Oleh: Alwi Dahlan Ritonga
Salah satu tema yang cukup banyak didiskusikan oleh berbagai kalangan dalam momen pemilihan presiden 2019 ini adalah fenomena maraknya diskursus tentang politik identitas. Kontestasi yang seharusnya didominasi oleh wacana-wacana produktif, konstruktif dan solutif bagi masyarakat justru tercederai dengan adanya nuansa politik identitas yang sangat kental. Sayangnya, kedua pihak terlihat sama-sama terlibat dalam permainan politik identitas ini. Bahkan masing-masing kubu saling menuding lawannya dengan mengatakan “pihak sana” memainkan isu identitas seolah-olah pihaknya tidak memainkan identitas sama sekali. Fenomena ini kemudian direspon oleh banyak elemen, seperti yang dilakukan oleh Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), mereka menyikapi permasalahan tersebut dengan mengadakan riset yang bertujuan untuk mengelola politik identitas dan merekomendasikan kepada para calon agar kampanye dilakukan lebih programatik dan strategi kontra narasi terhadap politisasi isu sara (Puskapol UI, 2019). Intinya, Puskapol UI ingin menyampaikan kepada kedua pihak bahwa mempermainkan isu identitas tidak memberikan manfaat yang berarti bagi publik pemilih terutama bagi kelompok undecided voters, dengan demikian juga tidak akan mendapatkan efek elektoral terhadap masing-masing calon.
Selain Puskapol UI, CSIS (Centre For Strategic And International Studies) juga melakukan penelitian yang serupa yaitu dengan melakukan survei serta analisis terhadap politik identitas sebagai preferensi publik dalam memilih presiden 2019 ini. Hasil temuannya menunjukkan bahwa politik identitas tidak efektif dalam mempengaruhi perilaku pemilih di tingkat nasional (Pilpres). Pilihan publik justru sangat ditentukan oleh faktor kredibilitas, integritas dan program dalam pasangan calon (Fernandes, 2019). Dari temuan-temuan tersebut dapat dipahami bahwa cara-cara yang dilakukan oleh masing-masing kubu sebenarnya sangat tidak produktif terhadap publik. Baik dari segi edukasi maupun dari segi upaya pengkatrolan elektabilitas calon.
Namun, faktanya sampai saat ini kedua kubu masih saja berkelut dengan isu politik identitas. Penulis beranggapan bahwa kedua kubu telah mengabaikan temuan ilmiah yang dilakukan oleh dua lembaga tersebut. Seperti yang disebutkan di awal tadi, bahwa dua-duanya hanya saling tuding tanpa ada upaya korektif. Tulisan ini akan berusaha untuk membuktikan bahwa kedua kubu abai terhadap dampak politik identitas. Mereka masih saja melakukan politisasi identitas dengan sengaja. Untuk mempermudah penulis dalam mengkaji fenomena ini, maka penulis akan memakai teori politik identitas. Huntington mengatakan bahwa ikatan-ikatan politis semakin diperkuat oleh adanya ikatan-ikatan kultural: etnik, keagamaan, dan sivilisasional (Huntington, 2012, p. 211). Untuk menganalisis konteks Indonesia, menurut penulis akan lebih cocok jika memakai teori yang disampaikan oleh Syafii Maarif yang mengatakan bahwa politik identitas di Indonesia lebih bermuatan etnisitas, agama dan ideologi politik (Maarif, 2012, p. 20). Dengan demikian tulisan ini akan menganalisis praktik politik identitas berdasarkan etnisitas, agama dan ideologi politik yang dilakukan oleh kedua kubu.
Sebelumnya, penulis ingin mengatakan bahwa politik identitas yang dimaksud dalam konteks pemilihan presiden 2019 ini adalah kondisi dimana ketika tiga komponen identitas tersebut dijadikan sebagai komoditas politik untuk diperdagangkan demi kepentingan elektoral. Etnisitas, agama dan ideologi dijadikan sebagai strategi untuk meraup suara sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan perjuangan kepentingan elemen tersebut. Inilah kemudian yang membedakan praktik politik identitas yang ada di Indonesia dengan yang ada pada umumnya. Secara teoritis, maksud dari politik identitas adalah kondisi ketika elemen identitas tersebut melakukan gerakan politik untuk menunjukkan eksistensi atau hak-hak identitasnya. Molina mengatakan bahwa politik etnis mengkaji peran yang dimainkan etnisitas dalam membentuk perilaku politik individu dan kelompok, dan peranan yang dimainkan etnisitas dalam mengonstruksi institusi sosial, ekonomi dan politik (Molina, 2013). Hal inilah yang membuat teori politik identitas menjadi sangat kabur. Ketiga identitas tersebut bukannya menjadi subjek politik, tetapi lebih kepada sebagai objek politik. Dengan demikian, imbasnya adalah terjadi proses reduksi makna terhadap identitas tersebut.
Etnisitas
Etnisitas menjadi salah satu modal sosial yang kita miliki sampai saat ini. Keberagaman etnis yang kita miliki menjadikan kita pantas disebut sebagai negara paling multietnik atau multikultural. Namun, dengan model politisasi identitas yang berlaku di Indonesia, dikhawatirkan nantinya akan meningkatkan ego entisitas. Hal ini tentu berbahaya bagi integrasi bangsa, karena keutuhan dan persatuan bangsa akan terancam oleh adanya ego-ego etnis tersebut. Dalam kasus pilpres 2019 ini, terlihat bahwa masing-masing calon berusaha meraup suara dengan menjual etnisitas. Seperti yang dilakukan oleh calon wakil presiden 01 Ma’ruf Amin saat kampanye di beberapa daerah. Ketika kampanye di Garut, beliau mengatakan bahwa dirinya merupakan keturunan Prabu Siliwangi, di Cirebon beliau mengatakan bahwa dirinya orang Jabar dan keturunan Sunda maka sangat keterlaluan jika warga Cirebon dan Jabar tidak memilihnya. Begitu juga ketika sedang di Madura, Ma’ruf menyebut, setelah ditelusuri ternyata ia masih memiliki garis keturunan Madura yaitu daerah Arosbaya dari leluhurnya, Kiai Demang Plakaran yang merupakan salah satu raja di Bangkalan. Dari keturunan Kiai Demang Plakaran itulah darah Madura dan Arosbaya Ma’ruf berasal (Arigi, 2019; CNN, 2019a; Kumparan, 2019).
Hal demikian juga terjadi di pasangan capres 02 Prabowo saat kampanye di Purwokerto. Di depan publik dia mengatakan bahwa dirinya masih keturunan Banyumas dan merasa bangga sebagai putra Purwokerto. Dia juga mengatakan “kapan lagi putra Purwokerto masuk Istana” (CNN, 2019b). Dari praktik kampanye yang dilakukan oleh dua calon tersebut terlihat bahwa mereka berupaya mendapatkan suara dengan membangkitkan semangat ego etnisitas publik. Hal ini bisa saja efektif untuk meraup dukungan, hanya saja bisa berdampak negatif kepada mutu demokrasi dan bisa menjadi ancaman persatuan.
Agama
Setelah mengulas tentang etnisitas, selanjutnya kita akan membahas tentang identitas kedua yaitu agama. Identitas ini sebenarnya paling krusial dalam momen pilpres 2019 ini. Isu tentang politisasi agama sangat kental sejak awal berlangsungnya proses pemilu 2019. Kedua calon terlihat saling berlomba-lomba untuk mendapatkan suara pemilih muslim. Sebelumnya pada tahun 2017, Jokowi pernah mengatakan bahwa agama harus dipisahkan dengan politik (Kompas.com, 2017) maka ternyata pada saat penentuan calon wakil presiden, Jokowi justru mengangkat seorang ulama (Ma’ruf Amin). Bahkan saat ini, salah satu tagline kampanye pasangan ini adalah umara dan ulama. Keduanya diasosiasikan sebagai pasangan yang ideal untuk umat islam. Tentu saja hal ini dilakukan demi strategi dan hitung-hitungan politis juga sebagai upaya untuk menepis isu-isu yang mengatakan bahwa dirinya anti islam. Demikian juga dengan pasangan 02, sejak awal Prabowo sudah di identikkan sebagai calon yang islamis. Ia membangun kedekatan dengan ormas yang sangat frontal menyuarakan gerakan islam yaitu FPI. Aksi 212 yang digalang oleh kekuatan islam dianggap oleh lawannya sebagai upaya politisasi agama yang dilakukan oleh Prabowo. Keduanya juga berlomba-lomba ingin meraup suara santri dan para ulama-ulama yang ada di Indonesia. Masih banyak lagi kasus-kasus yang membuktikan adanya upaya kedua kubu bermain di wilayah identitas agama dalam menjalankan ambisi politiknya. Tetapi pada intinya, agama sebagai identitas memang menjadi objek politisasi yang paling sering dilakukan oleh kedua kubu.
Ideologi Politik
Pada wilayah ideologi politik, terdapat hal yang cukup menarik karena kedua kubu mengklaim sebagai pasangan yang sangat pancasilais. Politisasi ideologi bekerja yaitu dengan cara melakukan klaim pancasilais dan disi lain menuding pihak lawan sebagai kubu yang anti pancasila. Isu tentang ideologi politik menjadi semakin hangat ketika Jokowi melakukan pembubaran kepada Ormas Islam HTI. Ideologi khilafah yang dibawa oleh ormas ini ternyata menjadi bahan kampanye untuk meraup suara di kalangan nasionalis dan islam moderat. Kubu 01 selalu melemparkan isu ke publik bahwa kubu 02 merupakan antek-antek HTI dan akan berusaha untuk mengubah ideologi Pancasila menjadi Khilafah. Hal ini kemudian ditanggapi serius oleh 02 dengan cara melakukan klarifikasi pada saat debat pilpres yang ke – 4. Begitu juga sebaliknya, kubu 02 masih terus melakukan tudingan kepada Jokowi bahwa disekelilingnya banyak orang-orang yang berpaham komunis dan nantinya akan berusaha mengubah ideologi Pancasila menjadi ideologi Komunis.
Ikhtisar
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan diatas, maka dapat dilihat bahwa politik identitas yang dilakukan oleh kedua kubu bermain pada wilayah etnisitas, agama dan ideologi politik. Pada wilayah identitas ke etnisan, keduanya sama-sama mengumumkan dirinya sebagai keturunan dari etnis tertentu kepada publik. Hal ini tentu dimaksudkan untuk bisa meraup suara dari kalangan etnis yang disebutkan tersebut. Hanya saja, hal ini beresiko menimbulkan ego etnisitas di tengah publik dan akan bisa mereduksi nilai persatuan sebangsa se tanah air.
Pada wilayah agama, keduanya terlihat sama-sama melakukan pendekatan-pendekatan yang sangat massif kepada simbol-simbol agama islam seperti para ulama, santri dan ormas-ormas islam. Suara islam memang sangat menentukan kemenangan karena jumlahnya yang sangat mayoritas. Akan tetapi, memainkan isu agama sangatlah jauh dari kata bijak. Hal ini sangat beresiko tinggi terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Terakhir pada wilayah ideologi politik. Klaim paling sebagai kubu yang Pancasilais terlihat diantara keduanya. Keduanya berusaha untuk menjunjukkan bahwa kubunyalah yang paling setia untuk mempertahankan ideologi negara. Disamping itu, stigmaisasi ideologis juga dijalankan keduanya untuk meraup suara kalangan moderat dan nasionalis. Kubu Jokowi mengatakan Prabowo ingin mengubah Pancasila menjadi Khilafah maka sebaliknya kubu Prabowo mengatakan bahwa Jokowi dekat dengan orang-orang komunis dan nantinya akan mengubah Pancasila menjadi Komunisme.
Dari pembahasan-pembahasan yang ada tersebut, maka penulis menarik kesimpulan bahwa kedua kubu sama-sama bermain dalam politik identitas. Keduanya abai terhadap resiko jangka panjang yang akan ditimbulkan oleh permainan politik identitas tersebut. Masyarakat harus cerdas melihat situasi ini agar tidak menjadi korban dari permainan politik identitas ini.
*Mahasiswa Magister Ilmu Politik UNPAD, Asisten Peneliti di Pusat Studi Politik dan Demokrasi UNPAD
Referensi
Arigi, F. (2019). Ma’ruf Amin: Warga Jabar Tak Memilih Keturunan Jabar Inalillahi. Retrieved April 11, 2019, from Tempo.co website: https://pilpres.tempo.co/read/1179375/maruf-amin-warga-jabar-tak-memilih-keturunan-jabar-inalillahi
CNN. (2019a). Kampanye di Garut, Ma’ruf Klaim Keturunan Prabu Siliwangi. Retrieved April 11, 2019, from CNN Indonesia website: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190404221027-32-383560/kampanye-di-garut-maruf-klaim-keturunan-prabu-siliwangi
CNN. (2019b). Kampanye di Purwokerto, Prabowo Ngaku Bangga Berdarah Banyumas. Retrieved April 11, 2019, from CNN Indonesia website: https://nasional.sindonews.com/read/1391976/12/kampanye-di-purwokerto-prabowo-ngaku-bangga-berdarah-banyumas-1554125224
Fernandes, A. (2019). Politik Identitas dalam Pemilu 2019 : Proyeksi dan Efektivitas. In Centre For Strategic And International Studies. Jakarta.
Huntington, S. P. (2012). Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia. Jakarta: Penerbit Qalam.
Kompas.com. (2017). Presiden Jokowi: Pisahkan Agama dan Polit. Retrieved April 11, 2019, from Kompas.com website: https://nasional.kompas.com/read/2017/03/24/19084521/presiden.jokowi.pisahkan.agama.dan.politik.
Kumparan. (2019). Ma’ruf Amin Kampanye ke Bangkalan: Saya Punya Darah Madura. Retrieved April 11, 2019, from Kumparan website: https://kumparan.com/@kumparannews/ma-ruf-amin-kampanye-ke-bangkalan-saya-punya-darah-madura-1539948626260386171
Maarif, A. S. (2012). Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. In I. A. Fauzi (Ed.), Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita (Edisi Digi). Jakarta: Demokracy Project Yayasan Abad Demokrasi.
Molina, A. D. (2013). Ras, Etnisitas, dan Politik. In J. T. Ishiyama & M. Breuning (Eds.), Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu (Jilid 2, p. 1334). Jakarta: Kencana Prenada Media Gorup.
Puskapol UI. (2019). Politik Identitas Dalam Kampanye Pemilu 2019. Retrieved April 10, 2019, from PUSKAPOL FISIP UI website: https://www.puskapol.ui.ac.id/press-release/politik-identitas-dalam-kampanye-pemilu-2019.html