3/
Dalam konteks estetika puisi, puisi-puisi lirik yang secara verbal menyampaikan pesan-pesan moral atau keagamaan atau politik akan cenderung menjadi “ucapan performatif” ala J.L. Austin–menjadi “nasehat” yang terlepas dari kriteria kebenaran–menjadi filsafat palsu. Kenapa? Karena watak ucapan performatif yang tidak terkait dengan benar dan salah, tidak terkait dengan epistemologi dan logika. Bila puisi-puisi lirik menjadi ucapan performatif, maka puisi-puisi lirik itu tak akan bisa dinilai dengan kriteria estetika tertentu, tidak bisa dinilai indah atau tidak indah. Estetika, sama seperti etika, sama-sama merupakan bagian dari filsafat aksiologi (filsafat dari tindakan manusia dalam menghasilkan nilai atau filsafat tentang nilai), tidak bisa dilepaskan dari logika dan epistemologi. Setiap kriteria estetika dari ars poetica atau konsepsi seni puisi tertentu pasti dibangun dari logika dan epistemologi tertentu pula.
Ketika sebuah puisi, atau karya seni lainnya, semata diacukan kepada penyairnya, maka puisi itu akan menjadi ucapan performatif. Dengan demikian, puisi tidak lagi menjadi sebuah karya seni, tetapi sebuah tindak berbahasa yang terlepas dari kriteria apa pun kecuali kriteria kompetensi (layak atau tidak layak) dari kehidupan personal penyairnya. Puisi menjadi soal kepercayaan Anda kepada penyairnya, dan sama sekali tak ada hubungannya dengan nilai estetika apa pun di dalam teks puisi. Puisi akan masuk ke dalam wilayah kesantunan borjuasi, bukan wilayah seni. Lalu, akhirnya, puisi akan menjadi ekuivalen dengan iklan obat kuat.
—————————————————————-
Esai @ Ahmad Yulden Erwin, 2014 – 2016
—————————————————————-