4/
Jika ada satu politisi yang melakukan kebohongan untuk membodohi publik, maka saat ini politisi tersebut bisa dituding telah melakukan tindakan post-truth. Hal itu menimbulkan kesan seolah yang dilakukan oleh politisi itu setara dengan satu tindak dalam wacana post-modern atau post-strukrural, sebuah cara untuk melawan modernitas atau segala yang terstruktur, dan, dengan demikian akan menjadi moda pembenaran–sadar atau tidak sadar–bagi tindakan pembohongan yang dilakukan oleh politisi tersebut, minimal menjadi inversi yang memberikan sedikit atau banyak rasa nyaman baginya. Ini jelas sebuah strategi teks yang membenarkan pembohongan dan pembodohan publik sebagai cara untuk menghormati dengan “amat santun” segala ketidakbenaran dan kebodohan dalam praksis politik, hal yang justru dibongkar oleh Noam Chomsky. Istilah post-truth di dalam paradigma Noam Chomski adalah newspeak, pemelintiran semantik satu kata atau frasa untuk menutupi kebenaran atau fakta yang sesungguhnya, yaitu kebohongan atau pembohongan publik dalam konteks politik. Dan, masih menurut Chomsky–bapak linguistik modern itu–media massa modern turut berkontribusi “membenarkan” kebohongan itu melalui aneka cara propaganda terselubung, di balik jargon kebebasan informasi. Sehingga, dengan demikian, masyarakat terpaksa menerima informasi apa pun yang dihidangkan media massa sebagai kebenaran faktual tanpa mesti menguji kebermaknaannya dengan hukum-hukum logika dan semantik.
5/
Apakah “post-truth” itu? Saya tak akan mencoba mengulangi eufimisme yang menjijikan itu untuk memaknai sesat-semantik dari istilah post-truth, yang pertama kali dipopulerkan oleh media massa di Amerika Serikat dan Inggris, selain–setelah melakukan pengujian berdasarkan logika di atas–memaknainya dengan satu pernyataan deklaratif berikut ini: “Post-truth adalah satu istilah eufemistik untuk memaknai dusta politik.”
—————————————————————–
Esai @ Ahmad Yulden Erwin, Januari 2017
—————————————————————–