More

    Post Truth : Satu Istilah Sesat Pikir dan Eufemisme Tentang Dusta Politik

    Sculpture (Sumber: https://ar.pinterest.com/pin/431501208027794638/)

    1/

    Saya tak mau menulis “berita”–semacam wahana atau bahkan mungkin satu-satunya wahana yang saat ini diterima oleh publik awam sebagai cara untuk mendiseminasi informasi–karena saat ini berita lebih banyak berfungsi sebagai wahana penyampai informasi, alih-alih “membuktikan” informasi. Era informasi, bagi saya, sudah mati. Namun, kematian informasi itu, lagi-lagi bagi saya, tidaklah setara dengan istilah “post-truth”. Itu sungguh istilah konyol untuk memaknai kebohongan dan sesat pikir, semacam “newspeak” atau eufemisme, dalam wacana politik. Istilah post-truth sendiri berasal dari David Roberts–seorang bloger Amerika Serikat–dalam salah satu tulisannya di majalah online Grist pada tahun 2010. Namun, tanpa diduga, “para penguasa” kamus Oxford–yang memiliki kecenderungan filosofis menerima bahasa sehari-hari sebagai moda permainan berbahasa yang memiliki aturan logikanya sendiri–akhirnya, miris sekali, justru terjebak dalam kekonyolan (bahkan ketololan) yang sama tatkala memasukkan istilah post-truth menjadi kata di dalam kamusnya. Lalu, apakah kerancuan makna dalam istilah post-truth–sebuah istilah yang mengesankan pelampauan intelektualitas dan, bahkan, secara ironik mengandung benih-benih spiritualisme–bagi mereka yang melakukannya?

    2/ 

    - Advertisement -

    Jika satu proposisi–pernyataan deklaratif yang bisa diujikan benar atau salahnya, yang berarti bersifat terbuka–tidak sesuai dengan fakta (baik fakta empiris atau teoritis), maka dapat disimpulkan bahwa proposisi itu salah atau merupakan satu dusta. Begitu merupakan prinsip dalam logika klasik maupun logika modern. Arisoteles di dalam buku “Organon”, yang ditulis sekira 2300 tahun lalu, telah memperingatkan hal di atas terkait prinsip kedua logika di dalam kerangka “teori kebenaran korespondensi”, yaitu: prinsip “tiada jalan tengah”. Prinsip ini menyatakan bahwa satu proposisi logis, dalam kerangka pemaknaan ruang-waktu tertentu, mesti sesuai dengan satu fakta tertentu atau tidak, dalam arti tidak bisa bersesuaian dengan keduanya, dan, hal itu berarti, segala sesuatu haruslah berada dalam relasi dengan fakta “A” atau “Bukan A”–tanpa menoleransi adanya “jalan tengah” atau alternatif ketiga. Misalnya, sebuah batu haruslah bersifat keras atau tidak keras, tidak bisa bersesuaian dengan keduanya. Jadi, hanya ada satu nilai dari pernyataan deklaratif: “benar” atau “salah”, tidak bisa “benar- sekaligus-salah”, atau “salah-sekaligus-benar”. Lalu, bagaimana perihal istilah konyol “post-truth” di atas? Apakah istilah tersebut ada pada jangkau nilai benar atau salah? Tentu, untuk menjawab pertanyaan tersebut, sang penjawab mestilah terlebih dahulu ingat dan bertolak dari prinsip tiada jalan tengah, sehingga istilah post-truth tersebut tidak boleh memiliki nilai benar-sekaligus-salah atau salah-sekaligus-benar. 

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here