More

    Simplifikasi Lawan Kejelasan?

    3/

    Berikut ini saya jelaskan prinsip implikasi material dalam logika modern (proposisional) yang diukur dengan menggunakan tabel kebenaran (TT):

    Natal, dalam teologi Nasrani, adalah peringatan kelahiran Yesus sebagai manifestasi Tuhan (firman) ke dalam dunia. Jadi, bisa dimaknai bahwa kelahiran Yesus adalah “kelahiran” Tuhan ke dalam dunia bagi pemeluk agama Nasrani, tepatnya sebagai firman Tuhan yang hidup. Dalam teologi Nasrani, Yesus dimaknai sebagai sebentuk firman yang menjelma, sehingga dikatakan bahwa Yesus adalah “anak Allah”, atau Mesias (dalam bahasa Yunani disebut Kristos), yang hakikatnya merupakan bagian dari Allah sendiri sebagai Bapa. Yesus sebagai firman (logos) bukanlah ciptaan Allah, seperti ketika kita menciptakan peralatan misalnya, tetapi bagian dari Allah sendiri. Substansi Yesus, sebagai firman (logos), disebut “Allah Putra”. Jadi, dalam konteks teologi Nasrani, “anak Allah” adalah perihal manifestasi sebagai Mesias, sebagai pribadi, sebagai firman yang menjelma ke dalam dunia. Sedangkan, “Allah Putra” merupakan substansi yang tidak menjelma, sebagai ke-apa-an, sebagai firman (logos) yang bersatu dengan Allah Bapa dan Allah Roh Kudus, yang kemudian dikenal sebagai konsep trinitas.

    - Advertisement -

    Di dalam teologi Islam ada pandangan yang juga mengatakan bahwa firman Allah bukanlah mahluk, bukan ciptaan-Nya, tetapi bagian dari Allah itu sendiri. Pandangan ini dikemukakan oleh Imam Ibnu Taimiyah di dalam kitab al-Aqidah al-Wasithiyah:

    “Beriman kepada Allah dan kepada kitab-kitab Allah berarti beriman kepada al-Quran sebagai Kalam Allah yang diturunkan ke dunia. Al-Quran bukanlah makhluk. Al-Quran bermula dari Allah dan kepada-Nya akan kembali. Dan sesungguhnya Allah berbicara dengan al-Quran ini secara hakiki. Sesungguhnya al-Quran yang telah Allah turunkan kepada Rasul Muhammad adalah perkataan Allah yang sebenarnya, bukan perkataan selain-Nya. Tidak boleh kita berpendapat bahwa al-Quran adalah ungkapan dari Kalam Allah atau ungkapan tentang Kalam Allah. Bahkan apabila manusia membacanya atau menuliskannya dalam mushaf-mushaf, al-Quran tetap tidaklah keluar dari keadaannya dahulu sebagai Kalam Allah yang sebenarnya. Sesungguhnya suatu perkataan hanya akan disandarkan secara hakiki kepada yang sejak semula mengatakannya, dan tidak disandarkan kepada orang yang mengatakannya sebagai penyampai. Al-Quran adalah Kalam Allah, baik huruf-hurufnya maupun makna-maknanya. Kalam Allah bukan hanya huruf-huruf saja tanpa makna, dan bukan pula makna-makna saja tanpa huruf.”

    Sedangkan akidah dalam Islam intinya adalah mengesakan Allah yang dimaknai sebagai hanya satu-satunya Tuhan. Tuhan yang satu itu tidak berwujud, tidak beranak dan diperanakan, serta tak ada satu pun yang menyamai-Nya. Persoalan akan semakin menantang ketika firman Tuhan “ditafsirkan” sebagai bukan mahluk, tetapi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Tuhan sendiri, seperti pendapat Imam Ibnu Taimiyah di atas. Hal itu berarti sama seperti pandangan di dalam teologi Kristen yang menyatakan bahwa Yesus adalah firman Tuhan yang menjelma ke dalam dunia. Dengan kata lain Tuhan bisa disamakan dengan firman-Nya, yaitu sama-sama absolutnya. Pandangan begini jelas memberi legitimasi bahwa firman Tuhan adalah absolut, karena Tuhan juga absolut. Tafsir Imam Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa al-Quran adalah Kalam Allah baik huruf-hurufnya (struktur luar) dan maknanya (struktur batin), menunjukkan bahwa Kalam Allah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Allah sendiri.

    Di sisi lain, jika firman Tuhan adalah mahluk-Nya, maka berarti firman Tuhan itu tidaklah absolut. Dan bila firman Tuhan ditafsir sebagai tidak absolut, maka firman Tuhan juga tidak identik dengan Allah, karena Allah adalah Esa dalam arti satu sehingga tak ada satu pun yang menyamai-Nya. Dengan kata lain, menganggap firman Tuhan sebagai absolut adalah bertentangan dengan akidah Islam itu sendiri, yaitu ketauhidan. Lalu, di manakah kebenaran absolut itu, pada firman Tuhan atau pada Allah?

    Jika dijawab kedua pandangan teologis di atas adalah benar, maka konskuensinya umat Islam harus menerima pandangan bahwa Tuhan pun menjelma ke dalam dunia sebagai firman, sama seperti teologi umat Nasrani. Namun, bila Anda mau mengatakan firman Tuhan adalah absolut, maka Anda mesti mengubah paradigma Anda menjadi panteisme terlebih dahulu. Anda tidak bisa menggunakan paradigma keesaan sebagai angka satu untuk mengatakan firman Tuhan adalah absolut, karena akan terjadi “contradictio in terminis” yang menghasilkan konklusi absurd (Tuhan tidak menjelma dan sekaligus menjelma ke dalam dunia sebagai firman). Karena itu Anda mesti mengubah paradigma berpikir menjadi panteistik, agar pandangan Anda menjadi benar dan tidak merupakan kontradiksi, untuk mengatakan firman Tuhan adalah absolut.

    Baruch Spinoza, filsuf panteistik dari Belanda pada abad pertengahan di Eropa, berpendapat “Deus siva Natura”, bahwa “Tuhan atau Alam” sama benarnya. Artinya, Anda bisa mengatakan bahwa Tuhan adalah kebenaran absolut atau firman Tuhan yang menjelma ke dalam dunia adalah juga kebenaran absolut. Keduanya sama-sama absolut benar. Namun, konsekuensi dari pandangan panteistik Spinoza adalah bahwa semua firman Tuhan yang lain juga absolut ketika turun ke dunia, minimal absolut bagi pemeluk agama yang dipayunginya. Hal ini berarti klaim bahwa hanya ada satu-satunya firman Tuhan yang benar di dalam dunia ini menjadi batal. Karena, dalam pandangan panteistik, semua firman Tuhan yang lainnya juga adalah benar.

    Jadi, sekarang terserah Anda mau meyakini pandangan yang mana. Anda boleh meyakini pandangan tauhid bahwa Tuhan adalah Esa dan tak ada satu pun yang menyamai-Nya, yang berarti firman Tuhan tidak absolut; atau meyakini pandangan panteistik, seperti pandangan Spinoza, yang menyatakan bahwa Tuhan turun ke dunia dalam bentuk firman dan semua firman-Nya adalah absolut benar. Atau, Anda juga bisa memutuskan bahwa kedua pandangan teologi di atas adalah benar, hanya saja kemungkinan besar Anda akan sulit menjelaskannya dengan logis, tanpa pendapat Anda itu terjebak pada kontradiksi.

    Jika Anda mengatakan bahwa pandangan di atas hanyalah pendapat berdasarkan logika, sementara keimanan tak bisa dijelaskan dengan logika, maka silakan jelaskan pandangan Anda tanpa menggunakan logika apa pun. Dan, saya tidak yakin ada pendapat yang bisa mendeskripsikan perihal tertentu tanpa logika, karena setiap pendapat pasti memiliki dasar logika. Saya sendiri sudah membuktikan melalui argumen logis di atas bahwa teologi Nasrani dan teologi Islam dari Imam Ibnu Taimiyah memiliki kemiripan, yaitu sama-sama menyatakan bahwa firman–baik firman yang hidup maupun firman yang dituliskan–adalah absolut benar atau merupakan bagian dari Tuhan sendiri. Artinya, kedua pandangan teologi itu sama-sama dibangun oleh basis epistemologi panteistik, meski mungkin belum banyak orang yang menyadarinya.

    Ada satu pernyataan deklaratif atau proposisi yang menarik untuk diuji secara logika. Proposisi itu adalah perihal ucapan selamat Natal oleh umat Islam, yang sering ditasirkan sebagai tindakan melanggar akidah Islam.

    Jika hendak dirumuskan ke dalam bahasa logika proposisional, kira-kira begini formulasi argumennya dengan menggunakan inferensi logika berbentuk modus ponen. Misalnya, diketahui A adalah seorang muslim:

    Argumen 1: (p → q) ∧ p → q
    Jika A mengucapkan selamat Natal, maka A melanggar akidah Islam. Dan A terbukti mengucapkan selamat Natal. Kesimpulannya A melanggar akidah Islam.

    Argumen 2: (q → r) ∧ q → r
    Jika A melanggar akidah Islam, berarti A tidak beriman. Dan A terbukti melanggar akidah Islam. Kesimpulannya A tidak beriman.

    Argumen 3: (r → s) ∧ r → s
    Jika A tidak beriman, maka A adalah kafir. Dan A terbukti tidak beriman. Kesimpulannya A adalah kafir.

    Argumen 4: (s → w) ∧ s → w
    Jika A adalah kafir, maka A boleh dibunuh. Dan A terbukti kafir, kesimpulannya A boleh dibunuh.

    Argumen 5: p → w
    Jika A mengucapkan selamat Natal, maka A boleh dibunuh.

    Menurut saya, kemungkinan besar, lima argumen itulah yang menjadi dasar pemikiran kenapa para teroris merasa boleh membom gereja-gereja yang merayakan Natal.

    Pertanyaannya: Benarkah kelima argumen itu? Jawabannya: Tidak benar. Apa buktinya? Begini pembuktiannya:

    Pertama kali kita harus menguji dasar dari argumen 1, yaitu proposisi majemuk yang menggunakan operator implikasi material (p → q): “Jika A mengucapkan selamat Natal, maka A melanggar akidah Islam.”

    Pertanyaan saya benarkah relasi kausalitas dalam proposisi majemuk di atas? Jawabannya: Tidak benar. Kenapa? Karena antara proposisi atomik 1 (disimbolkan dengan huruf “p” yang berfungsi sebagai sebab) yaitu “A mengucapkan selamat Natal”, tak memiliki relasi sebab-akibat dengan proposisi atomik 2 (disimbolkan dengan huruf “q” yang berfungsi sebagai akibat) yaitu “A melanggar akidah Islam”. Kenapa? Karena proposisi yang berfungsi sebagai sebab (proposisi atomik 1) tidak memenuhi prinsip “kondisi yang perlu” atau “kondisi yang cukup”, juga tak menjadi “sebab yang langsung” (proximate cause), untuk menimbulkan akibat (proposisi atomik 2). Penjelasan lebih detil soal di atas dapat dilihat pada Apendiks 1 esai ini.

    Mari kita kaji lebih jauh dengan menggunakan pendekatan semantik perihal makna dalam proposisi. Natal, dalam teologi Nasrani, adalah peringatan kelahiran Yesus sebagai manifestasi Tuhan (firman) ke dalam dunia. Jadi, kelahiran Yesus adalah “kelahiran” Tuhan ke dalam dunia. Sedangkan akidah dalam Islam intinya adalah mengesakan Allah yang dimaknai sebagai hanya satu-satunya Tuhan. Tuhan yang satu itu tidak berwujud dan tak ada satu pun yang menyerupai-Nya. Jadi, bila saya mengucapkan selamat Natal, berarti saya mengakui Tuhan tidak lagi esa dan mengakui Tuhan dapat berwujud sebagai manusia. Benarkah demikian?

    Jawaban saya: Tidak benar. Karena pengucapan selamat Natal, tidak otomatis bermakna bahwa saya mengakui Yesus sebagai Tuhan, tetapi sebagai bentuk apresiasi saya kepada umat Nasrani yang merayakan Natal. Saya tidak pindah agama hanya dengan mengucapkan selamat Natal.

    Mari kita buat analogi sebagai berikut:

    Misalnya, saya adalah anggota partai yang berasaskan syariat Islam. Jika saya mengucapkan selamat hari ulang tahun (HUT) kepada partai yang berasaskan nasionalisme, maka ucapan saya itu sama sekali tidak bermakna bahwa saya pindah ke partai nasionalis. Saya hanya mengucapkan selamat HUT kepada partai nasionalis, bukan pindah partai. Kenapa? Karena saya baru bisa terbukti pindah partai, bila dan hanya bila saya telah mendaftar dan memenuhi syarat-syarat keanggotaan yang ditetapkan oleh partai nasionalis tersebut.

    Demikian juga halnya jika saya mengucapkan selamat Natal. Ucapan saya itu bukan berarti saya pindah agama atau mengakui Yesus sebagai Tuhan. Karena saya hanya terbukti pindah agama, bila dan hanya bila saya mengakui Yesus sebagai manifestasi Tuhan ke dalam dunia. Pengakuan itu harus dimulai dengan kesadaran saya sendiri bahwa Yesus adalah Tuhan, bukan dengan ucapan selamat Natal. Ketika saya mengucapkan selamat Natal dan kesadaran saya tetap menganggap Yesus bukan manifestasi Tuhan di dunia, maka saya tidaklah melanggar akidah Islam. Begitu juga ketika umat Nasrani mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri, maka tidak otomatis umat Nasrani itu masuk Islam. Karena syarat masuk Islam adalah mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai manifestasi kesadaran bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya.

    Berdasarkan analisis logika di atas, bila dan hanya bila argumen 1 di atas terbukti keliru, maka argumen berikutnya (2, 3, 4, dan 5) juga keliru. Dan oleh sebab argumen 1 itu memang terbukti keliru, maka empat argumen berikutnya juga keliru.

    Lalu, bagaimana seharusnya proposisi yang benar secara logika, sehingga propisisi majemuk di atas bisa memiliki relasi kondisi yang perlu dan sebab yang langsung antara proposisi atomik 1 (sebab) dengan proposisi atomik 2 (akibat)? Begini jawabnya:

    1. Proposisi majemuk yang salah:

    “Jika A mengucapkan selamat Natal, maka A melanggar akidah Islam.”

    2. Proposisi majemuk yang benar

    “Jika A mengucapkan selamat Natal, maka A mengapresiasi hari raya umat Nasrani.”

    Atau,

    “Jika saya mengucapkan selamat Natal kepada teman saya, maka teman saya itu akan merasa bahagia atas ucapan saya tersebut.”

    Apakah membuat bahagia saudara sebangsa, meski berbeda iman, adalah satu tindakan yang melanggar akidah Islam? Jawaban saya: Tidak! Karena membuat orang lain bahagia adalah satu bentuk ibadah dan tidak melanggar akidah Islam.

    Karena itu, sebagai Gusdurian, saya akan meniru teladan almarhum Gus Dur dalam memberikan ucapan selamat Natal kepada saudara-saudara saya sebangsa yang beragama Nasrani: “Selamat Natal dan Tahun Baru. Semoga semua mahluk berbahagia. Amin.”

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here