Menulis seni memang sekilas seperti menulis topik yang lainnya. Namun sebenarnya ada perbedaan-perbedaan. Misalnya, seni dipercaya sebagai buah ekspresi manusia yang melampaui bahasa – seperti kata Nietzsche, “Manusia ingin berkomunikasi dengan sesama, tapi apa daya terpenjara bahasa.” – sehingga upaya membahasakan kembali justru malah “merendahkan” nilai seni itu sendiri. Kedua, menulis seni tampak tak punya guna, karena sebagian apresiator beranggapan, “Seni dinikmati saja dengan panca indera, tak perlu dituliskan segala.” Malah yang lebih tendensius, adalah tuduhan pada penulisan seni, sebagai luaran yang subjektif, yang tidak paham akan kondisi sebenarnya, sehingga muncul ekspresi yang biasanya diutarakan seniman pada penulis seni: “Sok tahu, maen aja enggak!”
Memang, seniman tidak sepenuhnya keliru ketika mengungkap tuduhan tersebut. Karena ya, memang ada juga penulis seni yang malas mencari referensi, abai kala mengapresiasi, serta melihat seni sebagai liputan pada umumnya, yang bisa diwakili dengan kesan-kesan apa adanya: “musik yang sedih”, “tarian yang mengguncang”, “lukisan yang indah”, dan lain-lain – yang pernah membuat Harry Roesli geram pada tulisan di media yang hanya menyebut pertunjukkannya sepi pengunjung tanpa penulis tersebut mengapresiasi estetika yang hadir di panggung -.
Padahal penulis seni, terutama sejak abad ke-20, ketika seni kian mengerucut menjadi ekspresi individual (bukan lagi semangat zaman), semakin diperlukan. Seni tidak lagi apa yang disebut Marcel Duchamp sebagai “retinal” atau memuaskan mata (kita bisa mengganti mata dengan telinga atau penginderaan lainnya), tapi semakin berkembang ke arah gagasan-gagasan yang memprovokasi pemikiran. Pada titik itu, penulis seni punya peran mengunyah, menafsir, dan menambah-kurangkan melalui kata-kata, agar apresiator “mengerti” apa yang ada di hadapannya dan lebih jauh lagi, seniman-kreator juga menjadi punya khazanah pembacaan baru yang muncul dari referensi serta kerangka intelektual yang disuguhkan oleh penulis seni.
Penulis seni saat ini sudah masuk pada wilayah medan sosial seni sebagai unsur penting dalam dinamika kekaryaan itu sendiri. Keindahan seni sudah tidak lagi berpusat pada objek karya seni secara an sich, melainkan sudah ada kait kelindan dengan tulisan-tulisan yang mengitarinya. Jika kita setuju bahwa seni adalah pilar peradaban yang krusial, maka penulis seni yang punya referensi dan apresiasi yang baik, ditambah kemampuan teknis yang mumpuni, akan melahirkan, lebih jauh, peradaban yang baik juga.
Apakah anda salah satunya yang berminat menulis seni?
Yuk belajar bersama di Kelas Intensif Menulis Seni
🗓 Tanggal 13, 15, 17, 20, 22, 24 & 27 May 2019
⏰Jam 16.00 – 18.00 Wib
🏠 Di @KaKa_Cafe
Jalan Sultan Tirtayasa No. 49
Bandung
📚 Peserta akan belajar :
– Penulis Seni dan Perannya
– Ragam Pemikiran Estetika Klasik
– Ragam Pemikiran Estetika Modern dan Kontemporer
– Apresiasi Seni Bagian Pertama (Di Kelas)
– Apresiasi Seni Bagian Kedua (Di Lapangan/ Ruang Pertunjukan)
– Pembimbingan Menulis
– Presentasi
Salam Kritis🙏
www.kabarkampus.com
@kabarkampuscom
@kakalektur
@KaKa_cafe
@FutureClub.id
Geostrategy Study Club
Pengajar :
Syarif Maulana
Syarif Maulana lahir di Bandung, 30 November 1985. Selain aktivitasnya sebagai akademisi di Kelompok Keahlian Ilmu-Ilmu Kemanusiaan, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung, Syarif juga menggeluti karir di bidang tulis menulis dan juga seni.
Syarif menjadi kurator pameran keramik berjudul “Mythologies: The Holy Myth of A Clay” (2017) yang memamerkan karya-karya dari Aris Darisman, Bonifacius Djoko Santoso, Dodi Hilman dan Mia Diwasasri di IFI – Bandung dan pameran grafis berjudul “Jantan” (2017) dari Aci Andryana di Sekolah Tinggi Desain Indonesia.
Selama dua tahun berturut-turut, Syarif menjadi bagian dari kegiatan festival kota tahunan bertajuk Seni Bandung sebagai Kepala Kurator Musik (2017) dan Direktur Artistik (2018).
Selain pernah diundang Direktorat Jenderal Kebudayaan untuk menulis tentang “Festival Gamelan Solo: Gamelan Homecoming” (2018) sebagai blogger, Syarif juga aktif menjadi kontributor untuk berbagai media seperti Pikiran Rakyat, artspace.id, voxpop.id, dan bolasport.com.
Aktivitas di bidang seni antara lain sebagai koordinator komunitas musik klasik Klabklassik (2005 – sekarang), resital gitar klasik solo maupun ensembel (2006 – 2012), penata musik untuk pertunjukan teater anak dari Yayasan Arsari di Gedung Kesenian Jakarta (2010), instruktur Lokakarya Penulisan Musik di Jendela Ide bersama Djaelani dan Idhar Resmadi (2018), penata musik untuk pertunjukan wayang kontemporer Behind The Actor’s di Moskow, Rusia (2017), penulis naskah untuk pertunjukan wayang kertas Teater Kertas Garasi10 di Moskow, Rusia (2018) dan sekarang menjadi manajer untuk band “progressive rock” legendaris, Giant Step serta kurator untuk Rawayan World Music Festival.
Tulisan-tulisannya dapat dibaca di www.syarifmaulana.com.
KUOTA TERBATAS!
Sila daftar melalui link
⬇⬇⬇⬇⬇⬇⬇
“Hidup hanya sekali, hiduplah bermutu!