More

    Ucapan Performatif : Ketika “Nasehat Terlepas dari Kriteria Kebenaran

    Kajian tentang ucapan performatif sekarang berada dalam wilayah sosiolingusitik. Artinya, sebuah ucapan performatif terkait dengan soal cara kita berkomunikasi di tengah masyarakat. Jadi, ucapan performatif seperti yang dirumuskan J.L. Austin mencoba melepaskan tindak berbahasa dari kriteria kebenaran (korespondensi, koherensi, dan pragmatis), serta semata “mengukur” nilai suatu ucapan dari otoritas subjek pengucapnya. Menurut saya di sinilah letak kelemahan dari ucapan performatif. Kenapa? Karena nilai ucapan performatif tidak ditentukan dari benar atau salahnya suatu ucapan, melainkan dari subjek pengucapnya. Dan hal sedemikian, di dalam logika klasik, termasuk ke dalam kategori ucapan yang mengandung “sesat pikir karena otoritas”.

    Persoalan untuk menilai ucapan performatif apakah layak atau tidak layak timbul ketika orang mau “mengukur” kompetensi dari subjek pengucap. Bagaimana kita mengukurnya? Jika ucapan performatif terkait persoalan moral–misalnya: “Jangan mencuri!”–diucapkan oleh seorang ulama atau pendeta (orang-orang yang dianggap memiliki otoritas moral dan keagamaan oleh masyarakat tertentu) apakah itu berarti ucapannya layak diucapkan? Bagaimana bila kita sebenarnya tidak tahu bahwa si ulama atau pendeta itu telah melakukan tindakan pencurian dana bantuan masyarakat atau jamaahnya (yang beberapa waktu kemudian memang terbukti di pengadilan)? JIka ucapan performatif dikaitkan dalam konteks sosiolinguistik (tindak berbahasa di dalam kehidupan sosial), maka konsekuensi dari “layak” atau “tidak layak” pada suatu ucapan performatif akan berakibat pada kepercayaan atau ketidakpercayaan masyarakat terhadap pribadi si pengucap. Namun, bila soal keterpercayaan masyarakat tidak dikaitkan dengan kriteria kebenaran, maka yang mungkin terjadi adalah “manipulasi ucapan”. Ucapan performatif mungkin layak diucapkan oleh subjek pengucap jika dan hanya jika masyarakat atau individu yang jadi sasaran pengucap tidak tahu “siapa sebenarnya” si pengucap. Bila begitu, jelas sekali, ada unsur kontradiksi di dalam ucapan performatif yang bisa menghasilkan kesimpulan absurd.

    Saya pikir ucapan performatif itu hanya soal “persuasi”, sama seperti iklan, yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya, tetapi hanya tergantung pada apakah Anda percaya atau tidak percaya kepada si pengiklan. Dan soal keterpercayaan itu bisa dibuat dengan cara mengiklankan satu iklan tertentu secara berulang-ulang melalui media massa, sehingga tertanam dalam benak konsumen bahwa konten dari iklan tersebut adalah benar. Namun, ketika konten iklan itu ternyata tidak benar, maka kepercayaan masyarakat akan langsung hilang. Bila begitu, bila konten iklan tersebut tidak sesuai kenyataan, maka ucapan performatif dalam iklan tersebut–misalnya dalam bentuk iklan yang menggunakan kesaksian individu tertentu–adalah sebuah penipuan kepada publik dan bukan merupakan tindak berbahasa yang baik.

    - Advertisement -

    Karena itu saya menyimpulkan bahwa ucapan performatif tidak bisa dijadikan ukuran komunikasi yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Sebuah ucapan, baik konstatif maupun performatif, harus tetap bersandar pada kriteria kebenaran agar komunikasi bisa berjalan dengan baik. Baik atau tidak baik, dalam konteks individu atau masyarakat, merupakan ukuran dari etika. Dan, menurut saya, setiap etika pasti bersandar pada kriteria kebenaran tertentu. Artinya, ucapan performatif tidak bisa dilepaskan dari logika.

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here