Penulis : Virtuous Setyaka / Tan Patuih
Seorang Kawan saya Aven Januar, dalam tiga bulan terakhir ini (Oktober – Desember 2019) menjadi Relawan bagi penyandang disabilitas. Ia bekerja sebagai Relawan khususnya melakukan pendampingan bagi Mahasiswa penyandang tuna netra. Mereka yang didampinginya adalah seorang Mahasiswa S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Airlangga (FISIP Unair), dan tiga orang Mahasiswa S1 di Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
Aven tidak menerima honor sepeserpun dari pihak manapun alias gratis. “Murni gratis total”, demikian disampaikannya. Diantara yang dilakukannya sebagai Relawan adalah membantu mereka (para Mahasiswa penyandang disabilitas) untuk bernegosiasi dengan pihak kampus mengenai kelonggaran jadwal kuliah bagi mereka. Misalnya, mereka diberi kelonggaran untuk berkuliah hanya 15 hari saja dalam satu bulan. Hal itu dikarenakan terkendala beasiswa transportasi mereka ke kampus yang hanya cukup untuk 15 Hari saja.
Selain itu juga membantu menegosiasikan persoalan lainnya menyangkut keterbatasan mereka dalam mengakses pendidikan. Termasuk pengadaan sarana dan prasarana khusus pendidikan ke Mahasiswa penyandang disabilitas. Setelah membaca artikel-artikel saya tentang “Kampus Inklusif” dan “Menuju Kampus Ramah Anak” yang terbit di media massa beberapa hari yang lalu, Aven mengajak saya berdiskusi tentang “Kampus yang Ramah Disabilitas di Indonesia”.
Disabilitas di Indonesia
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 15 April 2016. Di dalamnya disebutkan bahwa Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Data penyandang disabilitas di Indonesia merujuk Kepala Sub Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik, Kementerian Sosial, Erniyanto menunjukkan sebanyak 21,84 juta atau sekitar 8,56 % penduduk Indonesia adalah penyandang disabilitas. Data tersebut diambil dari Survei Penduduk Antar Sensus atau SUPAS 2015. Hampir setengah dari penyandang disabilitas di Indonesia adalah penyandang disabilitas ganda. Kondisi umum penyandang disabilitas di masyarakat adalah masih rendahnya tingkat partisipasi dalam berbagai sektor kehidupan, yaitu pendidikan, pelatihan, pekerjaan, dan lain sebagainya. Penyandang disabilitas juga dianggap masih tereksklusi dari lingkungan sosial, dan akses mereka terhadap berbagai fasilitas dan layanan publik yang terbatas.
Mewujudkan Kampus Ramah Disabilitas
Oleh sebab itu, masih sangat relevan untuk mendorong kampus-kampus di Indonesia menjadi perguruan tinggi yang ramah bagi penyandang disabilitas. Beberapa hal yang memungkinkan untuk mewujudkan kampus ramah disabilitas diantaranya:
Pertama, kampus menerima Mahasiswa penyandang disabilitas, meskipun itu bukanlah hal yang mudah karena berkonsekuensi pada tanggungjawab lainnya untuk mendukung kebijakan tersebut. Apalagi jika harus menyediakan beasiswa untuk Mahasiswa penyandang disabilitas. Informasi yang diperoleh dari Aven, sekitar 80% penyandang disabilitas di Indonesia adalah kaum miskin. Sehingga dengan mempermudah akses pendidikan bagi para penyandang disabilitas, bisa membuka peluang bagi mereka untuk meraih kesejahteraan hidup yang lebih baik.
Kedua, kampus menyediakan pengajar dan metode pengajarannya bagi Mahasiswa penyandang disabilitas. Hal ini menjadi tantangan yang harus dijawab pihak kampus yang inklusif terhadap para penyandang disabilitas. Termasuk penggunaan teknologi modern dalam proses belajar mengajar bagi Mahasiswa penyandang disabilitas. Dan tentu saja sarana prasarana khusus bagi para Pendidik Mahasiswa penyandang disabilitas.
Selain menerima dan memberikan beasiswa, maka kampus juga harus menyediakan fasilitas dalam proses belajar mengajar (PBM). Beberapa fasilitas yang mungkin untuk membantu Mahasiswa penyandang disabilitas, misalnya bagi penyandang tuna netra adalah penggunaan Google Voice sehingga penyandang tuna netra secara murni mendengarkan rekaman suara dan sedikit penggunaan visual dalam PBM. Bagi penyandang tuna rungu dengan menggunakan Google Text sehingga suara berubah menjadi tulisan dan mereka akan dapat membaca tulisan tersebut. Teknologi tersebut adalah yang paling sederhana untuk diimplementasikan. Selain itu, diperkenankan juga bagi para Mahasiswa penyandang disabilitas untuk mengerjakan ujian yang inklusif dengan soal ujian rekaman suara bagi penyandang tuna netra, dan Google Text bagi penyandang tuna rungu.
Menurut Aven, diprioritaskan saja dulu bagi para penyandang tuna netra dan tuna rungu. Kalau untuk penyandang tuna daksa, hampir sama saja dengan para Mahasiswa yang bukan penyandang disabilitas lainnya terkait metode pengajaran. Para penyandang tuna daksa hanya membutuhkan infrastruktur misalnya ada lift untuk ke lantai atas, dan sebagainya. Sedangkan para penyandang tuna yang lainnya lebih sulit teknologinya, misalnya para penyandang down syndrome , dan sebagainya yang membutuhkan terapi dan pendekatan lebih khusus.
Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2019 tentang Fasilitasi Akses terhadap Ciptaan Bagi Penyandang Disabilitas dalam Membaca dan Menggunakan Huruf Braille, Buku Audio, dan Sarana Lainnya, pada tanggal 18 April 2019 dan diterbitkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 70 oleh Menkumham pada tanggal dan hari yang sama. Fasilitasi Akses adalah pemberian fasilitas untuk melakukan pemerolehan, penggunaan, pengubahan format, penggandaan format, pengumuman, pendistribusian format, dan/atau pengomunikasian terhadap suatu Ciptaan secara keseluruhan atau sebagian yang substansial dalam bentuk huruf braille, buku audio, atau sarana lainnya.
Ketiga, untuk menciptakan dan membangun ekosistem yang ramah disabilitas di kampus-kampus di Indonesia, harus didukung regulasi yang melegitimasi. Hal-hal di atas jika diniatkan dan diselenggarakan, memang tidak mudah, bahkan sudah termasuk cukup berat. Tapi untuk kampus-kampus negeri, tentu saja bisa mengakses pendanaan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk memenuhi berbagai kebutuhan tersebut melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dengan Sub-Direktorat Pendidikan Disabilitas.
Pendanaan untuk fasilitasi akses sesuai PP Nomor 27 Tahun 2019 bersumber dari: (1) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui anggaran kementerian atau lembaga yang bertanggung jawab sesuai dengan fungsi dan tugasnya; (2) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; (3) dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penulis adalah Dosen HI FISIP Unand, Mentor GSC, & Aktivis MDM