More

    Anak Ini Tidak Jadi Menguasai Dunia

    Karya Rinto Andriono*)


    Pagi baru saja tiba, dia masih menggeliat meluluhkan sisa malam yang berdebu. Pagi masih mengibaskan embun dan debu-debu malam di tubuhnya. Namun Fachri kecil sudah wangi dan rapi. Sisa bedak bayi masih tebal tipis menghiasi wajahnya. Senyumnya ceria. Dia tahu, hari ini, dia akan berpetualang lagi. Kemarin dia dan ibunya berpetualang ke perempatan Lempuyangan, di dekat rel kereta api. Dia senang sekali melihat kereta panjang lalu-lalang. Kemarin dulu, dia berpetualang ke perempatan Maguwo. Sama girangnya, dia bisa melihat puluhan ragam kendaraan besar dan kecil. Di setiap perempatan, dia memiliki markas favorit. Bila di Lempuyangan markasnya di bawah jembatan layang yang teduh, kalau ke Maguwo markasnya menggantung di dahan rendah pohon akasia yang tumbuh membelah jalan lingkar.


    Ibunya hanya mengasong koran di perempatan. Tapi Fachri sangat sibuk, dia harus ikut berangkat pagi, agar ibunya bisa mengambil koran di agen lalu menjajakannya sepagi mungkin saat orang-orang berangkat bekerja dan kawan-kawan seusianya baru bangun untuk sekolah pra taman kanak-kanak.

    - Advertisement -


    “Mau sarapan dulu, apa nanti saja?” tanya Mursih, ibu Fachri, sambil membungkus nasi lauk mie instan goreng rasa bawang, kegemaran Fachri.


    “Nanti,” kata Fachri lebih antusias dengan petualangannya daripada sarapannya.


    Bagaimana dengan sekolah Fachri? Dia tidak perlu mengkhawatirkan sekolah, dia tidak perlu risau dengan hafalan karena ibunya tidak punya biaya untuk menyekolahkannya. Apalagi sekolah di playgroup yang mahal. Itu tidak terjangkau. Tetapi, Fachri sudah cukup senang. Dengan dua markas yang berhasil didudukinya, dia sudah merasa akan menguasai dunia.


    “Ayo berangkat, Mak?” ajak Fachri.


    Sarijo, bapak Fachri masih tidur di atas bangku reyot di depan rumahnya. Mungkin dia terlalu mabuk semalam, sehingga tidak kuat masuk rumah.


    “Berangkat ya, Pakne,” kata Mursih asal saja, dia tak mengharapkan balasan dari Sarijo yang masih mendengkur beralaskan muntahannya sendiri.


    Miras itu memang terlalu berat untuk dicerna manusia. Setelah mencapai level mabuk yang diinginkan, tubuh otomatis akan menolaknya. Cairan itu akan dimuntahkan oleh peminumnya, saat Sarijo mulai limbung berada di ambang sadar dengan tidak sadar.


    Sarijo mencari uang dengan menjaga parkiran sebuah karaoke di Babarsari. Himpitan hidup di kota yang ganas membuatnya kerap lari ke arak beras oplosan.


    “Rapopo Le, sing penting isih duwe lanangan!” gumam Mursih sambil menggandeng Fachri, saat resah menghampirinya.


    Mursih merisaukan Sarijo yang hampir setiap malam mabuk. Sebenarnya dia sudah cukup tenang karena ongkos mabuknya Sarijo berasal dari uangnya sendiri, hasil dari parkiran atau judi-judi ringan. Itu lazim disebut duit lanang, jatah bagi suami untuk bersenang-senang. Bagi Mursih, cukuplah uang hasil jualan korannya untuk memberi makan dirinya dan anaknya. Dia tidak mau mengusik uang Sarijo. Suaminya akan marah besar bila dia berani menanyakannya. Kadang-kadang saja Mursih berani mengganggu duit lanang Sarijo, misalnya saat Fachri sakit dan perlu berobat.


    “Sebahagia-bahagiamu, Kang…” batin Mursih sambil menunggu antrian di agen koran.


    Dia tahu, kemarahan Sarijo adalah kemarahan pria tak berdaya. Kemarahan karena himpitan hidup yang begitu berat. Apa yang dia dapat hari ini, adalah hanya cukup untuk dimakan hari ini saja, kadang malah kurang. Sarijo sama sekali tidak pernah merasakan gelimang jaga-jaga demi masa depan. Sebagaimana kemarahan ugahari yang biasa melanda pria-pria miskin lainnya di Ledok Pringwulung, tempat mereka tinggal. Ledok Pringwulung adalah bantaran anak sungai Gajah Wong yang diapit oleh dua kawasan elit metropolis Babarsari dan Gejayan.


    “Wajah kurang makan, nekat beli minuman!” protes Mursih dalam hati, menirukan syair lagu yang biasa dinyanyikan para bonek dari Surabaya, saat mereka mengamen di perempatan karena kehabisan ongkos pulang.


    Mursih sering mendengar berita puluhan orang mati karena miras oplosan. Dia hanya mendengar saja, meski dia jualan koran namun dia sudah lupa caranya membaca dan menulis. Menurut yang dia dengar, miras oplosan itu menakutkan. Minuman oplosan yang membuat Sarijo waras dan tidak waras itu bukan alkohol yang baik, untuk menambah khasiat melayang sekaligus menekan biaya produksi, pengoplos mencampur alkohol curah dengan lotion anti-nyamuk, obat batuk, biji rambutan bakar dan racun serangga. Tidak ada unsur berasnya sama sekali dalam arak beras kesukaan Sarijo.


    “Mak, makan!” pinta Fachri seolah membangunkan Mursih dari lamunannya.


    ****


    “Hari ini ke mana, Mak?” tanya Fachri setelah kenyang.


    Dia melompat-lompat dengan mata berbinar tidak sabar menunggu jawaban ibunya.


    “Lempuyangan wae yo?” kata Mursih sambil menggotong segepok koran, “kalau jalan lingkar panas banget.”


    Empat setengah tahun usia Fachri. Seharusnya dia sudah sekolah pra taman kanak-kanak, tapi itu masalah nantilah. Apatah gunanya sekolah bila makan saja masih kurang. Belum lagi bila Fachri sekolah PAUD yang berangkat setengah delapan dan pulang jam sepuluh, kapan Mursih bisa mengasong koran? Kalau mengasong koran sore di senja hari tidaklah bisa dapat uang sebanyak kalau mengasongkan koran pagi. Orang sudah kelelahan diperkuda pekerjaan seharian, kalau di sore hari mana sempat lagi membaca.


    “Kowe ora kepengin mrana?”


    “Apa itu, Mak?” tanya Fachri saat melintasi bangunan warna-warni penuh gambar namun masih sepi.


    “Kuwi sekolahan PAUD.”


    “Ngapain di situ, Mak?”


    “Belajar, biar pintar.”


    “Enggak, ahh.”


    “Kenapa?”


    “Aku seneng jaga markas.”


    “Ngapain saja kamu jaga markas?”


    “Ngawasi Mamak dodolan koran, kalau ada musuh!”


    “Musuh siapa?” tanya Mursih geli.


    “Montor culik!” yakin Fachri. “Mengko tak tembak,” lanjutnya lagi dengan optimis.


    Seharian, Fachri bisa betah duduk di markasnya. Sesekali dia keluar untuk minta minum dan makan, juga buang hajat. Selain dia mengawasi ibunya mondar-mandir menjajakan koran. Fachri juga mengawasi mobil-mobil dan kereta-kereta yang lalu-lalang. Khayalannya membumbung tinggi, seolah dia sedang menaikinya. Fachri menyukai kendaraan-kendaraan besar dan gagah. Itu seperti menggambarkan cita-citanya yang juga besar.


    “Fachri hendak menguasai dunia!” sumbarnya di hadapan mobil-mobil yang lalu dari lampu merah perempatan.


    Salah satu pendidikan yang diterima Fachri, selain dari Mursih, adalah dari televisi. Di televisi dia mendapat gagasan genial untuk menguasai dunia. Bila mengatakan itu, dia akan menyilangkan tangannya yang kurus di depan dadanya yang mungil kerempeng dan kurang gizi. Itu adalah semacam proklamasi pernyataan jati dirinya. Anak kecil pemberani usia empat setengah tahun yang tidak sekolah.


    Mursih yang awam tidak mampu mengajar banyak pengetahuan pada Fachri. Keterampilan membaca dan menulisnya, yang pernah dilatihnya hingga kelas lima SD di Rongkop, Gunung Kidul, sudah terkubur jauh oleh beragam pekerjaan kasar sekedar buat makan, mulai dari tukang cuci kulit sapi yang akan dibuat kerupuk rambak, tukang cuci kedelai yang akan dibuat tempe, tukang menyiangi tahi ayam dari usus-usus ayam potong di dapur juragan angkringan, hingga karier terakhirnya menjelang paruh baya ditempuh dengan mengasong koran pagi.


    “Kalau menerima apa-apa, bagaimana?” kata Mursih saat mengajari Fachri.


    “Maturnuwun,” kata Fachri menurut.


    “Kalau melewati orang tua, bagaimana?”


    “Nuwunsewu.”


    Paling hanya itu, pengetahuan terbaik yang mampu diajarkan Mursih pada anak semata wayangnya. Setelah itu Fachri akan belajar dari mengamati ibunya. Sehingga dia tahu kalau ibunya berjualan koran maka akan mendapat uang. Kalau ibunya mendapat uang maka dia bisa membeli es teh atau mie ayam. Dia tahu kalau koran dagangan ibunya laku semua maka dia bisa minta dibelikan cilok bumbu kacang yang banyak sausnya. Begitulah pengetahuan Fachri yang hendak menguasai dunia.


    Jam tiga sore, biasanya Fachri sudah lelah menjaga markas seharian. Ibunya pun sudah akan mengemasi koran dagangannya.


    “Laku semua, Mak?” tanya Fachri berharap cilok.


    “Tinggal lima belas,” jawab ibunya.


    Fachri melengos, dia tahu tidak akan ada cilok sore ini.


    “Ayo, pulang, mandi!”


    “Nang kali yo, Mak,” pinta Fachri kembali berbinar.


    “Iya,” kata Mursih sambil menggendong Fachri lelah.
    Sore hari adalah kesempatan Fachri bertemu Sarijo. Saat itu Sarijo sudah sadar dari mabuknya. Bila tidak mabuk maka Sarijo akan memancing sepagian di Embung Langensari atau Embung Tambakboyo. Dia tahu memancing di embung-embung kota adalah sulit. Umpannya harus bersaing dengan sampah-sampah warga yang tak kalah gurih dengan umpannya bagi ikan-ikan, namun Sarijo tidak tahu dia harus melakukan apa lagi. Dia tidak bisa sembarangan memberi aba-aba parkir, karena setiap jengkal lahan parkir sudah ada penguasanya.


    “Pak, ke sungai, yuk!” rengek Fachri.


    “Iya!” kata Sarijo ogah-ogahan.


    Sarijo berjalan ke kali, di belakang Fachri. Tangan kanan memegang puntung rokok yang tinggal separuh. Tangan kirinya memegang handuk dan sabun. Mursih meracik sayuran, dia menghela napas merasakan keengganan suaminya menemani Fachri. Fachri dan Sarijo mandi di kali. Mursih sibuk menanak nasi untuk sore hari, karena Sarijo biasanya akan makan dahulu sebelum berangkat bekerja selepas senja.


    Setelah mandi, Fachri biasanya akan terlelap hingga menjelang makan malam.


    “Dagangan sekarang sepi, Pakne,” Mursih membuka pembicaraan saat hanya berdua dengan Sarijo.
    Sarijo melihat tumpukan koran hari ini, dia tidak tertarik membaca.


    “Semua ya sepi, sejak wabah virus,” timpal Sarijo, “mau bengi parkir ya gur entuk limolas gelo.”
    “Itu saja kamu pakai mabuk.”


    “Mumet, Mbokne,” Sarijo tidak senang, dia tahu hendak digugat istrinya namun dia juga merasa bersalah, “semoga tidak sepi lagi malam ini.”


    ****


    Kadang-kadang, usia Mursih tidak mau kompromi. Tenaganya sudah banyak berkurang. Elan vitalnya sudah disedot habis oleh pekerjaan yang pendapatannya tidak seberapa. Kini dia di ambang senja dan renta. Sementara perjuangan masih panjang, hingga Fachri bisa mandiri nanti. Kalau kemarin seharian kehujanan, Mursih sering tidak enak badan maka esok paginya dia tidak berangkat berjualan. Fachri di tinggal rumah saja, dia tidak bisa ikut pergi berpetualang.


    “Kamu bermain saja di rumah,” kata Mursih.


    “Mamak tidak jualan?”


    “Tidak, Mamak sakit.”


    “Yah, markas kosong,” katanya.


    “Tidak apa tidak hilang.”


    “Aku main bola saja.”


    “Atau ikut bapakmu mancing.”


    “Malas!” cegah Sarijo sambil jongkok di tanggul.


    Dulu kadang sungai meluap hingga tinggi. Penghuni bantaran sering kebanjiran. Pemerintah membangunkan tanggul dari hasil utang Jepang tahun 80-an. Tanggul itu sering menjadi tempat duduk-duduk warga sambil menikmati aroma sampah di sungai. Beberapa bagian tanggul sudah longsor, tikus-tikus got seakan tak kenal lelah menggali sarang di susunan batu kali pondasi tanggul.
    Fachri cepat bosan di rumah yang sumpek seharian, begitu siang sedikit dia akan main sepak bola di gang depan rumahnya. Kalau tidak ada lawan, dia main sepak bola sendiri, hanya dikawani sandalnya sebagai gawang. Dia akan berjumpalitan menendang bola, seakan dia pemain dunia seperti di televisi.
    Setahun yang lalu, Fachri masih bisa bermain sepak bola di pekarangan kosong di samping rumah pak RT. Dulu, rumah pak RT dan pekarangan kosong di sebelahnya adalah milik orang tua mereka. Sepeninggal orang tua mereka, pekarangan itu dibagi dua dengan kakak lelakinya yang di Jakarta. Di belakangnya ada hotel modern. Hotel kecil tinggi itu adalah hotel minimalis kelas budget hotel, meski minimalis, hotel jangkung itu berlantai lima belas. Benda tinggi ramping itu seperti dijejalkan ke kawasan yang sudah sangat padat.


    Rumah pak RT menghadap sungai yang tepinya menjadi gang untuk lalu-lalang orang. Sementara hotel itu sendiri berdiri gagah menghadap ke jalan raya, sehingga praktis rumah pak RT dan hotel itu beradu punggung bagai raksasa dan kurcaci. Masalahnya, bangunan tinggi ramping dan sombong itu ternyata sangat haus air tanah. Sesaat setelah hotel itu beroperasi, keringlah semua sumur warga di situ. Pak RT juga ikut kesal karena sumurnya sendiri ikut kekeringan. Seolah dihisap sesuatu, dasar sumur kini kering belaka, hanya kerikil, batuan dan barang-barang lama yang jatuh tenggelam dan dilupakan. Tapi apa daya, jasa mengedarkan tanda tangan persetujuan warga sudah terlanjur pak RT terima untuk membeli motor baru yang masih mengkilat.


    “Sumur-sumur pada kering,” kata pak RT kepada kakaknya di telepon.


    “Disuntik lagi saja sumurnya,” balas kakaknya dari Jakarta.


    “Ya, butuh uang.”


    “Aku ya lagi ora nyekel je…”


    “Tidak, saya tidak akan pinjam uang, saya cuma kasih tahu kalau tanahmu ditaksir hotel untuk bikin kolam renang, piye?”


    “Hotelnya berani berapa?”


    “Tinggi, karena itu ada uang damainya gara-gara hotel membuat sumur-sumur kekeringan.”


    “Yo wis, tidak apa-apa, nanti aku pulang.”


    Enam bulan kemudian, setelah kesepakatan itu, semua suara sumbang seperti senyap di telinga manajemen hotel, tapi tidak bagi anak-anak. Mereka tidak bisa lagi bermain bola dengan leluasa. Hotel memang belum memulai proses pembangunan kolam renang, namun sudah memagari tanahnya dengan seng. Anak-anak hanya bisa main bola di gang. Sempit dan banyak gangguan. Anak-anak kecewa. Mereka tidak paham soal sertifikat dan akta. Mereka hanya ingin main bola. Bola Fachri melambung tinggi, mengenai pak RT yang sedang melintas dengan motor barunya.


    “Matane!” hardik pak RT.


    Mata Fachri mendelik seolah tuli dengan makian pak RT.


    ****


    Fachri adalah anak sulung keluarga Sarijo dan Mursih. Sarijo dan Mursih jauh dari gambaran keluarga muda, kaya dan bahagia. Sarijo menikahi Mursih di umur empat puluh empat tahun, waktu itu Mursih juga sudah tidak muda lagi. Mursih menikah di umur tiga puluh tujuh tahun. Mereka butuh waktu yang lama untuk mencangkul di kota sehingga kemudian berani untuk berkeluarga. Kota memperjakai dan memerawani pekerja-pekerjanya hingga terlalu lapuk untuk menikah betulan. Mereka justru menikahi pekerjaannya pada saat hidupnya masih segar bugar, masa muda yang berkelimpahan tenaga. Sekarang Fachri tumbuh dari bapak dan ibu yang renta di kota yang telah, sedang dan akan terus menghisap tenaga mereka dalam perkembangannya.


    Malam ini Sarijo berangkat bekerja seperti biasa. Hanya ada satu dua mobil parkir hingga dini hari, begitulah gambaran keadaan yang tersaji setelah wabah ini ada. Hanya segelintir pelanggan yang datang, tidak untuk bersenang-senang, mereka hanya mencari pelarian pada minuman keras. Sama-sama minuman memabukkan seperti arak beras Sarijo namun yang ini harganya bisa ratusan kali lipat. Namanya minuman kelas premium. Meski ada juga kelas yang lebih murah dari yang premium, sama-sama oplosan seperti arak Sarijo, namun dioplos dengan lebih hati-hati sehingga mabuknya lebih halus dari yang biasa diminum Sarijo. Beda kelas.


    “Jo, mendem yuh?” kata Panut orang kuat lain yang suka berkeliaran dari parkiran ke parkiran.


    “Ra, nde dhit,” tukas Sarijo malas.


    “Tak bayari!” kata Panut jumawa.


    “Gek, gableg dhit po?”


    “Beres.”


    “Pirang setel?”


    “Rong setel, gaple.”


    “Ayo, sampai pagi ya?”


    “Sampai subuh.”


    Sarijo pun berangkat ke warung rokok sebelah. Dari warung itu sering terdengar suara berdenting botol kaca. Botol kaca itu hanya tempat menyimpan saja. Oleh penjualnya, racun oplosan itu dituang ke plastik, diikat dan dimasukkan ke dalam kantong. Setiap porsi minuman oplosan ada pasangannya. Mereka menyebutnya satu setel untuk seplastik alkohol campuran isi 500ml, sebotol minuman energi dan dua buah permen rasa mint. Kalau Sarijo pesan dua setel berarti jumlah semua komponen itu menjadi dua kali lipatnya. Kalau ada yang pesan setengah setel, berarti diambil setengahnya dari porsi satu setel. Mabuk pun perlu matematika.


    “Mana kawannya, nggak jadi gaple?”


    “Nggak ada yang mau, tipis!”


    “Yo ceki wae, yen mung wong loro.”


    “Ayo!”


    Permainan ceki adalah permainan kartu dari Tiongkok. Ceki bisa dimainkan oleh 2 sampai 6 orang bersamaan. Kartunya kecil-kecil, lebih kecil dan lebih tipis dari kartu domino. Warnanya hitam putih saja dengan simbol-simbol yang ruwet. Manusia memang sangat ahli dalam menciptakan beragam permainan. Mereka suka mempermainkan nasibnya, kadang pula hidupnya. Permainan ini sudah lama mengakar di Jawa karena mampu menciptakan banyak peluang untuk menyiasati lawan bermain. Adrenalin Sarijo mengalir deras. Seketika keyakinannya bangkit, dia merasa peluangnya mendapatkan uang sudah di depan mata.


    “Dua ribuan yuk,” kata Panut mengusulkan besarnya taruhan per-game, “kecil-kecil saja, sampai pagi koq, kita ‘kan cari senang.”


    Sarijo diam saja, dia tenggelam memikirkan strategi. Kartu pertama sudah terlontar dari tangan Panut. Sarijo memikirkan reaksi terbaik bagi peluangnya untuk menang. Aspek ketidakterdugaan permainan ini yang membuat Sarijo kecanduan. Sebagian otaknya menciptakan gambaran cakrawala harapan gilang-gemilang.


    “Makan itu,” kata Sarijo dengan yakin melemparkan kartunya, dia merasa sudah bisa membaca arah permainan dari kartu kedua yang dia keluarkan.


    Setelan puluhan kali game, Sarijo mengumpulkan empat puluh lima ribu rupiah kemenangan. Sarijo merasa senang, bisa minum gratis dan dapat uang lagi. Panut bersungut-sungut mulai jemu.


    “Ayo tambah taruhannya, sepuluh ribuan,” kata Panut merasa perlu tambahan motivasi agar menang, dia merasa dua ribu terlalu kecil.


    “Siapa takut, itu sekali parkir,” sumbar Sarijo yakin, itulah uang yang bisa didapat dari ongkos parkir satu mobil di karaoke.


    Taruhan meningkat terus seiring semakin seringnya pergantian posisi keunggulan masing-masing. Seolah-olah taruhan yang diperbesar itu bisa mengubah keberuntungan. Ini betul-betul permainan nasib kelas tinggi bila ditilik dari beratnya beban hidup mereka. Tetapi inilah hiburan yang bisa memperbesar cakrawala harapan mereka.


    Menjelang pagi, taruhan semakin gila-gilaan. Otak mereka semakin lelah. Efek oplosan sudah sejak tadi mempertajam harapan tapi menumpulkan perhitungan. Otak mereka semakin limbung namun harapan kemenangan semakin besar, mendekati putus asa sampai salah satunya menyerah.


    “Jo, terakhir iki Jo, bar kuwi mandek, ngantuk aku,” kata Panut.


    “Iya,” kata Sarijo agak kecewa.


    “Limangatus ewu, bonus kelon karo bojone kancane,” kata Panut mengusulkan taruhan.


    Sarijo terdiam. Taruhan kali ini tidak main-main baginya. Lima ratus ribu taruhan mungkin bisa dia cicil meski berat. Tapi mengijinkan Panut tidur dengan Mursih adalah perkara lain. Hatinya bimbang. Seketika dia ingat Mursih. Bersamaan dengan itu, ingatannya menghadirkan beberapa perempuan lain yang juga pernah ditidurinya. Dia merasakan peluangnya menang atau kalah adalah sama. Dia tahu ini akan menjadi pertama kali bagi Mursih untuk tidur dengan pria lain, sementara sebagai penjahat kelamin kelas teri, Sarijo merasa jam selingkuhnya lebih banyak dari Mursih yang masih nol. Ini juga dianggap oleh bangsat mabuk ini sebagai peluang.


    “Kelon sepisan wae,” kata Sarijo datar.


    “Iyo, sepisan,” kata Panut yang merasakan panggilan alamnya memuncak maksimal pagi ini akibat naiknya kadar alkohol dalam darah.


    Mereka mengumpulkan kartu lagi, mengocoknya dan membaginya. Satu peluang akan tercipta menjelang pagi ini, setelah itu pasti akan ada kekalahan dan kemenangan.


    ****


    Sarijo bangun dengan perasaan kosong yang besar. Dia tidur di emper belakang karaoke yang atapnya telah diperpanjang dengan atap plastik. Tempat itu adalah tempat biasanya para awak karaoke beristirahat. Sarijo tidak berani pulang, dia terikat pada perjanjian. Meski tadi malam mendadak ada keinginan besar dari dirinya untuk pulang. Tapi dia mengabaikan keinginan itu. Sarijo merasa seperti habis kerampokan besar. Kali ini Panut mendapatkan hak istimewa semalam saja untuk pulang ke rumahnya. Malam itu Fachri ikut tidur dengan Sarijo. Alasannya ikut bapak kerja. Sarijo tidak mau tahu apa yang terjadi semalam dengan Mursih, dia tidak pernah bilang tentang rencana Panut padanya. Sarijo hanya memberitahu Panut tentang cara masuk ke rumahnya.


    Matahari mulai meninggi, orang-orang mulai lalu-lalang tetapi terasa masih senyap saja bagi Sarijo. Dia membangunkan Fachri yang ikut melek hingga larut. Semalam Fachri ikut memberi aba-aba parkir. Dari mulutnya terus-terusan keluar kata “teyus-teyus”.


    “Bangun-bangun, sarapan.”


    “Apa Pak?” dengan mengucek matanya Fachri bangun bersemangat, seolah memberi aba-aba parkir adalah salah satu langkah menguasai dunia.


    “Soto apa bubur?”


    Mata Fachri berbinar, “soto saja!”


    “Tidak pulang dulu Pak?”


    “Sore saja, ibumu sudah jualan.”


    Fachri tidak tahu kalau hari ini ibunya tidak berangkat bekerja. Badannya luluh lantak, lebih remuk daripada sekadar kehujanan seharian. Hati yang merumahi harapannya ikut hancur. Harapannya melayang tak berumah. Mursih mandi dengan terisak. Dia teringat kata-kata Panut semalam, sebelum Panut menaikkan celananya sendiri.


    “Ini gara-gara suamimu yang goblok, katakan terima kasihku padanya.”


    Setelah sarapan Fachri ikut memancing bersama Sarijo. Bagi Fachri ini adalah petualangan yang lain. Petualangan menguasai dunia air katanya. Dia memancing dengan antusias. Seolah ikan adalah taklukannya. Berbeda dengan Fachri, bagi Sarijo, memancing kali ini tidak menyembuhkan gelisah.


    Sarijo merasakan bahwa memancing itu adalah aktivitas menunggu yang menjijikan, di ujung joran ada umpan ikan dan dipangkalnya ada seorang pecundang yang tak berdaya. Semakin lama memancing semakin lama dia mengutuki dirinya sendiri.


    Selepas tengah hari, Sarijo mengajak Fachri ke angkringan. Fachri sudah kelaparan.
    “Mangan yuh, mengko mulih adus.”


    Fachri menikmati nasi sambal teri lima ratusan dan berbagi es teh dengan Sarijo.


    “Pulangnya mampir pasar Stan ya.”


    “Ngopo Pak?”


    “Tuku racun celeng,” kata Sarijo singkat.


    Pikiran Fachri mengembara liar, hatinya penasaran tetapi senang, berarti esok akan berpetualang lagi menangkap celeng. Pasti itu jauh karena di kota tidak ada celeng.


    *****


    Mursih membisu seharian. Dia tidak bicara dengan Sarijo dan bahkan Fachri. Dia hanya berdehem, menggeleng dan mengangguk saja. Sarijo pun tidak ada keberanian untuk bertanya-tanya. Semua seolah normal. Mursih masih memasak hidangan sore dalam diam. Fachri tidak begitu hirau, dia makan dengan lahap sambil berceloteh girang.


    “Besok bapak mau menangkap celeng,” kata Fachri gembira, “menangkap di hutan ya pak?”


    “Nggak besok, kapan-kapan kamu ikut lik Wasikan yo, nangkep celeng nang alas.”


    Wasikan adalah adik Sarijo, dia sering menginap di rumah Sarijo kala ada proyek bangunan di kota.


    Wasikan adalah buruh bangunan yang ulet, tipikal pemuda Gunung Kidul. Tetangga-tetangga Sarijo pun mengenal baik Wasikan yang gemar sesumbar namun baik hatinya.


    Fachri tidur cepat, dia kelelahan seharian. Sarijo sempat berduaan dengan Mursih sebelum dia berangkat kerja. Mursih lagi-lagi masih diam, Sarijo kebingungan. Tidak ada kata yang terucap dari mulut Mursih, namun hatinya berkata banyak. Hanya saja Sarijo tidak menengarnya. Sarijo mengelus punggung Mursih, mengajaknya bercinta. Mursih diam saja. Ada hasrat di pikiran Sarijo untuk kembali menguasai Mursih. Dia ingin menghapus jejak Panut. Lagi-lagi penguasaan hendak dihapus dengan penguasan.


    Mursih seperti kanvas di mata para pelukis maskulin. Cat biru Sarijo pernah dikuaskan padanya, lalu cat merah Panut, kemudian ditutup dengan cat biru Sarijo lagi. Tetapi kanvas yang kembali berwarna biru tidak lagi sama dengan sebelumnya. Lapisan warna merah tetap tidak bisa hilang meskipun telah tertutupi warna biru di permukaan. Warna biru yang lebih tebal. Warna biru yang hendak menunjukkan penguasaan. Warna biru yang kali ini bukan tentang langit dan bukan pula tentang lautan tetapi lebam di dalam hati.


    Sebulan Mursih senantiasa diam, meski Sarijo sudah berusaha keras mengambil hatinya. Makin lama Sarijo semakin kesal, dia sudah melupakan rasa bersalahnya sekarang berganti amarah. Amarah Sarijo muncul karena merasa diremehkan oleh Mursih yang terus diam. Amarahnya menggelembung bagai balon berwarna merah. Sudah sangat gembung sehingga tinggal pecah saja. Buat apa kemarin beli racun celeng, demikian benak Sarijo. Saat itu dia sedang kalut, tertarik membeli racun celeng yang bisa mengobati kalut selamanya. Kewarasan kembali minggir dari kepala Sarijo, tetapi dengan cara yang berbeda.


    Malam hari Sarijo kembali merabai Mursih. Dia masih diam, membiarkan pakaiannya dilolosi Sarijo. Mursih menurut ketika diajak berbaring di satu-satunya dipan mereka. Sarijo melebarkan kaki Mursih. Mursih merasakan vaginanya dipegang Sarijo. Sarijo memasukkan jarinya ke vagina Mursih, sangat dalam, sehingga Mursih tersentak kesakitan. Sesakit hatinya menjadi bayaran kekalahan main kartu Sarijo dengan Panut. Vaginanya terasa dingin, kemudian gatal, perih, panas dan sakit. Mursih mengerang. Jantungnya berdegup cepat, perutnya mual dan keringat dingin menyelimuti. Pandangan Mursih menjadi putih. Mursih pingsan.


    Fachri masih lelap. Sarijo mencuci tangannya. Dia mencium bau yang menyengat pada jarinya, percampuran antara bau cairan vagina Mursih dengan racun celeng. Dia terlalu marah untuk kembali menengok Mursih. Dia tahu belaka sebentar atau lama pasti dia akan ditangkap polisi. Sarijo memilih pergi ke Stasiun Lempuyangan malam itu juga. Dia meninggalkan Fachri terlelap serumah dengan mayat Mursih. Sarijo tahu kereta Bima sudah hampir lewat. Kereta eksekutif itu hanya akan melintas cepat di Stasiun Lempuyangan, tidak berhenti.


    Lampu depan kereta Bima sangat terang, seakan putih warnanya. Sarijo kembali seperti laron yang tertarik pada cahaya. Dia ingat tiga puluh tahun yang lalu, saat dia tertarik untuk bercahaya bersama kota impiannya, namun kota mencampakkan impiannya begitu saja dengan kerja seperti binatang. Kota tak menjangkau tangannya saat dia membutuhkan pertolongan. Kota menumbuhkan amarah Sarijo sehingga sangat besar, lebih besar dari hidupnya sendiri. Sarijo menghambur ke lampu kereta, bersama amarah yang membunuhnya. Kereta terus melaju ke Jakarta, hendak menemui laron-laron yang lain.


    Bagaimana dengan Fachri? Dia terbangun dan menjerit keras-keras. Suaranya menguasai ledok Pringwulung. Pak RT marah-marah, dia menelpon rumah sakit dan polisi. Niat Fachri menguasai dunia terpaksa ditunda lebih lama. Dia tidak tahu kapan lagi dia bisa kembali ke markasnya dan mengawasi ibunya. Tetapi Fachri masih percaya bahwa suatu saat dia akan menguasai dunia. Persetan dengan virus, persetan dengan Panut, persetan dengan Sarijo, apalagi pak RT dengan tempat main bolanya, Fachri tetap masih mau menguasai dunia!


    ****


    —————————————


    *) Rinto Andriono, lahir di Purbalingga tahun 1974. Semasa kuliah, banyak terlibat di Senat Mahasiswa, BEM UGM. Lalu, tiga puluh tahun bekerja sebagai pegiat LSM di Yogyakarta. Menggeluti isu-isu advokasi kebijakan publik, serta peningkatan kapasitas masyarakat sipil. Beberapa kali membantu lembaga swadaya masyarakat internasional, seperti Plan Indonesia, Oxfam, Care, RedR Indonesia, yang memiliki irisan antara urusan advokasi kebijakan publik dengan kemanusiaan, pengurangan risiko bencana juga hak-hak minoritas.


    Pernah berjejaring dalam Gerak Indonesia untuk advokasi anti rasuah selama sepuluh tahun. Sempat bergerak bersama masyarakat sipil dalam pengurangan risiko bencana, lantas diminta Lembaga PBB bernama UNDP, untuk menyusun metode Kajian Kebutuhan Pasca Bencana, yang selanjutnya digunakan oleh Badan Penanggulangan Bencana di Indonesia. Dan pernah menyusun panduan mengenai lapis sanding penganggaran publik di Indonesia juga beberapa negara Asia, seperti Lao PDR, Philipina, dan Asean sendiri.


    Pekerjaan terakhir sebelum mengalami stroke, menjadi konsultan di UNDP untuk pemulihan bencana NTB dan Sulawesi Tengah. Perjalanan mondar-mandir Jakarta, Palu, dan Mataram membuat tubuhnya kelelahan hingga stroke. Tapi bukan itu penyebabnya sakit akut. Namun, deraan tak henti-henti di tubuh, karena mengabaikan kimia kebahagiaan ala Al-Ghazali yang membuat bathinnya mengering. Dan, atas nasihat kawan pegiat Yoga, TRE dan vegetarian, disarakan mengambil kelas menulis cerpen di Akademi Menulis pada sastrawan Ahmad Yulden Erwin (AYE).


    Menulis telah terbukti menggemukkan bathiniahnya yang selama ini kelaparan hampir mati. Dahulu, sebelum stroke mengalami insomnia akut, dan kegagalan fungsi pankreas dalam menghasilkan insulin. Efek samping gangguan pankreas menahun itu, kegagalan ginjalnya didalam menyaring kotoran tubuh. Kapasitas ginjalnya kini cukup menderita, dan hampir cuci darah. Tapi setelah mendekati setahun belajar menulis, pelahan fungsi pankreasnya membaik, tentu saja diimbangi olah raga serta diet. Kini tinggal berharap ginjalnya juga membaik, sebagaimana keyakinannya menulis sebagai healing.


    Di Akademi Menulis, ada penugasan rutin menulis cerpen. Rinto unggah karya-karyanya di facebook, dan terpublikasi di Website Sastra-Indonesia.com. Hingga kini, baru menghasilkan tujuh buah cerpen dengan mentorship dari AYE, sahabatnya di Gerak Indonesia sekaligus gurunya. Cerpen-cerpennya berjudul: Amarah Burung Hong, Kencan Hikikomori, Pohon Pongo, Gadis Karavan, Satu Lawan Banyak, Anak Klithih,dan Virus Saimun. Sampai sekarang masih terus berusaha sembuh dengan jalan menulis.


    —————————————


    Glosarium:
    1. Playgroup: kelompok bermain pra sekolah
    2. Pakne: pak
    3. “Rapopo Le, sing penting isih duwe lanangan!”: “Tidak apa, yang penting punya suami!”
    4. Lanang: lelaki
    5. “Lempuyangan wae yo?”: “Lempuyangan saja ya?”
    6. “Kowe ora kepengin mrana?”: “Kamu tidak ingin ke sana?”
    7. “Ngapain di situ, Mak?”: “Berbuat apa di situ, Bu?”
    8. “Aku seneng jaga markas.”: “Aku senang menjaga markas.”
    9. “Ngawasi Mamak dodolan koran, kalau ada musuh!”: mengawasi ibu berjualan, kalau ada musuh!”
    10. “Montor culik!”: “Kendaraan penculik!”
    11. “Mengko tak tembak,”: “Nanti saya tembak.”
    12. “Maturnuwun,”: “Terimakasih.”
    13. “Nuwunsewu.”: “Permisi.”
    14. Cilok: jajanan dari tepung tapioka.
    15. “Nang kali yo, Mak,”: “Di sungai ya, Bu.”
    16. ogah-ogahan: malas-malasan.
    17. “mau bengi parkir ya gur entuk limolas gelo.”: “Semalam parker hanya dapat lima belas ribu.”
    18. “Mumet, Mbokne,”: “Pusing, Bu.”
    19. “Aku ya lagi ora nyekel je…”: “Aku juga sedang tidak pegang….”
    20. “Tidak, saya tidak akan pinjam uang, saya cuma kasih tahu kalau tanahmu ditaksir hotel untuk bikin kolam renang, piye?”: “Tidak, saya tidak akan pinjam uang, saya cuma kasih tahu kalau tanahmu ditaksir hotel untuk bikin kolam renang, bagaimana?”
    21. “Yo wis, tidak apa-apa, nanti aku pulang.”: “Ya sudah, tidak apa-apa, nanti aku pulang.”
    22. “Jo, mendem yuh?”: “Jo, mabuk yuk?”
    23. “Ra nde dhit,”: “Tidak punya uang,”
    24. “Tak bayari!”: “Aku bayari!”
    25. “Gek gableg dhit po?”: “Sedang punya uang, kah?”
    26. “Pirang setel?”: “Berapa pasang?”
    27. “Rong setel, gaple.”: “Dua pasang, domino.”
    28. Setel: pasang
    29. “Nggak ada yang mau, tipis!”: “Tidak ada yang mau, sedang tidak punya uang!”
    30. “Yo ceki wae, yen mung wong loro.”: “Ya bermain ceki saja, kalau hanya dua orang.”
    31. “Jo, terakhir iki Jo, bar kuwi mandek, ngantuk aku,”: “Jo, yang terakhir ini Jo, setelah itu selesai, mengantuk saya,”
    32. “Limangatus ewu, bonus kelon karo bojone kancane,”: “Lima ratus ribu, bonus tidur dengan istri temannya,”
    33. “Kelon sepisan wae,”: “Tidur sekali saja,”
    34. “Iyo, sepisan,”: “Iya sekali saja,”
    35. “teyus-teyus”: terus-terus.
    36. “Mangan yuh, mengko mulih adus.”: “Makan yuk, terus pulang mandi.”
    37. “Tuku racun celeng,”: “Beli racun celeng,”
    38. “Nggak besok, kapan-kapan kamu ikut lik Wasikan yo, nangkep celeng nang alas.”: “Tidak besok, kapan-kapan kamu ikut paman Wasikan ya, menangkap celeng di hutan.”

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here