Strategi Indo-Pasifik
FOIP & AOIP
Isitilah indo-pacific untuk pertama kali disampaikan oleh mendiang Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada tahun 2007, sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan adanya perubahan situasi strategis mencakup aspek geopolitik, geostrategi dan geoekonomi pada Kawasan asia dan pasifik.Konsep yang kemudian digunakan oleh Amerika Serikat untuk menggambarkan perhatian politik luar negerinya terhadap perkembangan situasi geopolitik Kawasan yang mulai banyak dipengaruhi oleh China. Bagi Amerika Serikat, Kawasan ini memiliki nilai sejarah yang dekat, terkait dengan kontribusi yang diberikan olehnya untuk terus memastikan adanya kemerdekaan dan keterbukaan serta kesempatan yang sama di Kawasan indo-pasifik dalam penciptaan kesejahteraan melalui perdagangan dan kemerdekaan bernavigasi (The Department Of Defense, 2019). Berdasarkan hal ini, Amerika Serikat melalui Presiden terpilih, Donald Trump, pada Persidangan APEC di Vietnam tahun 2017, bahwa visi bangsa Amerika Serikat mengenai Kawasan Indo-Pasifik yang bebas (merdeka) dan terbuka (Free and Open Indo-Pacific / FOIP) sekaligus menyatakan komitmennya mengenai kemerdekaan, keamanan dan kesejahterakan dalam keterhubungan di dalam kawasan indo-pasifik tanpa membedakan ukuran negara. Melalui visi tersebut Amerika Serikat melihat bahwa setiap negara memiliki kemerdekaan dalam melaksanakan hak berdaulatnya tanpa adanya paksaan dari negara dan bangsa manapun. Oleh karenanya diperlukan sebuah bentuk promosi pertumbuhan hubungan yang berkelanjutan di mana setiap negara dapat menikmati akses perairan internasional melalui cara-cara damai.
Dalam strategi terebut Amerika Serikat memandang Republik Rakyat China sebagai sebuah kekuatan revisionis (revisionist power) dan ancaman terhadap keamanan internasional dikarenakan Tindakan yang dilakukan China pada level nasional dan internasional, seperti perlakukan yang tidak seimbang terhadap etnis Uighur, Kazakh dan muslim di Xinjiang, serta adanya Tindakan kejahatan siber tersistematis dalam “pencurian” hak kekayaan intelektual yang dilakukkan oleh warga China dan Kementerian terkait. Klaim China terhadap Laut China Selatan, membawa kekhawatiran terhadap keselamatan bernavigasi serta keamanan interasional. melalui laporan yang disampaikan dalam sebuah buku dari Departeman Pertahanan Amerika Serikat, dinyatakan bahwa China telah melakukan Tindakan militerisasi terhadap Laut China selatan dengan penempatan persenjataan anti kapal, misil darat ke udara jarak jauh serta pasukan para-militer di kepulauan Spratly yang dipersengketakan (The Department Of Defense, 2019). Dalam perkembangannya China meningkatkan patrolinya menggunakan pesawat pembom, pesawat tempur dan pesawat pengintai terhadap Taiwan.
Menghadapi situasi yang tidak menguntungkan di kawasan, melalui strategi indo-pacifik Amerika Serikat menyatakan bahwa beberapa fokus kepentingan nasionalnya dalam menciptakan keamanan adalah melalui peningkatan kekuatan (Preserve Peace Through Strength) dan peningkatan pengaruh Amerika (Advance American Influence). Melalui peningkatan kekuatan kerangka keamanan dan pengaruh, Amerika Serikat melakukan suatu bentuk kekuatan gabungan serta perluasan kerjasama kemitraan melalui kerjasama keamanan, pertukaran informasi serta Latihan militer Bersama melalui suatu kemitraan dialog dalam bentuk Quadrilateral Group dan kerjasama pengembangan kemampuan nuklir melalui AUKUS (Australia, United Kingdom dan United States of America) (The White House, 2022). Beberapa inisiasi baik dalam bentuk kerjasama militer dan pertahanan dan ekonomi dijalankan oleh Amerika Serikat antara lain, berinvestasi dalam peningkatan sistem pertahanan rudal yang dapat operasikan oleh Jepang dan Australia sebagai negara sekutu sekut, selain itu juga melakukan peningkatan kapabilitas militer India sebagai negara sekutu.
Dalam menjalankan strategi indo-pasific, Amerika Serikat memandang perlu untuk merangkul negara-negara asia, terutama Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Viet Nam dan Filipina. Namun arus utama kemitraan Amerika Serikat terhadap Asia Tenggara adalah ASEAN. Amerika Serikat mendukung kehadiran ASEAN sebagai institusi regional yang sentral kuat, dan mampu memimpin akan hadirnya sebuah solusi berkelanjutan dalam menghadapi tantangan (The White House, 2022).
Melalui Indonesia, negara-negara asia tenggara pada Juni 2019 menyepakati pentingnya prinsip sentralitas, inklusifitas dan komplementaritas ASEAN pada kawasan indo-pasifik dalam pertemuan kepala negara ASEAN ke-34. Pada pertemuan di Bangkok, Thailand, tersebut negara- negara ASEAN mengadopsi pandangan ASEAN Outlook on Indo-Pasifik (AOIP), di mana prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya berupa pentingnya kerjasama secara inklisf dan konsultasi, dalam kerangka menciptakan kesejahteraan di bidang kemaritiman, ekonomi, budaya dan pembangunan berkelanjutan (Sulaeman, 2020). Melalui pandangan ini ASEAN memiliki ruang gerak dalam mempengaruhi diskursus dan pembangunan pada kawasan indo-pasifik (Ashari, 2019). Dengan demikian ASEAN menghindari pemaknaan strategi indo-pacific yang di sampaikan oleh Amerika Serikat sebagai sebuah kawasan Bebas-Terbuka, dalam hal ini ASEAN memandang pentingnya penekanan pada kerjasama, pencapaian perdamaian serta peingkatan kesejahteraan negara-negara di dalam kawasan indo-pasifik. Selain itu pandangan AOIP bertolak belakang dari strategi Indo-Pacific yang dicanangkan oleh pemerintah Amerika Serikat melalui pendekatan preparedness, partnership and promoting a network region yang menitikberatkan kepada pendekatan militeristik (Hendrajit, 2018).
Bagi
Kelompok Dialog Keamanan Quad
Quadrilateral Security Dialogue merupakan pertemuan yang rutin digelar oleh Amerika Serikat, Jepang, Australia dan India dalam mengantisipasi perluasan pengaruh China di kawasan indo- pasifik (Radhiansyah, 2021). Kelompok ini awalnya merupakan badan ad hoc dalam rangka penanganan bencana Tsunami di Indonesian tahun 2004, yang kemudian melakukan pertemuan sampingan pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Filipina tahun 2007 dan mendapatkan sikap ketidak setujuan China atas pertemuan tersebut serta berakhir dengan mundurnya Australia dari kelompok (Hines, 2020). Atas permintaan mendiang Perdana MenteriJepang Shinzo Abe untuk mengaktifkan kembali kelompok ini, sejak 2012 secara aktif kelompok ini tidak hanya menggelar dialog dengan tujuan mewujudkan terciptanya kawasan Indo-Pasifik yang terbuka dan bebas. Salah satu bentuk nyata kerjasama kelompok ini adalah latihan militer Angkatan Laut Bersama dengan nama “Malabar Exercise”, latihan yang diselenggarakan secara rutin setiap tahun melibatkan kapal-kapal perang, penggunaan teknologi militer dan koordinasi formasi perang.
Sejak era pemerintahan Biden di Amerika Serikat, telah membawa kelompok Quad kearah kerjasama yang lebih luas, pada tahun 2021 lalu kelompok ini membawa diskusi mengenai penanganan penyebaran pandemic virus corona dalam dialog yang dilakukan secara virtual, selain itu peningkatan kerjasama dalam bidang infrastruktur digital, isu-isu teknologi digital dan rantai pasok keamanan. Dalam pertemuan yang dilakukan tersebut masing-masing negara Quad menyatakan kembali dukungan terhadap terciptanya kawasan indo-pasifik yang bebas dan terbuka serta pentingnya tatanan dunia internasional berdasarkan aturan dan hukum internasional (Manning & Przystup, 2021). Secara geopolitik dan strategi, kerjasama dalam kelompok Quad adalah upaya untuk membendung pergerakan China baik pada wilayah yang bersinggungan dengan Samudera Hindia dan Pasifik. Kehadiran India diharapkan membawa efek getar terhadap pergerakan maritim China di samudera Hindia, India secara bertahap terus melakukan modernisasi persenjataan dan pengembangan strategi pertahanan maritimnya (Radhiansyah, 2021), sementara Jepang, Australia dan Amerika Serikat melaksanakan efek pembendungan yang menjadi kewenangannya masing-masing.
Australia, United Kingdom and United States of America (AUKUS)
Pada tahun 2021, dunia internasional menambahkan adanya Pakta Keamanan antara Australia, Inggris dan Amerika Serikat (AUKUS). Hal yang mengejutkan dari pakta keamanan ini bahwa adanya kerjasama pengembangan teknologi kapal selam bertenaga nuklir atas Angkatan Laut Australia. Bagi Australia, disampaikan oleh Menteri Pertahanan Australia, bahwa perjanjian tersebut dapat membawa kemampuan militer Australia dalam menjaga keamanan wilayah teritorialnya (Valencia, 2021). Kemunculan AUKUS tentu saja menambah dinamisasi situasi strategis di Laut China Selatan, kehadiran kapal selam Australia nantinya diharapkan akan menciptakan bentuk pencegahan legitimasi China dalam mengontrol Laut China Selatan seutuhnya. Kerjasama AUKUS telah menambahkan Australia sebagai negara ke tujuh selain Amerika Serikat, Rusia, Inggris, China, Perancis dan India pemilik teknologi nuklir untuk ditempatkan pada kapal selam, di mana menurut International Institute of Strategic Studies yang berbasis di London, menyatakan bahwa Amerika Serikat dengan jumlah kapal selam berteknologi nuklir terbanyak di dunia (Zhu, 2021).
Tabel 1. Jumlah Kapal Selam Bertenaga Nuklir
Negara | Nuclear Powered Balistic-Missile Submarines | Nuclear Powered Submarines with Guided Missile | Nuclear Powered Attack Submarines | Jumlah |
Amerika Serikat | 14 | 51 | 3 | 68 |
Rusia | 11 | 7 | 11 | 28 |
China | 6 | 6 | 12 | |
Inggris | 4 | 7 | 11 | |
Perancis | 4 | 4 | 8 | |
India | 1 | 1 |
Sumber: Zhu, Melissa, (2021),” Aukus Alliance: what is it, what does it have to do with China, and why is France Angry”, di olah dari South China Morning Post, 16 November 2022 (www.scmp.com).
Merujuk pada informasi tabel 1 dapat dilihat China sebagai negara ketiga terbanyak sebagai pemilik kapal selam bertenaga nuklir, namun dapat disampaikan bahwa terdapat ketidak seimbangan kekuatan bila dibandingkan dengan kekuatan gabungan Amerika Serikat dan Inggris dan Australia nantinya. China patut khawatir atas perkembangan pakta ini, walaupun implementasi dari operasionalisasi kapal selam milik Australia baru pada tahun 2040 nanti. Sementara bagi Australia, kepemilikan teknologi kapal selam bertenaga nuklir memberikan keuntungan atas manuver militernya di Laut China Selatan, yaitu sulit untuk dideteksi, memiliki efek kejut, serta lamanya waktu penyelaman, dengan teknologi tersebut Australia dapat menjalankan strategi keamanan indo-pasifik dalam memberikan efek deterrence terhadap perkembangan kekuatan maritim China di Laut China Selatan. Walaupun pakta AUKUS dianggap sebagai sebuah kemajuan dalam strategi Indo-pasifik, namun pakta kerjasama keamanan ini tidak lantas mendapat dukungan dari kawasan, Indonesia dan Malaysia misalnya memiliki kekhawatiran mengenai peningkatan eskalasi ketegangan yang dapat berubah menjadi konflik di kawasan asia tenggara, khusunya pada batas wilayah laut kedua negara yang berbatasan langsung dengan Australia dan laut china selatan (Valencia, 2021).
Bersambung ke halaman selanjutnya –>
Indo-Pasifik, suatu terminologi baru yang diciptakan oleh Amerika beserta negara aliansinya, untuk mengganti istilah kawasan Asia Pasific, yang kini menjadi salah satu kawasan ekonomi paling penting di dunia.
Tata Kelola Indo-Pasifik yang dimotori oleh Quad, yaitu ; Amerika, india, Jepang dan Australia berupaya untuk membangun kawasan ekonomi, politik dan keamanan Indo-Pasifik dengan caya mendapatkan dukungan dari negara-negara sekitar, termasuk di kawasan ASEAN.
Indo-Pasifik diharapkan dapat menghambat laju Belt Road Initiative (BRI) yang didorong oleh China, untuk kawasan Asia Pasific sampai Asia Selatan dan Timur Tengah.
Tampaknya inisiatif Indo-Pasifik yang berhadapan langsung dengan Belt Road Initiative akan menjadi perang dingin baru di kawasan Asia Pasifik, baik secara ekonomi, politik maupun keamanan.