Menyelami pemikiran Machiavelli itu terasa paradoks, satu sisi menganjurkan the rule of law negara hukum agar republik berjalan kokoh dan damai. Pada sisi yang lain Machiavelli terlihat realis pengusung the rule of man guna mempertahankan keutuhan republik dari ancaman kejatuhannya. Tidak aneh lalu banyak orang keliru memahami pemikiran Machiavelli, mereka yang kurang teliti dengan gampang menuduhnya seorang hipokrit.
Namun, pandangan Machiavelli baik the rule of law maupun the rule of man wajib dipunyai dalam suatu negara republik sebab dua alasan. Pertama, politik diliputi faktor virtu (kepastian) dan fortuna (ketidakpastian). Jadi, kepemimpinan politik membutuhkan orang yang mampu melampaui tegangan antara virtu dan fortuna: seorang yang berintegritas dan berani mengambil keputusan di tengah situasi sesulit apapun. Kedua, jika negara republik dilanda kejahatan korupsi merajalela yang mengakibatkan hukum tidak berjalan dan norma kehidupan kewargaan amburadul, maka diperlukan pemimpin kuat atau the rule of man dan bukan the rule of law.
Bagi Machiavelli bahaya terbesar kejahatan korupsi bukanlah semata-mata perbuatan melawan hukum, melainkan korupsi menghancurkan common good prinsip esensial sebuah negara republik. Politik kemudian tidak mempunyai pendasaran teleologis, kebersamaan hilang, dan rasa cinta tanah air luntur.
Tentu, saya tidak bermaksud hiperbolik membandingkan Kang Tjetje dengan Niccolo Machiavelli. Kedua orang ini hidup di waktu berbeda dan pada konteks yang berlainan pula. Tetapi, saya kira kegelisahan Kang Tjetje memotret realitas politik berpangkal kepada perspektif seorang Machiavellian.
Ketika komisioner KPK Bambang Widjoyanto semena-mena ditangkap Bareskrim Polri, saya bersama Kang Tjetje dan tokoh-tokoh informal di Bandung menginisiasi aksi “Petisi Keprihatinan Masyarakat Jawa Barat untuk Menyelamatkan Republik”. Penangkapan itu kami menilai serangan balik kelompok oligarki untuk melumpuhkan upaya pemberantasan kejahatan korupsi oleh KPK. Betapa tidak, hasil riset Jeffrey Winters seorang Indonesianis dari Northwestern University Amerika Serikat menjelaskan sampai tahun 2012, ternyata akumulasi kekayaan 40 oligarki setara 10% PDB atau sekitar Rp 1.000 triliun.
Rabu, 9 November 2022 pada sore hari di tengah gemericik air hujan, telepon genggam saya berbunyi. Bukan dari Kang Tjetje, tapi seorang kawan mengabarkan Kang Tjetje menghembuskan napas terakhir. Tidak banyak orang menjalani hidup sampai usia 87 tahun. Gambaran nyata Kang Tjetje disiplin menjaga kesehatan badan, juga mampu merawat akal sehat.
Daya hidupnya menyala menerangi jalan republik yang kian redup. Pelajaran berharga dapat kita petik darinya. Kesetiaan tanpa henti melakukan konfrontasi etik, karena Kang Tjetje memaknai tujuan politik bukan hanya kalkulasi statistik kekuasaan. Persis yang dipikirkan Niccolo Machiavelli 5 abad yang lalu.
Pileuleuyan Kang, sampai jumpa dalam kenangan.
*Penulis: Budiana Irmawan, peneliti Lingkar Studi Kebijakan.