*
Sekarang banyak penulis puisi yang menulis puisi dengan kalimat yang acak-acakan. Mereka melakukan berbagai teknik pemadatan kata dan penghilangan fungsi klausa dengan tidak tepat. Sehingga sintaksis puitik yang dihasilkan malah terlihat ngawur. Hal itu tampaknya karena mereka belum menguasai ilmu sintaksis dengan benar.
Dan, yang sungguh menyedihkan, ternyata banyak penyair Indonesia saat ini–atau yang mengklaim dirinya penyair–tidak mampu menyusun kalimat sederhana (SP, SPO, SPK, SPOK) dengan benar di dalam sintaksis puitiknya. Itu sudah gejala umum rupanya. Tanpa memahami pelajaran dasar itu, mereka mencoba bermain kalimat luas (dulu disebut kalimat majemuk), melakukan penghilangan kata dan penghilangan awalan atau akhiran pada kata secara sembarangan–sementara mereka sendiri tidak tahu bahwa kebutuhan akan teknik ini berdasarkan gita-puitik–yang akhirnya malah membuat kalimat menjadi “ruwet” (bukan kompleks) dan mengacaukan makna kalimat itu sendiri.
Dan, lucunya, gejala ini dilazimkan dengan dalih “kebebasan puisi” (licentia poetica). Mereka tidak tahu bahwa “licentia poetica” bukan “kengawuran berdasarkan ketidaktahuan”, melainkan “inovasi berdasarkan pengetahuan”.
Ketika saya bilang belajar menulislah kalimat dengan benar dari dasar, itu bukan berarti saya mau merendahkan atau menghina Anda, tetapi karena faktanya Anda memang tidak bisa menulis kalimat (yang sederhana sekalipun) dengan benar dan, oleh karenanya, saya memberikan saran bagaimana mesti memperbaikinya.
Belajar, pada halikatnya, membutuhkan kesadaran “rendah hati” yang sangat besar (egoless). Karena itu tidak semua orang siap belajar dengan benar dan tuntas, tetapi selalu bisa belajar dengan ngawur dan tidak tuntas.
*
Sintaksis, ilmu tata kalimat, memiliki unsur-unsur, yaitu: kata, frase (gabungan kata), klausa (satuan kalimat yang mesti memiliki predikat), kalimat, dan wacana. Baik sintaksis prosa maupun sintaksis puisi pastilah memiliki kelima unsur itu.
Struktur dasar dari satu klausa atau kalimat secara umum mininal terdiri dari S (Subyek) + P (Predikat), dan atau yang lengkap adalah S (Subyek) + P (Predikat) + O (Obyek) dan atau K (Keterangan).
Kalau Anda sudah memahami benar soal struktur dasar klausa atau kalimat ini, barulah Anda bisa beranjak menyusun kalimat luas (majemuk) dengan berbagai variasinya.
Setelah itu, barulah Anda bisa menggunakan berbagai jenis inversi (pembalikan) dari berbagai fungsi kalimat atau klausa (S, P, O atau K) dengan tepat.
Selanjutnya, dalam tahap terakhir, barulah Anda bisa melakukan teknik pemadatan atau pelesapan kata dan atau fungsi kalimat/klausa.
Ada satu penulis puisi yang menulis kalimat (larik) begini: “Lututku gemetar bimbang malam berkabut.” Maksudnya apa kalimat itu? Hahaha. Coba dibedah strukturnya, mana S, mana P, mana O atau K dalam kalimat aneh itu? Berikut ini, contoh kalimat-kalimat ngawur lainnya, yang justru dianggap puitis:
“Bergulung ombak putaran nasib siapa tahu.”
Atau,
“Jalan bergerak dalam mataku tak melihat.”
Atau,
“Hidup adalah nasib hancur lebur terasa.”
Atau,
“Kau memburu rindu jalan-jalan malam panjang.”
Itu contoh-contoh kalimat ngawur yang dianggap puitis oleh sebab penulisnya tidak mampu membuat kalimat dengan benar.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>
Terimakasih kepada penulis dan kabarkampus
Pada tulisan ini, kita akan menemukan kembali apa itu kerendahan hati, belajar dari dasar, belajar dari akar. Sebelum terlalu jauh dan terjebak fatamorgana, ada baiknya kita memahami ulang apa yang kita tulis.