Oleh: Virtuous Setyaka*
Ilustrasi / Erhan Yalvac
Pada tahun 2020, dunia memahami globalisasi baru yang tidak hanya tentang ekonomi, politik, dan budaya, tapi juga tentang penyakit, yakni penyebaran virus corona. Globalisasi adalah fenomena yang awalnya lokal, menjadi nasional, dan akhirnya menginternasional (regional maupun global).
Globalisasi Covid-19
Dalam artikel berjudul Covid-19, dari Wabah Jadi Pandemi di katadata.co.id (16/3/2020), Andrea Lidwina menuliskan ringkas tentang perubahan status virus corona dari wabah, kemudian epidemi, dan akhirnya pandemi. Wabah adalah kejadian tersebarnya penyakit pada daerah luas dan banyak orang. Epidemi adalah wabah yang terjadi lebih cepat dari pada yang diduga. Wabah terbatas pada lingkup tertentu dan disebut outbreak atau serangan penyakit, dalam lingkup lebih luas dan waktu cepat menjadi epidemi, ketika menjangkau lebih luas lagi dalam lingkup global disebut pandemi.
Virus corona awalnya disebut wabah ketika menyebabkan pneumonia sehingga jumlah kasus penyakit meningkat signifikan namun hanya menjangkiti penduduk Wuhan, Tiongkok pada awal Januari 2020. Virus ini ditetapkan sebagai epidemi ketika menyebar ke wilayah geografis lebih luas dan menginfeksi penduduk di luar Wuhan, bahkan seluruh Tiongkok. Pada 11 Maret 2020, World Health Organization (WHO) menetapkan corona virus disease (Covid-19) sebagai pandemi dengan dasar persebaran virus secara geografi yang mencapai 114 negara. Globalisasi virus corona yang disebut pandemi global Covid-19 hanya membutuhkan sekitar tiga bulan di awal tahun 2020, dari Januari sampai Maret.
Internasionalisasi Perlawanan Covid-19
Ketika menjadi pandemi global, Covid-19 menjadi musuh bagi setiap orang, juga untuk negara-bangsa di dunia yang terjangkiti. Bagi negara yang belum mengalaminya, bukan berati pandemi tidak akan hadir di depan “pintu gerbang” perbatasannya. Bahkan bisa masuk sampai ke “jantung” setiap negara, karena orang dengan virus atau carrier akan berdatangan dan menyebarluaskan, tanpa disadari akan menularkannya kepada orang lain. Sehingga akhirnya dipersepsikan sebagai ancaman yang potensial sekaligus musuh bersama yang eksistensial secara global.
Tidak bisa dihindari dibutuhkan internasionalisasi perlawanan terhadap pandemi global Covid-19. Makna internasionalisasi, mengacu pada Virtuous Setyaka (2019, 13) dalam Politik Masyarakat Sipil Internasional: Strategi Transgressing Via Campesina dalam Memperjuangkan Hak Asasi Petani, istilah ini dipahami sebagai menjadikan sesuatu sebagai objek internasional yang mendunia dengan melihatnya berada dalam relasi antar negara. Makna ini didasarkan pada asumsi yang dipengaruhi perspektif Hubungan Internasional berpusat pada negara atau state-centric, negarasebagai aktor dalam hubungan antar negara-bangsa.
Faktanya, ketika Covid-19 mengglobal, maka garda terdepan perlawanannya adalah negara. Di setiap negara sebagai arena pandemi, maka negara juga sebagai aktor utama yang melawannya dan mendorongnya ke tingkat yang lebih luas atau internasional. Indonesia melakukannya dalam Pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa G20 yang dijadwalkan di Arab Saudi, Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengajak para pemimpin negara G20 bersama-sama memenangkan dua “peperangan” yaitu, melawan Covid-19 dan pelemahan ekonomi dunia.
Para pimpinan negara G20 berkomiteman atas empat hal sebagai hasil dari pertemuan extraordinary tersebut: pertama, bersama-sama memerangi Covid-19; kedua, mencegah terjadinya dampak negatifnya terhadap ekonomi global; ketiga, menjaga global supply chain atau rantai pasok global; dan kempat, bekerja sama membantu negara miskin. Seluruh negara anggota G20 akan mengalokasikan dana riset sebesar USD 4 miliar (Rp 64 triliun) untuk penemuan vaksin Covid-19. Para pemimpin G-20 yang dipresidensikan oleh Raja Salman dari Arab Saudi sepakat mengalokasikan dana sebesar lima triliun dolar AS ke dalam ekonomi global terdampak Covid-19.
Ancaman dan Sekuritisasi Struktur dan Sistem Internasional
Pandemi global Covid-19 dipersepsikan para pemimpin negara di dunia sebagai ancaman potensial sekaligus musuh global. Terutama dalam tatanan dunia yang di dalamnya terdapat struktur politik dan sistem ekonomi internasional. Perlambatan ekonomi global, terganggunya kemitraan dan kerja sama ekonomi antarnegara, terganggunya stabilitas sektor keuangan terutama ketersediaan likuiditas, disrupsi produksi dan kelancaran distribusi barang atau rantai pasok global, dikhawatirkan berlanjut menjadikan ekonomi dunia terpuruk atau terjadi resesi ekonomi global. Dengan demikian maka akan terjadi kondisi yang abnormal atau situasi yang tidak biasanya, bahkan tidak diharapkan.
Dibutuhkan sekuritisasi atau pengamanan sebagaimana Jokowi menyebutnya sebagai “peperangan” melawan pelemahan ekonomi dunia. Sekuritisasi dalam Hubungan Internasional sebagai kajian Mazhab Kopenhagen adalah proses perubahan subjek menjadi persoalan keamanan oleh negara, politisasi versi ekstrem yang mengizinkan cara apapun demi menjaga keamanan. Barry Buzan, Ole Wæver, dan Jaap de Wilde (1998) dalam Security: A New Framework for Analysis menjelaskan bahwa isu-isu yang tersekuritisasi merupakan isu-isu ketika aktor internasional berhasil mengubahnya menjadi persoalan hidup dan mati atau eksistensial, dengan memahami pelaku sekuritisasi, dasar ancamannya, untuk siapa sebagai objek acuan, mengapa harus dilakukan, bagaimana hasil, dan apa syaratnya.
Upaya sekuritisasi dari pertemuan G20 adalah mendorong solidaritas dunia dalam penanganan COVID-19. G20 harus aktif memimpin upaya menemukan anti-virus dan obat, mendorong kerja sama dan mensinergikan kebijakan serta instrumen ekonomi terkoordinasi, memperluas dan memperkuat jaring pengaman sosial. Modalitas yang dimiliki bersama dalam sekuritisasi diantaranya G20 merupakan kelompok 20 ekonomi utama dunia yang sangat berpengaruh dalam pembentukan Produk Domestik Bruto global. Para pemimpin G20 dalam sekuritisasi membutuhkan dari rekonektivitas sampai solidaritas yang dihasilkan dalam pertemuan virtual yang berhasil merumuskan langkah kesehatan, sosial, dan ekonomi untuk memerangi pandemi Covid-19 pada 26 Maret 2020. Pandemi Covid-19 bukan hanya masalah kesehatan, tapi tragedi kemanusiaan, dan G20 harus menjadi motor gerakan solidaritas dunia dalam perlawanan. Aksi kolektif G-20 sebagai bentuk solidaritas akan memperbesar dampak, memastikan koherensi, dan memanfaatkan sinergi untuk menyelamatkan dunia.
*Penulis adalah Dosen HI FISIP Universitas Andalas dan Mahasiswa Doktoral HI FISIP Universitas Padjadjaran.