More

    Tan Malaka dan Teater Pantai Selatan

    Oleh: Iswadi Syahrial Nupin*

    Ilustrasi: Aktor Joind Banyuwinanda dalam Pementasan Teater Monolog Tan Malaka “Saya Rusa Berbulu Merah” di IFI Bandung tahun 2016. (Foto: Iman Herdiana via merdaka.com)

    Setiap manusia memerlukan waktu untuk menikmati hiburan di sela-sela kesibukannya. Menikmati hiburan bertujuan untuk mengusir rasa jenuh yang menggerogoti batin. Salah satu caranya menikmati pertunjukan teater atau toniel. Terminologi lain biasa disebut sandiwara. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian teater itu ada tiga. Pertama, teater bermakna gedung atau ruangan tempat pertunjukan film, sandiwara, dan sebagainya. Selanjutnya, pengertian kedua adalah ruangan besar dengan deretan kursi-kursi ke samping dan ke belakang untuk mengikuti kuliah atau untuk peragaan ilmiah. Pengertian terakhir ialah pementasan drama sebagai suatu seni atau profesi, seni drama, sandiwara, dan drama.

    Sejarah teater diperkirakan berawal sekitar 500 tahun sebelum Masehi. Teater dilakoni para pendeta di atas altar dan salah satu adegannya adalah upacara memberi kurban pada dewa. Kemudian hal tersebut berubah pada masa Athena, kurban diganti oleh peran antagonis yang dihukum atas dasar kehendak masyarakat dan mati bagi semua orang.

    - Advertisement -

    Perkembangan sejarah teater di Indonesia dimulai dari era teater tradisional. Teater tradisional tersebut diperkirakan telah eksis sebelum Masehi. Dalam perjalanannya, teater tradisional memiliki kisah yang beragam karena bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku dan budaya yang melahirkan ciri khas dan tata cara yang berbeda dalam berteater. Yang termasuk teater tradisional adalah wayang wong, ludruk, ketoprak, randai, lenong dan sebagainya. Pementasan teater tradisional biasanya digelar pada acara-acara penting tertentu seperti kenaikan tahta putra mahkota, alek nagari, dan penyambutan tamu dari luar daerah.

    Setelah masa teater tradisional, teater di Indonesia memasuki era teater modern yang juga disebut sebagai teater transisi. Adanya pengaruh budaya dari negara lain memberikan sentuhan warna yang berbeda pada teater ini. Dengan memiliki unsur teknik teater barat yang dibawa oleh orang Belanda pada tahun 1805, teater transisi membuka cakrawala baru bagi seni pertunjukan di Indonesia.

    Teater transisi terus mengalami perkembangan hingga berdirinya Sandiwara Dardanella (The Malay Opera Dardanella) yang didirikan oleh Willy Klimanoff di tahun 1926. Pada masa penjajahan Jepang, teater transisi juga terus berkembang memunculkan berbagai seni pertunjukan lain, seperti Sandiwara Orion dan Komidi Bangsawan.

    Dalam Kitab Teater (2011), karya N.Riantiarno, Jakob Sumardjo membagi teater modern Indonesia menjadi lima periode, yaitu masa perintisan, masa kebangkitan, masa perkembangan, masa mutakhir, dan masa kontemporer.

    Pertama, Masa Perintisan (1885—1925). Berawal dari hadirnya teater pada kalangan bangsawan, saat itu masyarakat kalangan bawah ikut menggemari tontonan panggung tiruan opera dengan cerita berpusat pada kehidupan raja-raja dengan pakaian gemerlap dan dialog yang dinyanyikan seperti opera pada umumnya. Selanjutnya, Teater Stamboel di Surabaya berdiri untuk membawakan cerita yang bertema timur tengah. Didirikan pada tahun 1891, teater ini dipimpin oleh seorang Indo bernama August Mahie.

    Kedua, Masa Kebangkitan (1924—1941). Masa ini berawal dari hadirnya perkumpulan Dardanella yang didirikan oleh A. Pierdro yang menghadirkan pertunjukan berbahasa Melayu Rendah. Kemudian, grup teater Miss Riboet Orion ikut hadir dan sukses pada zaman kolonial di Indonesia. Pada tahun 1926 menjadi awal teater modern Indonesia, dengan ditulisnya naskah teater Bebasari berbahasa Indonesia oleh Rustam Effendi.

    Ketiga, Masa Perkembangan (1942—1970). Pada masa ini, penjajah Jepang datang dan memberlakukan sensor terhadap karya-karya naskah lakon Indonesia. Saat inilah lahir berbagai seniman penulis naskah seperti Usmar Ismail, Abu Hanifah, dan lainnya. Teater ini kemudian berkembang di masa penjajahan Jepang sebagai bentuk dukungan terhadap pemerintahan totaliter Jepang. Masa singkat tersebut dilanjutkan dengan pasca kemerdekaan Indonesia dengan didirikannya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATMI) oleh Usmar Ismail, D. Djajakusuma, dan Asrul Sani. ATMI berperan dalam mendorong keaktifan grup-grup teater di Indonesia sekaligus mendidik calon-calon seniman teater bangsa. Periode ini juga disemarakkan oleh beragam pengarang produktif nan berkualitas, seperti Achdiat Karta Miharja, Aoh K Hadimaja, dan Sitor Situmorang. Perkembangan teater di awal kemerdekaan ini umumnya terdiri atas kisah-kisah perenungan atas jasa, pengorbanan, dan keberanian para pahlawan yang gugur memperjuangkan kemerdekaan. Beberapa karya teater Indonesia periode 1950-an adalah Awal dan Mira (1952), Sayang Ada Orang Lain (1953), dan Hanya Satu Kali (1956).

    Keempat, Masa Teater Mutakhir (1970—1980). Pada masa ini, lahir teater-teater perintis ATNI, seperti Teater Populer yang dipimpin oleh Teguh Karya dan Teater Lembaga yang dipimpin oleh D. Djajakusuma.

    Kelima, Masa Kontemporer (1980—sekarang). Pada periode ini, para pengarang dan seniman teater telah tersebar di seluruh provinsi Indonesia. Bersama dengan itu, hadir pula dewan kesenian, lembaga kesenian, dan studi kebudayaan yang berperan dalam mendukung lahirnya tokoh-tokoh teater Indonesia. Adanya Taman Ismail Marzuki juga ikut serta memberikan warna dan corak teater Indonesia. Selain itu, adanya sayembara-sayembara oleh Dewan Kesenian Jakarta juga mencetak generasi-generasi baru teater Indonesia yang tidak diragukan kualitasnya.

    Pada masa perjuangan kemerdekaan, teater juga digunakan oleh para pemimpin bangsa Indonesia seperti Bung Karno dan Tan Malaka dalam menyampaikan aspirasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Dilansir dari historia.id Kegiatan Bung Karno dalam seni teater dilakoni beliau saaat pengasingannya di Ende (Nusa Tenggara Timur) kurun waktu 1934-1938, dan di Bengkulu pada titimangsa 1939-1942. Peran Bung Karno adalah penulis naskah dan sutradara. Beliau tidak lagi menjadi pemain yang biasa beliau lakoni dalam pertunjukan ludruk semasa sekolah di Surabaya. Nama grup teater yang disutradarai Bung Karno adalah Kelimutu. Grup ini terbentuk ketika beliau diasingkan ke Ende sedangkan di Bengkulu, beliau membentuk Monte Carlo. Bila dirunut dari periodisasi sejarah teater Indonesia maka Bung Karno dapat dikategorikan sebagai tokoh teater di era Kebangkitan (1924-1941) sedangkan Tan Malaka dapat digolongkan sebagai tokoh teater era Perkembangan (1942-1970).

    Dilansir dari Tan Malaka Bapak Republik yang Dilupakan: Seri Buku Tempo Bapak Bangsa (2010), Tan Malaka memiliki grup Teater yang bernama Pantai Selatan. Grup teater ini dibentuk ketika beliau berada di Bayah, Banten era penjajahan Jepang. Beliau masih menggunakan nama saraman Iljas Husein. Saat itu beliau menjabat Ketua Badan Pembantu Keluarga Pembela Tanah Air (PETA). Diyakini, beliau berperan sebagai penulis naskah teater, sutradara dan kadang kala juga berperan sebagai pemain. Naskah teater yang beliau buat sangat sulit ditemukan dokumentasinya. Pertunjukan teater Pantai Selatan biasanya berkisah tentang nasib romusha. Grup teater Tan Malaka pernah mementaskan Hikayat Hang Tuah, Diponegoro dan Perang Bali. 

    Pesan yang ingin disampaikan beliau sesungguhnya pentingnya masyarakat tetap bersatu melawan penjajah meskipun pemimpin besar telah tertangkap. Dan dalam berjuang masyarakat diharapkan patuh dan taat kepada pemimpin besar revolusi serta berjuang tanpa pamrih sampai titik darah penghabisan. Dengan teater pula beliau secara tersirat menyampaikan pentingnya mengesampingkan logika mistika untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Disamping itu pentingnya massa aksi yang dilakukan secara kompak dengan memanfaatkan momentum yang tepat juga disampaikan beliau melalui pementasan teater. 

    Teater tidak hanya sebagai media hiburan namun juga media pendidikan yang berguna bagi mendidik mental bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang merdeka. Aspirasi kemerdekaan yang disampaikan melalui teater harus lebih hati-hati agar tidak menyinggung penjajah. Oleh karena itu Tan Malaka biasa menggunakan bahasa sandi dan kode tertentu dalam berlakon diatas panggung. Bahasa sandi dan kode tertentu biasanya ada yang dipahami penonton dan ada juga yang sulit dipahami. Para kader revolusioner didikan Tan Malaka mampu memahami bahasa sandi dan kode tersebut dan kemudian setelah acara teater berakhir mereka akan menceritakannya kepada rekannya yang menyaksikan namun bukan kader revolusioner. Selama Tan Malaka dan rekan-rekannya melakukan pementasan teater, tidak pernah pelaksanaannya dibubarkan oleh tentara Jepang. Dengan kata lain, kegiatan berkesenian yang dilakukan Tan Malaka dan rekan-rekannya telah lulus sensor. Zaman Jepang semua aktivitas berkesenian wajib disensor dan harus memihak kepentingan politik kolonialis Jepang. Teater memberikan argumen dan pemahaman kepada masyarakat terjajah bahwa sudah saatnya masyarakat itu merdeka dari belenggu penjajahan. 

    Art is not a mirror to support society, but a hammer to shape it.

    (Seni bukanlah cermin untuk menopang masyarakat, tetapi palu untuk membentuknya)

    Leon Trotsky

    *Penulis adalah Eks Pengurus HMI Komisariat Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara 1996-1999.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here