Virtuous Setyaka[2]
Pendahuluan
Indonesia pada paruh pertama tahun 2022 yang belum sepenuhnya terlewati telah menjadi arena di mana tragedi ekonomi (seharusnya) mendorong perubahan politik dalam transformasi sosial sebagai suatu keniscayaan sejarah. Tragedi ekonomi yang paling mudah dilihat dan diketahui banyak orang diantaranya adalah antrian minyak goreng dan kenaikan harga bahan bakar minyak termasuk ironi persusuan nasional, dan masih banyak lagi. Secara umum, tidak ada sesungguhnya yang menggembirakan dalam perekonomian di Indonesia bagi rakyat kebanyakan kecuali para elit ekonomi dan elit politik yang semakin susah untuk dibedakan sebagai aktor-aktor yang terpisah. Mereka, para elit ekonomi-politik itu bukan lagi sedang berkolaborasi (sebagai aktor-aktor yang berbeda) sebagaimana yang selama ini dipahami, namun lebih dari itu, mereka telah terkonsolidasi menjadi satu kesatuan (sebagai aktor-aktor yang sama) dalam menguasai sumber daya ekonomi dan sumber daya politik di Indonesia. Semakin jelasnya kontradiksi dan kelas sosial akibat tragedi ekonomi yang terjadi di Indonesia saat ini, apakah akan mendorong perubahan politik dalam transformasi sosial yang lebih luas dan menyeluruh? Jika itu terjadi, bagaimana mengkanalisasi transformasi sosial itu agar perubahan politik yang berarti terjadinya demokratisasi politik dan demokratisasi ekonomi juga berarti memperkuat masyarakat dengan pemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan sumber daya produksi dan distribusi sehingga mampu mengkonsumsi apapun yang dibutuhkan -bukan sekedar mengakses dari apa yang disebut ‘pasar’- dengan lebih baik dan benar?
Analisis Geostrategis-Praksis
Analisis geostrategis-praksis artinya menganalisis situasi dan kondisi atau fenomena secara kritis dengan sebuah kerangka kerja yang mempertimbangkan aspek geografis, aspek historis, aspek strategis, dan aspek lainnya yang relevan dengan tidak hanya mengoperasionalisasikan konsep-konsep dan teori-teori yang sudah ada untuk menjadi kajian sebagai pengetahuan dan pemahaman dalam berwacana belaka, namun lebih dari itu juga harus dipraktikkan menjadi pengalaman keseharian, serta direfleksikan kemudian untuk melakukan transformasi sosial. Ketiga aspek tersebut diletakkan dalam bingkai analisis struktural secara dialektik dengan mengakomodasi kondisi-kondisi material yang ada dan idealisme yang dimunculkan sebagai serangkaian peristiwa menyejarah. Idealisme muncul karena adanya intersubjektifitas antar aktor dalam struktur. Aspek geografis dipahami sebagai ruang di mana setiap peristiwa atau fenomena yang terjadi mengambil tempat, sekaligus waktu yang dalam jangka panjang disebut sebagai aspek historis. Dalam kebutuhan praksis, maka analisis harus berdimensi ke masa depan sehingga mengambil aspek strategis dalam analisis kritis yang dilakukan. Kebutuhan praksis menjadi penting karena analisis geostragis tidak boleh terjerembab dalam analisis kritis yang reflektif belaka dan normatif semata, namun juga harus menjadi kerangka aksi transformatif untuk mengatasi permasalahan (problem solving) yang terjadi pada masa kini sebagai warisan masa lalu, dan harus diubah menjadi lebih baik dan benar di masa depan secara berkelanjutan.
Dalam analisis strategis, dinamika perkembangan masyarakat dilihat pada corak produksi, kuasa produksi, dan relasi kuasa produksi. Produksi dalam hal ini sesungguhnya melampaui batasan produksi dalam sektor ekonomi, karena produksi juga harus dilihat dalam sektor lainnya seperti politik dan budaya untuk melihat kekuatan sosial secara utuh. Di dalam corak produksi, bahas tentang fenomena produksi, kekuatan berproduksi, dan relasi dalam produksi. Fenomena produksi membahas tentang bagaimana proses produksi dilakukan, kekuatan produksi (yang dibedakan dari kekuasaan produksi) lebih fokus membahas tentang kemampuan mengakses sumber daya-sumber daya dan memiliki teknis-teknis berproduksi; sedangkan relasi dalam produksi membahas tentang hubungan antar aktor dalam proses, akses sumber daya, dan teknis-teknis berproduksi. Kekuasaan dalam berproduksi melampaui kekuatan dalam berproduksi karena tidak hanya membahas tentang sumber daya-sumber daya dan teknis-teknis berproduksi, namun melibatkan kekuasaan (politik dan budaya) dalam perekonomian. Relasi kekuasaan dalam berproduksi, baik secara ekonomi, politik, dan budaya pada akhirnya akan menggambarkan adanya pihak yang lebih berkuasa dibandingkan dengan pihak yang kurang dan/atau tidak berkuasa. Di dalamnya konsep-konsep dominasi dan hegemoni dioperasionalisasikan untuk menjelaskan tatanan dunia yang ada. Kekuatan sosial dari produksi secara ekonomi, politik, dan budaya yang mempengaruhi corak, kuasa, dan relasi kuasa dalam produksi dengan adanya kapabilitas material, ide-ide, dan institusi, akan digambarkan sebagai faktor-faktor dalam membentuk kekuatan masyarakat sipil yang diorganisir. Organisasi masyarakat sipil inilah yang berperan dalam pertarungan politik pada ruang yang disebut sebagai masyarakat sipil, dan mereka yang memenangkan pertarungan politik tersebut akan menguasai dan menentukan formasi negara di tingkat nasional atau domestik. Kekuatan sosial dari produksi dan formasi negara adalah elemen-elemen kunci yang mempengaruhi tatanan dunia secara global dari tingkat lokal, nasional, dan internasional. Pertarungan politik dalam masyarakat sipil secara umum dalam berbagai tingkatan akan dapat dilihat terjadi secara damai maupun dengan cara perang. Dalam cara pandang seperti inilah maka organisasi sosial yang sesungguhnya bermain dalam tatanan dunia secara global tidak bisa dilihat lagi sebagai dan hanya negara, namun kekuatan sosial dari produksi yang terorganisir atau organisasi masyarakat sipil, kalau tidak mau menyebutnya sebaga kelas sosial. Pertanyaannya kemudian, bagaimana sesungguhnya kekuatan sosial dari produksi, organisasi masyarakat sipil, atau kelas sosial tersebut diinstitusionalisasikan selain kemampuannya dalam mengolah kapabilitas material dan menggali ide-ide yang didalamnya juga ada nilai, norma, dan ideologi?
Indonesia dalam Tatanan Dunia yang Kapitalistik
Indonesia secara geografis-politis berada pada wilayah dunia yang berada di dalam kawasan atau regional Asia Tenggara. Secara historis adalah sebuah negara baru yang lahir dari dinamika konfliktual berabad lamanya dari sejak peradaban kerajaan-kerajaan di Nusantara sampai dengan kolonialisasi dan Perang Dunia II dengan cara memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Pengalaman-pengalaman tersebut memberikan kesadaran tentang arti pentingnya kemerdekaan secara politik dan kemudian kemandirian secara ekonomi serta mengembangkan kebudayaan damai dan gotong royong dengan mengedepankan kerja sama dalam tatanan dunia. Sepanjang tahun-tahun sejak proklamasi kemerdekaan dari 1945 sampai menjelang peringatan kemerdekaan ke-77 pada tahun 2022 ini, refleksi atas kemandirian dalam bingkai perdamaian, gotong royong, dan kerja sama tersebut masih sangat relevan untuk dilakukan. Apakah sudah terjadi dan terlaksana sesuai harapan dalam kenyataan berbangsa dan bernegara pada tatanan dunia hari ini? Jika jawabannya adalah belum, maka kemerdekan yang sesungguhnya dan kemandirian yang sejati masih harus diperjuangkan secara kolektif.
Indonesia tidak lahir dari ruang hampa, namun dari pertarungan ekonomi, politik, dan budaya dalam dinamika sosial secara global pada tatanan dunia yang ada. Sejak dari era kolonialisme ke neokolonialisme, dan dari era imperialisme ke neoimperialisme yang juga merefleksikan perkembangan dari filosofi, ideologi, dan praktik ekonomi, politik, dan budaya dari liberalisme klasik sampai neoliberalisme yang disebut kapitalisme. Disebut sebagai kapitalisme karena kapital/modal justru dianggap sebagai penentu yang paling mempengaruhi kehidupan masyarakat, bukan dilihat sebagai pembantu agar kehidupan masyarakat berkembang lebih baik. Celakanya lagi, justru kehidupan masyarakat keseharian dijadikan sebagai ruang di mana akumulasi kapital/penumpukan modal dilakukan dari waktu ke waktu/zaman ke zaman. Sehingga, kapitalisme akhirnya mengubah masyarakat sipil sebagai ruang hidup kolektif hanya menjadi sirkuit kapital, di mana orang-orang dianggap tidak lebih penting dibandingkan dengan kapital/modal. Hal tersebut dibuktikan ketika seseorang yang akhirnya disebut sebagai kapitalis (karena mampu mengakumulasi kapital), akan menempatkan orang-orang lainnya sebagai aset produksi (sebagai buruh/tenaga kerja) dan aset pasar (sebagai konsumen yang menyerap produk). Posisi sebagai buruh dan konsumen tersebut dalam kapitalisme yang operasional produksi dan distribusinya dikelola dalam organisasi yang disebut korporasi, tidak akan pernah mendapatkan keuntungan atau profit sama sekali meskipun mungkin mendapatkan kemanfaatan atau benefit dari produk yang dihasilkan kapitalis berupa barang dan jasa.
Dalam corak, kuasa, dan relasi kuasa produksi kapitalistik, akhirnya disadari bahwa negara tidak berarti apa-apa selain hanya sebagai instrumen yang digunakan untuk membantu proses akumulasi kapital dengan melegitimasi operasionalnya melalui regulasi dan kebijakan, bahkan melalui edukasi atau pendidikan dalam membangun paradigma untuk membenarkan praktik-praktik tersebut. Lebih parahnya lagi, semua sumber daya yang dimiliki dan dikuasai atas nama negara juga dikerahkan untuk mendukung kapitalisme sejak beroperasi melalui kolonialisasi maupun imperialisasi. Apakah Indonesia (sebagai aktor negara) hari ini hanya semata-mata korban dari neokolonialisasi/neoimperialisasi sebagai praktik kapitalisme-neoliberal? Bukan, Indonesia (sebagai arena nasional) justru menjadi ruang di mana praktik-praktik itu dilakukan, oleh para kapitalis lokal, nasional, dan transnasional. Akhirnya, Warga Negara Indonesia (WNI) dalam hal ini orang-orang kebanyakan atau rakyat hanya menjadi buruh dan konsumen dan Indonesia dalam artian luas hanyalah pasar yang menyediakan buruh murah dan konsumen penyerap produk. Ketika pasar di Indonesia sebagai penyerap produk tidak cukup memuaskan hasrat akumulasi kapital, maka produk diekspor ke pasar internasional meskipun diproduksi di Indonesia. Begitupun sebaliknya, jika pasar Indonesia lebih menguntungkan ketimbang pasar internasional, maka produk-produk transnasional diimpor ke dalam. Hal tersebut bukan hanya dilakukan oleh orang-orang dari luar negeri/mancanegara atau Warga Negara Asing (WNA), namun para kapitalis pribumi, pendatang, atau mereka yang lahir dan hidup di Indonesia. Mereka beroperasi tidak hanya di luar pemerintahan, namun sebagain dari mereka justru menjadi bagian dari pemerintahan yang akhirnya tidak mudah lagi memisahkan antara penguasa politik dan penguasa kapital dalam penyelenggaran negara. Lalu bagaimana solusi menghadapi kenyataan seperti ini bagi sebagian besar rakyat Indonesia yang bukan sebagai penguasa kapital maupun sebagai penguasa politik di negeri ini?
Koperasi adalah Gerakan untuk Perubahan Sosial
Pada titik ini, seharusnya setiap dan semua orang mulai menyadari dan segera memahami bahwa berjuang secara individual/personal atau sendiri-sendiri tidak akan pernah berhasil alias sukses seperti yang diimpikan di dalam apa yang disebut berwirausaha. Kolektifitas dalam produksi, distribusi, dan konsumsi yang tidak hanya di dalam sektor ekonomi belaka juga tidak cukup semata-mata hanya dengan berkolaborasi yang disebut sebagai wirausaha sosial bahkan ekosistem usaha apalagi ekonomi berbagi tanpa konsolidasi menyeluruh secara politik dan budaya. Di situlah koperasi sebagai sebuah kekuatan sosial dari produksi harus dipahami dan diimplementasikan sebagai hasil dari penggalian ide-ide, pengolahan kapabilitas material, dan pengelolaan yang terinstitusionalisasi.
Sejarah koperasi di dunia sesungguhnya adalah buah dari penggalian ide-ide yang dalam pada pencarian dan kuat pada pendirian untuk melampaui sekaligus melawan dari realitas ide dan praktik dari kapitalisme yang berakar pada liberalisme, ternyata menghasilkan ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan sosial meskipun diselenggarakan melalui cara-cara demokratis namun meletakkan individualisme sebagai kunci, persaingan bebas sebagai mantra, dan menganggap masyarakat sebagai mitos. Praktik berkoperasi melalui pengolahan kapabilitas material sebagai bentuk usaha kongkrit produksi, distribusi, dan konsumsi secara ekonomi sesungguhnya juga mempengaruhi perkembangan budaya serta membutuhkan kekuatan politik dalam mewujudkan cita-cita ideal berkoperasi. Oleh sebab itu, koperasi adalah entitas sosial, budaya, ekonomi, dan politik sekaligus yang harus diinstitusionalisasikan dalam organisasi gerakan ketika dihadapkan pada realitas sosial yang secara umum dihegemoni bahkan didominasi oleh kapitalisme. Koperasi tidak bisa hanya menjadi subordinasi kapitalisme, atau alternatif sebagai pilihan lain dari kapitalisme, namun seharusnya menjadi lawan tanding yang sepadan untuk melawan kapitalisme. Sehingga koperasi bukan dan tidak hanya tentang usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang selama ini dikenali dan dipahami secara umum. Bahwa koperasi menyatukan para pelaku UMKM adalah sebuah keharusan, begitupun bahwa para pelaku UMKM harus memiliki kesadaran dan kewajiban untuk bersatu padu di dalam koperasi, hal tersebut dilakukan untuk mengembangkan usaha sekaligus membangun kekuatan bersama secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
Itulah mengapa secara teknis ekonomistik, koperasi harus menciptakan dan mengembangkan produktivitas para anggonya sekaligus menciptakan pasar dan meningkatkan pemasran produk para anggotanya. Artinya di dalam satu koperasi itu sendiri aktivitas ekonomi berupa produksi, distribusi, dan konsumsi terselenggara secara simultan karena kesejahteraan anggota secara ekonomi adalah resultan dari keseluruhan aktivitas ekonomi yang diselenggarakan sebuah koperasi. Tentu saja tidak boleh meninggalkan dan menanggalkan prinsip bahwa anggota adalah pemilik, pekerja, pengguna, dan penerima dari semua usaha koperasi yang menghasilkan benefit dan profit. Secara sosial, koperasi beroperasi untuk mengatasi persoalan anggota dalam konteks penyelamatan korban ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan sosial akibat struktur dan sistem yang kapitalistik. Berbagai bentuk aktivitas untuk mengatasi masalah dan penyelamatan sosial oleh koperasi bisa diselenggarakan dalam beragam cara, tergantung apa yang dibutuhkan dalam meyelenggarakan itu semua. Koperasi di ranah kebudayaan juga harus menyelenggarakan pendidikan bagi para anggotanya bukan hanya tentang manajemen koperasi, namun lebih dari itu juga pendidikan tentang ideologi berkoperasi sehingga para anggotanya memiliki kemampuan dan kemauan untuk memahami dan mengimplementasikan moral berkoperasi: kolektivitas, solidaritas, kekeluargaan, dan gotong royong. Berbagi bukanlah ketika proses produksi telah selesai apalagi hanya ketika mengkonsumsi produk yang dihasilkan, namun berbagi seharusnya dilakukan sejak awal ketika proses produksi mulai direncanakan sampai dengan diimplementasikan kemudian didistribusikan sampai dengan dikonsumsi sebagai keseluruhan rangkaian dari aktivitas ekonomi.
Secara politik, koperasi adalah arena sekaligus aktor dalam perubahan sosial baik secara internal maupun eksternal, terutama di tengah-tengah struktur dan sistem kapitalisme yang diselenggarakan oleh pemerintah negara di tingkat lokal dan nasional, termasuk oleh aktor-aktor di tingkat internasional lainnya. Struktur dan sistem kapitalisme yang hegemonik dan dominatif terbukti secara aktual dan historis menciptakan struktur dan sistem sosial yang timpang dan tidak adil dengan memunculkan kelas-kelas sosial di dalam masyarakat dan secara perekonomian dalam corak produksinya menimbulkan keberadaan mereka yang terintegrasi, mereka yang termarjinalisasi, dan mereka yang rentan kehidupannya. Koperasi yang dibangun menjadi pengorganisasian kekuatan sosial dari produksi secara ekonomi, budaya, dan politik dengan ide, kapabilitas material, dan institusi adalah sebuah praktik gerakan sosial di dalam masyarakat sipil sekaligus aktor dalam perseteruan politik melawan para politisi-kapitalis atau kapitalis-politis yang seringkali disebut sebagai oligarki.
Di dalam sejarah dinamika dan perkembangan berbangsa dan bernegara di Indonesia, masyarakat secara umum dan rakyat secara menyeluruh telah belajar dari pengalaman dan pengetahuan bahwa perubahan (struktur dan sistem) politik tanpa perubahan (struktur dan sistem) ekonomi menjadi perubahan (struktur dan sistem) sosial yang cacat. Demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi secara global adalah tragedi masyarakat dunia Abad ke-19 yang kemudian diperjuangkan perwujudannya sampai di Abad ke-20, namun ternyata hal itu juga tidak cukup tanpa disertai dengan budaya partisipatoris dan emansipatoris yang gejala tuntutan ke arah sana terjadi semakin nyata pada Abad ke-21. Perjuangan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan masyarakat secara global dalam tatanan dunia memang tidak singkat. Gerakan sosial khususnya koperasi yang diselenggarakan dari analisis struktur historis yang dialektik, dipraktikkan dengan teori-teori kritis dan progresif, dilakukan secara sadar dalam pengorganisasian dan kepemimpinan yang solid, adalah ikhtiar untuk melawan dan menaklukkan kapitalisme dengan lebih cepat atau revolusionis. Meskipun semua yang ada di dunia ini adalah seperti menu kehidupan yang bisa dipilih: (1) tidak peduli dengan apa yang terjadi karena toh setiap manusia akan mati dan peradaban sosial akan berganti, (2) peduli tapi lebih asyik berteori dan berwacana meskipun berusaha membongkar kesadaran semua orang untuk melawan namun tidak siap (tidak mau dan tidak mampu) diorganisir dan dipimpin, (3) kepedulian diwujudkan dengan membangun koperasi sebagai gerakan sosial yang dibentuk tidak hanya sebagai subordinasi dan alternatif pilihan lain dari korporasi yang kapitalistik, namun memajukan koperasi sebagai lawan tanding kapitalisme…dan pilihan lainnya yang mungkin mampu diimajinasikan oleh manusia untuk membuat akhir dari penindasan dan penghisapan oleh manusia terhadap manusia lainnya bukanlah uthopia…
Selamat merayakan Ramadhan, puasa terberat adalah menahan keserakahan dan kemunafikan dalam segala bentuk dan ekspresinya, ibadah terbaik mungkin mencegah itu semua terus berlanjut dengan cara-cara yang demokratis maupun revolusioner!
Padang, 10 April 2022.
Lampiran
Analisis Geostrategis-Praksis
[1]Disampaikan dalam Majelis Kritis GSC dan RMOL.ID pada Senin, 11 April 2022, 15.30-selesai.
[2]Dosen HI FISIP Universitas Andalas; Mahasiswa S3 HI FISIP Universitas Padjadjaran, Ketua Koperasi Mandiri Dan Merdeka (KMDM); Anggota Koperasi Pekerja Gotong Royong; Mentor Geostrategy Study Club (GSC). Email: vsetyaka@gmail.com; No. HP/WA 081268124099.
Sangat menarik artikelnya, semoga pemerintah kita lebih pro terhadap koperasi dan UMKM sebagai penopang perekonomian nasional.