1/
Menurut para filsuf analitik (filsafat bahasa) pada abad ke-20, terkait soal tindak berbahasa, ada juga ucapan di luar ranah logika, di luar ucapan konstatif. Ukuran dari ucapan konstatif atau proposisi logis adalah benar atau salah. Sedangkan ukuran dari ucapan di luar ranah logika, biasanya diucapkan dalam bahasa sehari-hari (ordinary language), adalah layak atau tidak layak. Ucapan yang di luar ranah logika tersebut, menurut J.L. Austin (1911 – 1960)–seorang profesor di Oxford dan pelopor filsafat bahasa dalam konteks komunikasi sehari-hari–disebut ucapan performatif (performative utterance). Definisi ucapan performatif menurut J.L. Austin adalah ucapan yang memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah diselesaikan oleh pengucap dan dengan mengungkapkannya berarti perbuatan tersebut diselesaikan pada saat itu juga.
Hal yang dimaksud layak atau tidak layak dalam kriteria ucapan performatif jangan diartikan menjadi santun atau tidak santun, tetapi terkait dengan kompetensi (kelayakan atau otoritas) dari subjek pengucapnya. Jadi, ukuran dari ucapan performatif sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kebenaran dari ucapan, tetapi tergantung pada kompetensi dari orang yang mengucapkannya. Misalnya, “Saudari Jessicca Wongso, saya putuskan Anda bersalah dan dikenai pidana penjara selama 20 tahun.” Ucapan performatif di atas menjadi layak bila diucapkan oleh seorang hakim (sebagai subjek yang berkompeten atau berwenang dalam memutus perkara hukum di pengadilan).
2/
Contoh lainnya, yang menurut pengamatan saya sering terjadi di FB, adalah ucapan-ucapan yang bernuansa nasehat keagamaan atau moral. Misalnya:
1. “Jangan mencuri!” (Bila hendak dirumuskan ke dalam bentuk ucapan performatif, maka akan menjadi: “Saya menyarankan kepada Anda untuk jangan melakukan tindakan mencuri.”)
2. “Seringlah berbuat baik kepada orang lain.” (Bila hendak dirumuskan ke dalam bentuk ucapan performatif, maka akan menjadi: “Saya menyarankan kepada Anda untuk sering berbuat baik kepada orang lain.”)
Kedua ucapan performatif di atas tak ada kaitannya dengan kebenaran moral atau agama, tetapi terkait pada “tindak pengucapan” (speech acts) oleh subjek pengucapnya. Artinya, kedua ucapan performatif itu dinilai “layak” diucapkan jika dan hanya jika subjek pengucapnya tidak melakukan tindak pencurian atau tidak berbuat jahat kepada orang lain. Jika sebaliknya, maka ucapan performatif di atas menjadi “tidak layak” diucapkan oleh subjek pengucapnya. Namun, bukan berarti isi kalimat yang diucapkanya benar atau salah, hanya layak atau tidak layak diucapkan oleh subjek pengucapnya.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>