sedikit patah-patah itupun tambah tidak sampai menggetarkan kursi yang sedang ‘petinggi’ negeri ini tempati sekarang.
Dan yang paling mengherankannya lagi, ini betul-betul terjadi di dunia pergerakan mahasiwa. Ada kejadian masa aksi yang salah satunya berdemonstrasi di sisi kanan jalan, satu kelompok lainya lagi berdemonstrasi di sisi kiri jalan, begitupun di beberapa ruas jalan lainya sama. Padahal demonstrasi yang mereka lakukan itu sama tujuan dan ujungnya.
Gerakan semacam itu ibarat lidi-lidi yang berceceran. Pertanyaannya mampukah satu batang lidi menyapu semua sampah dalam suatu lapangan? Tidak bisa! Ada kemungkinan lidi itu patah di tengah jalan. Maksud saya, kenapa tidak meleburkan diri saja menjadi satu gerakan masa aksi? Ketika masa aksi bersatu dan hadir dalam satu gerakan yang besar, saya yakin dan percaya kursi empuk dalam ruangan ber-AC yang dibangun dari keringat rakyat itu akan bergetar. Dan mereka tidak punya pilihan lain, kecuali meninggalkan kursi atau merubah kebijakan.[]
*Penulis: adalah mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar dan Panggagas Komunitas Pecandu Pikiran