More

    Fenomena Merantau dan Hilangnya Pemuda

    Oleh: Andrezal*

    Kelompok seni Ambun Malam, salah satu peserta pentas seni Tabek Panjang Art Show (Foto: dokumentasi mahasiswa KKN Unand)

    Karatang madang di hulu, babuah babungo balun. Karantau bujang dahulu, di rumah paguno balun (ke rantau anak laki-laki dahulu, di rumah belum berguna).

    Falsafah di atas melatari banyak anak muda Minang merantau. Kebiasaan merantau ini, seperti panggilan jiwa, setiap tahun selalu ada anak muda yang merantau. Puncaknya setelah lebaran, mereka akan ikut rombongan perantau yang balik ke perantauan.

    Dahulu orang merantau untuk memperbaiki kehidupan. Selain daerah luhak nan tigo atau wilayah darek terdapat kawasan yang bernama daerah rantau dan pasisia (pesisir). Kemudian setelah transportasi semakin maju, daerah yang menjadi tujuan perantau juga semakin jauh. Umumnya mereka akan pergi ke kota-kota besar di pulau Jawa. 

    - Advertisement -

    Perkembangan budaya merantau juga dipengaruhi oleh pendidikan formal, faktor ini menimbulkan tradisi budaya merantau yang baru. Para pemuda dari Sumatera Barat mulai melanjutkan pendidikan ke Jawa bahkan ke Belanda. Diantaranya seperti Tan Malaka, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, Mohammad Natsir dan Sutan Syahrir serta banyak lagi. 

    Perkembangan pendidikan terus berlanjut, jika dahulu hanya bujang (pemuda) yang merantau sekarang karena alasan pendidikan gadih (pemudi) juga bisa. Maka ada dua alasan besar anak muda Minang merantau, pertama sebagai upaya mengubah nasib dan mencari pengalaman, kedua melanjutkan pendidikan untuk membuka peluang dalam mengembangkan diri.

    Perubahan budaya merantau ini kian terasa saat saya mencoba memperhatikan masyarakat dalam kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Nagari Tabek Panjang. Nagari inimemiliki empat Jorong yang terdiri dari Jorong Baso, Jorong Tabek Panjang, Jorong Sungai Cubadak dan Jorong Sungai Janiah. Sebuah nagari yang memiliki wilayah administratif luas yaitu 19.19 Kmdengan jumlah penduduk 9.966 jiwa.

    Terdapat perbedaan mencolok antara Jorong Baso dan Jorong Sungai Janiah. Jorong Baso memiliki jumlah penduduk terbanyak yaitu 3.445 jiwa karena berada di daerah yang strategis, yaitu di pertemuan jalan utama Bukittinggi, Payakumbuah dan Batu Sangka. Memiliki pasar dan dekat dengan fasilitas umum seperti Puskemas, Bank dan Koperasi serta Kantor Wali Nagari. Penduduk di Jorong ini telah menjadi masyarakat heterogen.

    Sedangkan Jorong Sungai Janiah menjadi Jorong dengan jumlah penduduk paling sedikit yaitu 1.082 jiwa. Berada jauh dari jalan utama, jauh dari fasilitas umum tetapi memiliki potensi wilayah berupa objek wisata yang cukup terkenal yaitu Wisata Ikan Sakti dan Bukik Batanjua serta menjadi wilayah yang menyediakan padi untuk Nagari Tabek Panjang karena pengairan di Sungai Janiah terbilang memadai dan cocok untuk pesawahan. Penduduk di Sungai Janiah masih bersifat homogen, oleh karena itu budaya di Sungai Janiah masih sangat kental. 

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    1 COMMENT

    1. Artikel ini harus dilanjutkan dengan pembahasan bahayanya kampung-kampung yang kehilangan pemuda pemudinya…karena kemungkinan, selanjutnya memang kampung-kampung itu yang akan hilang…yang lebih menyedihkan bukan secara alamiah, namun akibat invasi kapital…

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here