More

    Simplifikasi Lawan Kejelasan?

    5/

    Di dalam buku “Tractatus Logico-Philosophicus” karya Ludwig Wittgenstein seluruh operator logika proposisional seperti kata “dan” (konjungsi), “atau” (disjungsi), “jika… maka…” (implikasi material), dan “bukan” (negasi) sama sekali tidak berkorespondensi dengan hal apa pun di dalam realitas. Tak ada hal yang bisa ditunjuk sebagai “gambar” dari kata “dan” di dalam realitas inderawi atau metafora atau imajinasi, begitu juga dengan operator lainnya. Termasuk dengan konsep waktu. Keberadaan waktu sama sekali tidak bisa direpresentasikan dengan jam dinding atau arloji misalnya, karena hal itu bukanlah gambar dari waktu, melainkan “akibat” dari konsep waktu. Banyak hal dalam bahasa yang sebenarnya tidak kita pahami, meski demikian hal itu kita terima saja sebagai perihal yang memiliki realitas, pula tak jarang sebagai kebenaran absolut yang bersumber dari prinsip “pokoknya”. Siapa orang cerdas yang mau saling bunuh untuk membela kata “dan”? Tidak ada? Lalu, kenapa fakta sejarah justru menunjukkan banyak orang yang mau membela kata “dan”, bahkan sampai mengorbankan nyawa mereka?

    Teori gambar dalam logika bahasa Wittgenstein menyatakan bahwa ada kesamaan antara kata dengan realitas yang dikatakan. Meski demikian kesamaan itu bukan seperti potret, melainkan lebih mirip satu peta. Jika saya berkata tentang batu, maka definisi atau makna kata batu bukanlah potret tentang kata batu di dalam realita, melainkan hanya peta tentang kata batu, peta yang mengundang kita untuk menjelajahi kebenaran dari batu di dalam realita. Begitu pula perihal kata Tuhan. Makna kata Tuhan tidak identik dengan realitas keilahian, melainkan hanya semacam peta yang mengundang kita untuk menjelajahi realitas keilahian. Pengetahuan kita tentang Tuhan (teologika) bukanlah pengetahuan yang selesai, yang paripurna, melainkan sebuah proses. Semua pertikaian kita tentang Tuhan adalah bentuk kekeliruan berbahasa karena menganggap proses sebagai realitas paripurna, menganggap peta gunung sebagai gunung. Buktinya, Anda tak bisa mendaki peta gunung, karena gununglah yang semestinya Anda daki.

    - Advertisement -

    Konsep operator konjungsi (“dan”) dalam logika simbolis sebenarnya bukan berarti kesatuan dari dua proposisi atomik (misalnya himpunan A dan himpunan B), melainkan irisan atau pertemuan unsur-unsur yang sama dari dua himpunan, tetapi tetap masih ada unsur-unsur yang berbeda pada keduanya ketika operator konjungsi digunakan. Sedangkan konsep operator disjungsi (“atau”) dalam logika simbolis bermakna kesatuan dari dua proposisi atomik, yang berarti semua unsur pada satu himpunan juga merupakan unsur dari himpunan lainnya ketika disatukan oleh operator disjungsi.

    Menurut saya, konsep ketuhanan antropomorfisme merupakan wujud dari konsep operator konjungsi. Sedangkan konsep ketuhanan panteisme merupakan wujud dari konsep operator disjungsi. Ketika saya berkata: “dia dan kamu”, maka pernyataan saya itu tidak bisa dimaknai bahwa dia menyatu dengan kamu, tetapi ada unsur-unsur yang sama antara dia dan kamu, sekaligus ada unsur-unsur yang berbeda. Sedangkan ketika saya berkata: “dia atau kamu”, berarti unsur-unsur dia adalah juga unsur-unsur kamu tatkala operator disjungsi digunakan.

    Kata “Tuhan” bukanlah Tuhan, seperti kata “gelas” bukanlah benda yang ditunjuk oleh makna kata itu sebagai gelas. Jika Anda tidak percaya bahwa kata “gelas” bukanlah gelas, maka silakan lakukan pengujian peristiwa berikut ini: tulislah kata “gelas” pada satu papan tulis, lalu tuangkan air minum pada kata “gelas” di papan tulis itu. Jika air itu tidak tumpah ketika dituangkan pada kata “gelas” di papan tulis, maka hipotesis saya di atas terbukti salah. Namun, jika sebaliknya, berarti hipotesis saya di atas terbukti benar.

    Tuduhan penghinaan terhadap “firman” Tuhan yang dianggap berelasi dengan penghujatan terhadap Tuhan dan penistaan terhadap orang yang mempercayai firman itu, hanyalah omong kosong atau ujaran yang tidak bermakna secara logika. Sebab, jelas sekali, “firman” Tuhan bukanlah Tuhan, juga tidak identik dengan orang yang mempercayai firman itu.

    Menurut saya, satu proposisi yang tidak dapat dibuktikan benar atau salahnya, hanya memiliki dua interpretasi terhadapnya: omong kosong atau pernyataan absolut. Jika hal itu dianggap sebagai pernyataan absolut, maka mintalah orang yang membuat pernyataan itu untuk membuktikan bahwa pernyataannya memang benar adalah absolut. Namun, ia tidak akan bisa membuktikannya, karena bila sebuah pernyataan yang dianggap absolut bisa dibuktikan sebagai absolut, maka pernyataan itu bukan lagi sebuah pernyataan absolut tetapi sudah menjadi satu proposisi logis atau satu pernyataan deklaratif yang bisa dibuktikan benar atau salahnya.

    ——————————————-

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here