Hari ini pada 23 tahun yang lalu, tepatnya Sabtu tanggal 27 Juli 1996, terjadi peristiwa politik yang wajib diketahui oleh siapapun. Tentu saja bagi mereka yang merasa peduli pada negara-bangsa ini. Terutama mereka yang mengaku penuh perhatian pada dinamika politik nasional: mau dibawa kemana negara dan pemerintahan negara ini? Ada yang menyebut peristiwa politik itu sebagai tragedi, dan ada yang menyebutnya sebagai insiden. Tentu ada juga yang tidak mau menyebutnya apa-apa. Mungkin karena memang tidak mau tahu apalagi peduli. Seperti biasanya, mau atau tidak mau menyebutnya apa, mau atau tidak mau tahu, dan mau atau tidak mau peduli terhadap peristiwa itu adalah hak dan pilihan masing-masing orang. Apaan seeh…
Apapun itu, peristiwa ini telah menjadi bagian dari sejarah perpolitikan nasional dan domestik di negara-bangsa ini. Peristiwa ini terkenal disebut sebagai: kudatuli. Istilah itu pertama kali dimuat di Tabloid Swadesi, setelah itu diterima dan digunakan kembali oleh berbagai media massa. Bahkan seorang tentara yang menulis sebuah buku, juga menggunakan istilah itu di dalam bukunya. Apakah ini murni menjadi peristiwa dalam sejarah perpolitikan nasional dan domsetik sifatnya? Jangan-jangan, bagian dari sejarah perpolitikan internasional ya? Mungkin saja, belum bisa dipastikan, karena sejarah ini masih kabur bahkan gelap. Atau sengaja dikaburkan dan digelapkan? Oleh siapa? Mengapa? Entahlah, ayo kita tanyakan pada rumput-rumput yang mungkin tidak bisa bergoyang-goyang lagi karena perubahan iklim, dan pemanasan global (masih hoax-kah?). Mungkin juga, rumput-rumput itu sudah mengering dan mati dibunuh orang-orang karena dianggap mengganggu. Lalu, bertanya kepada siapa? Tuhan?
Kudatuli adalah singkatan dari kasus (ada yang menyebutnya kerusuhan) dua tujuh Juli. Sebuah peristiwa penyerbuan sebagai upaya penguasaan Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro 58, Jakarta. Penyerbuan itu dilakukan oleh orang-orang dari PDI pimpinan Soerjadi yang mengklaim sebagai Ketua Umum dari hasil kongres di Medan. Pihak yang diserbu adalah kantor partai yang diduduki orang-orang dari PDI pimpinan Megawati Soekarnoputri yang mengklaim sebagai Ketua Umum dari hasil kongres di Surabaya. Mengapa terjadi dua kongres di dua kota besar di Indonesia yang menghasilkan dua ketua umum partai? Mengapa sesama PDI saling mendahului? Eh bukan saling, tapi ada. Ada yang menyerbu dan diserbu, ada yang menguasai dan dikuasai. Tanya kenapa? (Kayak iklan rokok ya…).
Dikabarkan di berbagai media massa -yang sampai saat tulisan ini dibuat masih ada-, bahwa peristiwa kudatuli diduga kuat melibatkan unsur militer, Komando Daerah Militer (Kodam) Jaya serta kepolisian (Polri). Selain itu, pemerintahan Presiden Republik Indonesia (RI) ke dua Soeharto, konon “tidak memberi restu” pada PDI pimpinan Megawati. Tidak memberi restu-nya Presiden, mengapa menyebabkan penyerbuan dan upaya penguasaan kantor sebuah partai politik? Padahal presiden tersebut juga bukan berasal dari partai politik tersebut. Bahkan ada dugaan itu, mengapa militer atau tentara bisa terlibat? Bukankah sebuah partai politik berisi orang-orang sipil? Bukankah militer atau tentara seharusnya bertugas untuk menjaga pertahanan dari serangan musuh (asing) yang berasal dari luar negeri? Apakah terlalu membahayakan isi kantor partai politik bagi negara-bangsa sehingga militer atau tentara harus dilibatkan?
Bersambung ke halaman selanjutnya –>