More

    Slam Poetry

    Lima belas tahun lalu, saya diundang datang ke negeri yang pernah amat saya benci—sendirian saja. Saya dianggap sebagai calon pemimpin masa depan (wah!) dan amat perlu “belajar” bagaimana penegakan hukum “yang benar” dalam konteks pemberantasan korupsi. Namun, saya tak percaya hal itu.

    Membaca surat undangan yang ditandatangani oleh duta besar negara itu saya tertawa dalam hati. Bahkan hingga transit di Bandara Changi Singapura saya terus berpikir apa pentingnya mereka mengundang saya ke negaranya? Apa saya bisa dikategorikan sebagai orang yang sangat berbahaya hingga perlu “dijinakkan” dengan cara “jalan-jalan”? 

    Sendirian berangkat (merasa benar-benar jadi “orang asing” dalam pesawat Southwest Airlines) melintas di atas samudera Pasifik selama hampir 22 jam, transit semalam di Bandara Internasional San Francisco di CA; barulah besok siangnya saya tiba di DC, ibu kota negara itu. Saya menyusuri trotoarnya yang basah untuk pertama kali—hal yang bahkan tak pernah sekali pun hadir dalam mimpi-mimpi silam saya—tetap dengan rasa benci yang kukuh. Di dalam hati terus membara niat bahwa saya tidak datang untuk menikmati, saya hanya datang untuk tahu bagaimana “realitas” sebuah negara adikuasa bisa terus bungkam dan membiarkan tiga juta penduduk suatu negeri yang jauh, negeri tempat sekian generasi keluarga saya tinggal, dibantai atas nama demokrasi. Saya meludah, sekali saja, saat kaki saya pertama kali melangkah di trotoar ibu kota negara itu.

    - Advertisement -

    Sekian minggu berlalu terasa seperti kilat pada senja berhujan. Saya akhirnya tiba di bagian tengah negeri itu, sebuah kota dari butiran salju: Omaha. Setelah pertemuan-pertemuan terjadwal dengan organisasi sipil yang tengah menggalang dana bagi penderita sakit jantung, lalu menyaksikan dari balkon kaca rapat paripurna parlemen lokal untuk memutuskan “bill” tentang trotoar khusus bagi penyandang cacat, lalu menghadiri kampanye seorang calon walikota di sebuah gereja, lalu makan siang di sebuah restoran kecil di tepi sungai Mississippi dengan menu khusus “fried catfish” segemuk lingkar lengan orang dewasa, akhirnya, saya diundang menghadiri sebuah pertemuan peluncuran buku puisi dari seorang penyair “Slam”.

    Dalam satu majalah lokal, saya membaca artikel tentang acara peluncuran buku puisi itu. Saya akhirnya tahu bahwa puisi “Slam” adalah semacam gerakan puisi protes—melanjutkan tradisi puisi “Beat” pada tahun 60-an—di Amerika Serikat. Para penyair “Slam” biasa mengorasikan puisi-puisinya di panggung-panggung terbuka acara sastra, di kafe-kafe, dan di taman-taman publik. Mereka membaca puisi, seolah ingin menembus suasana senyap dan bungkam, setelah “revolusi” tak ada lagi.

    Peluncuran buku puisi yang diadakan di kafe itu terasa biasa saja, bahkan sedikit membosankan bagi saya. Di atas panggung kecil saya lihat penyairnya, seorang lelaki jangkung yang kala itu saya duga seumur saya, seorang dosen sastra di Omaha, dengan gaya orator membacakan puisi-puisi protesnya dalam kumpulan puisi yang baru saja ia luncurkan. Saya sedikit kecewa dengan pembacaan puisinya, sebab saya ingat betapa “berdenyut” jantung saya tatkala menyaksikan Rendra membacakan puisi terkenalnya, ‘Blues untuk Bonnie’, dengan teknik vokal dan gestur teaterikal yang memesona: “Beatsy, Beatsy, di manakah engkau, Betsy?”

    Usai acara pembacaan puisi, saya berkenalan dengan sang penyair yang, dari satu artikel majalah lokal, saya tahu adalah pelopor “slam poetry” di negara bagian Nebraska. Setelah basa-basi perkenalan yang singkat, saya ditanya olehnya bagaimana kesan saya setelah berkeliling beberapa negara bagian di AS. Saya tersenyum dan menjawab: “Biasa saja. Saya bertemu dengan sekian banyak orang, dan saya tahu mereka adalah manusia, sama seperti saya.”

    Ia nampak sedikit terkejut dengan jawaban saya. Lalu, kami pun terlibat pembicaraan yang lebih tentang puisi, khususnya tentang “Slam Poetry”, tentang revolusi yang telah tak ada lagi, tentang suasana kepenyairan pada era puisi “Beat”—yang ia rindukan, tetapi juga telah tak ada lagi. Sebelum pulang, ia memberi saya dua kumpulan puisinya yang telah terbit. Saya mengucapkan terima kasih dan ia menatap mata saya, lama.

    “Maafkan kami…” katanya lirih.

    Saya tak mengerti, dan spontan berkata, “Atas apa? Saya justru berterima kasih telah diundang dalam acara peluncuran buku puisi ini.”

    “Atas tragedi pembantaian…. tiga puluh sembilan tahun lalu, di negeri Anda.”

    Saya tercekat. 

    “Anda tahu maksud saya. Sebagai seorang aktivis dan penyair, saya yakin Anda tahu maksud saya,” katanya lagi.

    Saya mengangguk. Mata saya berkaca-kaca. Inilah saya dengar kali pertama seseorang secara langsung meminta maaf atas tragedi pembantaian itu, tidak oleh para penguasa di negeri saya, tetapi oleh seorang penyair di negeri yang bertahun amat saya benci. 

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here