Terakhir, sebelum menutup esai ini, saya menyatakan bahwa seorang sastrawan kontemporer, yang hendak menuliskan teks sastra avant garde misalnya, harus paham dulu logika modern dan linguistik. Ada sering kesalahpahaman dari penulis sastra di sini yang menganggap pemahaman soal linguistik adalah semata soal gramatika. Itu pemahaman yang keliru. Linguistik modern adalah perluasan dari ilmu logika, sangat terhubung dengan logika modern, bahkan sangat logis. Misalnya, bicara soal semantik, bukan cuma bicara soal makna kata di kamus, tetapi terkait dengan makna sintaksis. Bicara soal sintaksis, maka berarti kita bicara soal proposisi–terutama proposisi dalam logika modern seperti kalkulus predikat, logika intuisionalistik, logika modalitas, hingga logika parakonsistensi.
Teks sastra avant garde harus sangat “simetris” secara linguistik dan logika, baru setelah itu dibocorkan, dibengkokkan, disimpangkan atau dibuat asimetrinya tanpa merusak simetrinya. Saya belajar soal simetri artistik ini justru setelah saya memahami konsep wabi-sabi dalam seni keramik kontemporer Jepang. Sebagai contoh, Anda bisa menonton film dokumenter yang saya cantumkan dalam komentar pertama status ini tentang keluarga seniman keramik bergaya Karatsu, Nakazato Taki. Anda bisa menonton pada menit 2.18 – 2.58 ketika Nakazato Taki membuat cawan keramik dengan sangat presisif, bahkan sampai mengukur diameter cawan secara tepat, untuk kemudian ditekuk atau dibuat “cacat artistiknya”. Jadi asimetri atau cacat artistik itu tidak bisa dilakukan tanpa kesadaran, tanpa simetri, karena bila begitu yang terjadi hanyalah keisengan dan atau kengawuran dalam seni.
Dengan kata lain, makin kompleks sebuah teks atau karya seni, maka harus makin logis. Itulah paradoks dari teks atau karya seni kontemporer. Tak ada tempat untuk kengawuran di dalam karya seni kontemporer.
—————————————————————-
Esai @ Ahmad Yulden Erwin, Januari 2017
—————————————————————-