More

    KUDATULI

    Ketika peristiwa itu disebut tragedi, karena Kudatuli telah menyebabkan lima orang meninggal dunia. Selain itu, ada 149 orang sipil dan aparat terluka. Penyerbuan dan upaya penguasaan sebuah kantor partai politik itu akhirnya menyebarluas ke daerah lain di Jakarta. Selain di Jalan Diponegoro, juga Salemba dan Kramat, di mana ada beberapa kendaraan dan gedung terbakar (atau dibakar?) dan telah menjatuhkan korban. Selain menjatuhkan korban, ternyata juga terjadi adanya tuduhan terhadap para Aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) sampai penjeblosan mereka ke penjara. Sebanyak 136 orang ditahan, sebagiannya, mungkin juga bukan aktivis. Namun, para Aktivis PRD tersebutlah yang dituduh oleh pemerintah sebagai penggerak kerusuhan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI dari hasil investigasi mereka menyimpulkan telah terjadi sejumlah pelanggaran HAM.

    Politik yang menjatuhkan korban adalah tragedi yang seharusnya tidak boleh terjadi. Apalagi akhirnya terbukti terjadi pelanggaran HAM. Sebab, politik itu sejatinya untuk menata kehidupan bersama dalam berbangsa dan bernegara dengan lebih baik. Termasuk untuk semakin menegakkan hukum dan mengukuhkan perlindungan HAM seluruh warga negara.  Dalam kehidupan sosial politik di mana dinamika politik masih terus berlangsung selama masyarakat dan negara masih ada, tragedi politik yang menyejarah mendatangkan kekhawatiran bahkan trauma. Memori atau ingatan buruk tentang tragedi politik tersebut akan terus membayangi keseharian hidup warga negara. Akan terus mendatangkan harapan akan pengungkapan kasus kerusuhan atau tragedi tersebut. Jika tidak diungkap dan dituntaskan, maka generasi hari ini mungkin akan semakin apatis terhadap politik, tidak peduli dengan kedaulatan negara, apalagi kejayaan bangsa. Sebab politik hanya menciptakan tragedi belaka!

    Apakah Presiden RI terpilih dalam pemilihan langsung preseiden (Pilpres) 2019 yang baru saja berlalu akan mampu membongkar kasus ini dengan sejelas-sejelasnya dan seterang-terangnya? Jika tidak, maka generasi milenial peduli politik, negara, dan bangsa ini yang masih tersisa (!), dan sudah mengetahui peristiwa kudatuli sebagai tragedi politik nasional itu, akan semakin tidak peduli sebab menjadi aktivis itu mengerikan! Berakhir di penjara atau di kuburan. Jika tidak, dihilangkan, dan pelakukanya adalah orang-orang tua mereka sendiri yang sedang berkuasa di pemerintahan.

    ***

    - Advertisement -

    Penulis: Virtuous Setyaka, Dosen HI FISIP Unand, Mahasiswa S3 HI Unpad, Ketua Koperasi MDM, dan Anggota Gostrategy Study Club (GSC) Indonesia.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here