Respon China Terhadap Strategi Indo-Pasifik
Sistem internasional yang anarki sebagai akibat tidak adanya aktor universal yang mengawasai sistem dan interaksi antar negara-bangsa menimbulkan adanya persaingan antar negara sebagai aktor rasional dalam pembuatan kebijakan luar negeri. Setiap negara melancarkan kebijakan luar negerinya sebagai bentuk pengejawantahan kepentingan nasional negara yang bermacam-macam, namun khususnya menyangkut persoalan survivalitas negara di lingkungan internasional (international milieu), dalam upaya-nya negara mencoba untuk tidak tergerus oleh kekuatan yang lebih besar dari dirinya. Oleh karenanya dalam pencapaian tersebut negara wajib untuk merasa aman melalui penciptaan kekuatannya yang dapat diukur oleh negara lain. Sebagai sebuah negara yang terus mengalami perkembangan pengaruh di bidang ekonomi yang ditunjukkan dengan pertumbuhan investasi asing langsung mencapai 1,8 trilyun dolar amerika serikat dan pengaruh politik internasional serta perkembangan militernya. China sepertinya siap menempati kedudukan barunya dalam piramida tinggi sistem internasional.
Menghadapi perkembangan China yang pesat dalam bidang Ekonomi dan Militer, serta pengaruhnya terhadap kawasan khususnya Asia dan Pasifk, konsep Indo-Pasific yang disampaikan oleh Amerika Serikat dalam menyatukan negara-negara di kawasan merupakan sebuah strategi yang mencoba untuk membendung meluasnya pengaruh China melalui kebijakan luar negeri Belt and Road Initiative. Melalui strategi Indo-Pacific tersebut, tercipta sebuah jalinan kerjasama yang mengarah kepada pemusatan kegiatan militerisme, hal ini seirama dengan pendapat di kalangan akademisi China yang menyatakan bahwa konep Indo-pasifik merupakan warisan dari administrasi Presiden Barack Obama terkait ‘rebalancing strategy’ yang dikembangkan untuk membuat suatu bentuk keterhubungan antara kawasan Pasifik dan Samudera Hindia, yang bertujuan untuk menjaga kepentingan kawasan Amerika Serika tatas kawasan serta mencegah kebangkitan dan membendung kekuatan China (Chen, 2018).
Washington mencoba untuk membuat situasi seimbang di kawasan asia, setelah sekian lama memfokuskan kebijakan luar negerinya di Timur Tengah, walaupun tetap memperhatikan pergerakan Asia Tenggara, namun dalam porsi yang terbatas. Strategi Indo-pasifik menjadi strategi penyeimbang kekuatan (balancing of power) yang mungkin agak berat sebelah sebab di dalam strategi ini justru negara-negara great power seperti Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Australia serta India (walaupun India tergolong negara berkembang) mencoba untuk menyaingi pengaruh tunggal China. Berkembangnya strategi indo-pasifik menggambarkan adanya agresivitas atas keingingan untuk menciptakan situasi superior bagi kepentingan Washington dan negara-negara sekutunya di Tokyo, Canberra dan New Delhi serta London. Sebagai sebuah konsep strategi penangkalan (deterrence), konsep strategi indo-pasifik merupakan bentuk penangkalan yang bersifat meluas dan umum, yang berarti konsep ini dapat terus berkembang sesuai dengan tujuan pencapaiannya, hal ini terbukti dengan munculnya Quad dan pakta keamanan AUKUS.
Namun demikian walaupun konsep Indo-Pacific meliputi termin seluruh negara di kawasan ini, namun Pemerintahan China di Beijing tampaknya tidak tertarik untuk mengadopsi nama yang sama. Hal ini didasarkan rasa kecurigaan Beijing terhadap penamaan kawasan tersebut berdasarkan perspektif kerjasama yang dijalankan oleh Amerika Serikat. Justru di bawah pemerintahan Xi Jin Ping, China cukup aktif menjalankan kebijakan luar negerinya antara lain klaim terhadap Laut China Selatan yang ditunjukkan dengan kehadiran militer China yang menerapkan kebijakan pertahanan Anti-Access/Area-Denial (A2/AD) terhadap agresi negara lain (Sulaeman, 2020).
Dalam pertemuan Shangrila Dialogue tahun 2018, delegasi Pemerintah China Yan Yanyi menyatakan,
Melalui pesan Yanyi tersebut, China hendak menyatakan bahwa bentuk kerjasama yang terjadi harus dibangun berdasarkan suatu bentuk saling percaya dan penghormatan atas kedaulatan masing-masing negara. Konsep FOIP dalam Strategi Indo-Pasifik selain sebagai sebuah bentuk upaya untuk mengecualikan serta mengucilkan China dari pergaulan regional dan mengarah kepada suatu Tindakan konfrontasi yang menguji batas-batas kesabaran China. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin dalam sebuah konferensi pers menanggapi strategi indo-pasifik melalui division of power yang menyudutkan China sebagai ‘ancaman” sebagai sebuah niat jahat yang dilakukan oleh orang-orang jahat (bad intetions and with bad people), strategi ini juga dianggap sebagai sebuah mental politik ‘perang dingin’ (China News, 2022). Apa yang disampaikan oleh Yanyi dan Wenbin selaras dengan pernyataan Wakil Menteri Luar Negeri China Ma Zhaouxu, bahwa ancaman terhadap tatanan dunia adalah terulangnya sejarah Perang Dingin dengan mentalitas blok atas nama ideologi, hal tersebut hanya akan membuat dunia terbagi-bagi (Siong, 2022). Ma memberikan contoh kunjungan Ketua DPR Amerika Serikat yang mengunjungi Taiwan, sebuah wilayah yang dianggap merupakan bagian tidak terpisahkan dari kedaulatan China. Bagi China, kunjungan tersebut memicu provokasi dan merusak upaya unifikasi yang dijalankan oleh China.
China bahkan mengindentifikasikan kebijakan Amerika serikat melalui sebagai sebuah fantasi yang mentargetkan China semata melalui pemikiran “China Threat Theory”. China sendiri memandang Amerika Serikat tidak lebih sebagai negara pencari masalah daripada sebagai pelindung (Rashid, 2022). Hal ini merujuk bahwa strategi Indo-pasifik hanyalah sebuah strategi pembuat onar yang memecah tatanan dunia yang damai yang tidak sesuai dengan tujuan politik luar negeri China untuk menajaga perdamaian dunia dan pengembangan tujuan pembangunan internasional Bersama.
Menurut Lin Minwang bahwa strategi indo-pasifik merupakan suatu konsep yang dibangun melalui tahapan-tahapan berkelanjutan dan membentuk “pembagian kerja” sebagai sebuah strategi memecah konsentrasi tujuan politik luar negeri China, salah satunya yang telah terbentuk adalah Quadrilateral Security Dialogue (Chen, 2018) dan AUKUS.
Valencia (Asia Times: opinion, 2021) dalam artikelnya menyebutkan bahwa Laut China Selatan bagi China merupakan “natural shiled for its national security”, pendapat ini dapat saja menjadi sebuah alasan mengapa China begitu keras kepala mempertahankan kedudukan LCS sebagai wilayah kedaulatannya. China membutuhkan wilayah penyangga untuk merasa aman dari kemungkinan adanya interupsi negara lain. Namun saat Amerika Serikat, Inggris dan Australia mengumumkan terbentuknya AUKUS, China meresponnya sebagai hal serius yang merusak stabilitas perdamaian dan mendorong munculnya perlombaan persenjataan di kawasan asia. Bagi China, AUKUS merupakan potensi ancaman nyata terhadap sistem pertahanannya dan menganggap AUKUS bukan hanya sebagai Langkah defensif yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutunya, namun sebagai bentuk sikap represif terhadap upaya pembendungan terhadap China yang semakin kuat (Girard, 2021). Tentu saja sikap China tersebut diikuti dengan langkah memperkuat persenjataan anti kapal selamnya, kemampuan tempur dan dukungan logistic di laut China selatan.
Sementara terhadap perkembangan kerjasama yang dilakukan oleh Kelompok Quad, Beijing memandangnya sebagai sebuah tingkat kecemasan Amerika semata terhadap China, bahkan terhadap Latihan Malabar yang diselenggarakan oleh Quad dijawab oleh China dengan menyelenggarakan latihan Angkatan Laut-nya dengan menggunakan amunisi hidup di Guandong, Laut China Selatan dan di lepas pantai timur laut dekat Liaoning di laut kuning dan tanjong Bohai (Rajagopalan, 2021).
Bersambung ke halaman selanjutnya –>
Indo-Pasifik, suatu terminologi baru yang diciptakan oleh Amerika beserta negara aliansinya, untuk mengganti istilah kawasan Asia Pasific, yang kini menjadi salah satu kawasan ekonomi paling penting di dunia.
Tata Kelola Indo-Pasifik yang dimotori oleh Quad, yaitu ; Amerika, india, Jepang dan Australia berupaya untuk membangun kawasan ekonomi, politik dan keamanan Indo-Pasifik dengan caya mendapatkan dukungan dari negara-negara sekitar, termasuk di kawasan ASEAN.
Indo-Pasifik diharapkan dapat menghambat laju Belt Road Initiative (BRI) yang didorong oleh China, untuk kawasan Asia Pasific sampai Asia Selatan dan Timur Tengah.
Tampaknya inisiatif Indo-Pasifik yang berhadapan langsung dengan Belt Road Initiative akan menjadi perang dingin baru di kawasan Asia Pasifik, baik secara ekonomi, politik maupun keamanan.