More

    Apakah Teror dan Terorisme Adalah “The Other”

    2. IRIGARAY: KULIT DAN KEBENARAN-LANGSUNG DARI SENTUHAN

    Logika dan puisi itu sarana bagi abstraksi, membuat jarak, membuatmu masuk makin jauh ke dalam fenomena, menemukan keluasan. Namun, kita juga mesti menemukan cara untuk “kembali”, untuk menyadari bahwa jarak itu hanyalah ilusi.

    Dalam hal ini, saya sungguh menyukai seni keramik gaya “mingei” (seni orang biasa), seni keramik modern Jepang, oleh sebab sebuah pasu atau cawan keramik bisa membuat saya menyentuh abstraksi itu, membuat saya “pulang” dan menghapus ilusi dari jarak–tanpa kata-kata. Dan, karenanya, saya juga menyukai filsafat postmodernisme dari Luce Irigaray, seorang filsuf postmodernisme dari Perancis, yang menyatakan dengan gaya rileks dan humoris perihal “kebenaran-langsung” dari sentuhan.

    - Advertisement -

    Kulit kita, kulitmu dan kulitku, dengan seluruh jaringan sarafnya yang kompleks itu, adalah jangkar bagi kesadaran kita untuk berada di dalam dunia. Bagi Irigaray, seorang filsuf perempuan yang sangat orisinal pada abad ke-20, kulit adalah sarana bagi manusia untuk menjangkau realitas di luar bahasa–hal yang tak bisa dibuktikan oleh filsuf Jerman Imannuel Kant, sehingga ia pun berargumen, “Das ding an sich”, kita tak bisa mengetahui hakikat realitas di luar diri kita kecuali apa yang ada dalam pikiran kita sendiri. Benarkah begitu, Tuan Kant?

    Menurut saya, jika kita tidak bisa menyadari “kebenaran-langsung” yang dianugerahkan kepada kita melalui kulit, kebenaran yang biasa dan amat sehari-hari, kebenaran tanpa kata-kata, maka kita juga tak akan bisa merasakan dengan utuh presensi keindahan sebuah cawan keramik, atau puisi-puisi romantisme John Keats (seorang penyair Inggis abad ke-18), atau novel-novel neosensualisme yang halus dari Yasunari Kawabata (seorang sastrawan Jepang penerima Nobel Sastra 1968), bahkan keindahan “musik hening” dari John Cage–salah satu pemusik posmodernisme dari Amerika Serikat–sebab yang membuat kita bisa mendengar adalah gendang telinga, selapis “kulit” atau membran timpani di dalam telinga kita, semacam selaput yang bisa bergetar apabila disentuh suara, dan oleh karenanya keheningan bisa “terdengar” bila dan hanya bila kita memiliki pengalaman mendengar dari gendang telinga kita sebelumnya.

    Kulit manusia adalah sarana bagi “firman” untuk menjelma secara langsung di dalam realita, di dalam segala yang biasa, di sini dan saat ini–tanpa kata-kata.

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here