DEPOK, KabarKampus – Para dosen dan peneliti Universitas Indonesia (UI) merumuskan sebuah policy brief yang berisikan daftar rekomendasi UI atas serangkaian produk hukum dan regulasi untuk menangani penyebaran COVID-19. Berdasarkan hasil kajian regulasi yang dilakukan, UI merekomendasikan lima poin kebijakan.
Para peneliti UI tersebut tergabung dalam Tim Perumus Policy Brief Kajian Regulasi di bawah koordinasi Direktorat Inovasi dan Science Techno Park UI (DISTP UI). Diskusi berkenaan policy brief yang diusulkan kepada pemerintah dilakukan secara daring pada Senin, (04/05/2020).
Kelima poin usulan tersebut yaitu :
Pertama, perlunya kejelasan formal-materiil dalam pembentukan regulasi. Seyogianya produk hukum yang dilahirkan dalam kondisi darurat memiliki kandungan tepat guna, aplikatif, dan terinci sehingga dapat menjadi kerangka penerapan kebijakan. Kejelasan formal dan materiil juga penting untuk produk-produk hukum darurat, guna menghindari penyalahgunaan penafsiran dan ambiguitas penggunaannya. Adanya kejelasan ini akan menghindari berbagai kerancuan di tengah masyarakat, maupun pemangku kepentingan dalam mengambil tindak lanjut, sebagai contoh: proses pengadaan barang dan jasa yang berisiko adanya penyelewengan atau tindak pidana korupsi. Tidak adanya kebijakan yang tegas dan terarah membuat pelaksana teknis berpotensi melakukan maladministrasi dan dianggap merugikan keuangan negara. Contoh lainnya adalah perihal larangan mudik, larangan ojek online, dan penetapan keadaan bencana sebagai alasan force majeure dalam sebuah kontrak.
Salah satu tim perumus Fitra Arsil mengutarakan, pandemi COVID-19 sekaligus mengingatkan akan perlunya road map kesehatan secara menyeluruh untuk mengantisipasi dan menghadapi situasi epidemi dan pandemi yang bisa muncul tiba-tiba, sebagaimana saat ini. Salah satu prioritas dalam menghadapi kedaruratan kesehatan diantaranya adalah pembentukan peraturan perundangan yang berbasiskan pada kesehatan masyarakat.
“Kebijakan tersebut untuk memastikan adanya perlindungan bagi tenaga-tenaga medis, ketersediaan perangkat medis, seperti: masker, APD, dan alat tes COVID-19, maupun kebijakan untuk memastikan ketersediaan produk farmasi yang berkualitas dan terjangkau,” terangnya.
Rekomendasi kedua berkenaan dengan tata kelola kelembagaan. Pemerintah perlu membangun tata kelembagaan dengan memperkuat produk-produk hukum agar tidak saling tumpang-tindih dan solutif bercirikan birokrasi administrasi yang ringkas. Pemerintah juga perlu menjaga tranparansi informasi terkait COVID-19. Data yang dimuat dalam laman www.covid19.go.id mempermudah para pemangku kepentingan, namun diperlukan penyempurnaan informasi hingga semakin jelas sampai pada tingkatan teknis, seperti: ketersediaan data tervalidasi yang terpusat dan tranparan, status ketersediaan APD, tes PCR, laboratorium, dan status ketersediaan sumber daya lainnya.
Ketiga, sentralisasi pelaksanaan kebijakan. Sentralisasi kendali dan kebijakan di masa darurat hanya dapat dilakukan oleh presiden selaku kepala negara, karena presiden yang mendapat kewenangan konstitutional untuk menyimpangi hukum-hukum yang berlaku khusus pada saat darurat. Namun terdapat dua deklarasi kedaruratan, yaitu Keppres No. 11 tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Keppres No. 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional, yang menimbulkan bias dan status quo dalam penanganan COVID-19.
Keempat, penguatan checks and balances. Kekhawatiran terbesar publik akan hilangnya mekanisme checks and balances terletak pada pemberlakuan Perppu No. 1 tahun 2020 dalam hal penyimpangan keuangan negara. Kelonggaran merelokasi keuangan negara dapat dilakukan guna memberikan pelayanan cepat dalam kondisi krisis, namun pendekatan relokasi anggaran tersebut harus tetap dapat dipertanggungjawabkan sesuai koridor hukum agar tetap memenuhi prinsip-prinsip pemerintahan yang baik.
Kelima, regulasi untuk mewadahi pelibatan dan inisiatif masyarakat. Penetapan hukum dalam keadaan darurat COVID-19 jangan sampai dipergunakan oleh sebagian orang untuk menyelamatkan diri sendiri atau golongannya, namun tetap digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan bangsa Indonesia. Pelibatan masyarakat dengan mewadahi berbagai inisitiatifnya, perlu diarahkan dan dilindungi oleh sebuah regulasi khusus, mengingat belum adanya pengaturan dan perlindungan yang memadai terkait citizen initiative.
Diskusi rumusan policy brief ini diikuti oleh Rektor UI Prof. Ari Kuncoro, SE, MA, Ph.D, Wakil Rektor UI bidang Riset dan Inovasi Prof. Dr. rer. nat. Abdul Haris, dan Direktur DISTP UI Ahmad Gamal, S.Ars., M.Si., MUP., Ph.D. Selain itu juga diikuti oleh sejumlah tim perumus diantaranya Dr. Fitra Arsil, S.H., M.H. (Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI (FHUI)) ; Dr. Polit.Sc. Henny Saptatia Drajati Nugrahani, M.A. (Ketua Program Magister Program Studi Kajian Wilayah Eropa Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI) dan Qurrata Ayuni, S.H., MCDR. (Dosen FHUI).
Prof. Ari, Rektor UI mengatakan, pada policy brief ini, UI mencermati persoalan yang mengemuka dari sisi hukum dan regulasi. Secara global, World Health Organization (WHO) telah menetapkan COVID-19 sebagai Public Health Emergency of International Concern (PHEIC), dan meningkatkan statusnya menjadi Global Pandemic pada 11 Maret 2020. Di Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan serangkaian produk hukum untuk menangani penyebaran COVID-19, yaitu: UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan UU No. 14 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
“Diharapkan kajian yang UI lakukan dapat memberikan solusi terbaik bagi pemerintah dalam dan merespons kedaruratan yang disebabkan oleh pandemi ini,” tambahnya.[]