More

    Slam Poetry

    Pagi ini saya membaca tagline berita pada satu televisi swasta di Indonesia bahwa Presiden Jokowi tak akan meminta maaf kepada PKI (Partai Komunis Indonesia), juga kepada keluarga korban pembantaian 65. Saya tersenyum dan mahfum, hanya dalam hati saya berkata, lirih saja: “Benar, Tuan Presiden. Benar sekali. Revolusi memang telah tak ada lagi.” Dan, pagi ini, saya hanya ingin membaca ulang, berkali-kali, satu puisi yang saya tulis dan saya persembahkan bagi seorang penyair bertubuh jangkung, Matt Mason, seorang penyair di negeri yang pernah amat saya benci: 

    SLAMP POETRY

    Di sini, seseorang telah mencipta puisi dari serbuk
    getah poppy. Ia mengira dirinya penyair terkutuk,
    yang mangkir pada detik terakhir, dan terbatuk.

    - Advertisement -

    Di sini, seseorang mengukir dingin pada batu cincin
    berkilat bagai sebiji mata kucing lilin; kenangan itu
    menggigil dalam angin. Di sini, kepedihan tanpa kata

    membangun kuil, tak lain bekas kafe yang sepi,
    di Omaha: kota dari butiran salju. Penyair itu
    menyapaku sebelum gugup mengutip selarik puisi

    meluncur di sela senyumnya yang patah, dan cuaca
    memang tidak sedang bergairah. ‘Di sini, jelas tak ada
    revolusi, tak ada lagi,’ katanya, ‘hanya sebait dharma

    mematuk lidah Jack Kerouac.’ Lalu ia teringat kenangan
    yang lain, kisah seorang bapak membajak ladang jagung
    dengan mesin beroda; dan mendadak seorang pemuda

    terkantuk di pokok oak, bermimpi asap selinting ganja
    memeluk patung ular—di Leningrad yang terbakar.
    ‘Kami membenci darah, tapi bukan sejarah,’ katanya.

    Lalu ia menambahkan: ‘Begini kami sebut slam poetry.’
    Di panggung mataku, seorang penyair membaca puisi,
    begitu lirih, memendam selaung anarki di ufuk matanya

    yang letih: ‘Di sini kami, tak lain, sebutir salju yang sedih.’

    ——————————————

    SLAM POETRY

    Translated by Agit Yogi Subandi & Fitri Yani

    Here, someone has created poem from the powder
    of poppy latex. He though the was a damned poet,
    who absentee at the last second, and coughs.

    Here, someone carved coldly on a ring stone
    shiny like a cat’s eye wax; that memory
    shivering in the wind. Here wordless pain

    building a temple, no other former cafe that is quiet,
    in Omaha: city of snowflakes. The poet
    greeted me before nervously quoting an array of poetry

    gliding between his broken smiles, even though the weather
    indeed, not excited. ‘Here, obviously nothing
    revolution, nothing else,’ he said, ‘just a stanza ofdharma

    that pecking on Jack Kerouac’s tongue.’ Then he remembers 
    the others memories, the story of a father who hijacking
    a cornfield with wheeled machines; and suddenly a young man

    fall asleep in oak limbs, dream of marijuana roll smoke
    hugging a snake statue—In Leningrad which is on fire.
    ‘We hate blood, but not history,’ he said.

    Then he added: ‘This is what we call slam poetry.’
    On the stage of my eyes, a poet reads poetry,
    so soft, harboring anarchy in the horizon of his eyes

    the tired: ‘Here we are nothing but a sad snow.’

    ——————————————————————————————
    Puisi dan Esai @ Ahmad Yulden Erwin, ditulis: 2012 – 2019
    ——————————————————————————————

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here