Gerakan Koperasi (Usaha) Perhutanan Sosial dan Sistem Ekonomi Global?
Ketika ide bisnis harus menjadi rencana bisnis dengan disertai kemampuan mempresentasikan dan mengkomunikasikannya dengan pihak-pihak lainnya dalam konteks mengakses permodalan (untuk memenuhi aspek kapasitas berproduksi) dan pemasaran (sebagai bentuk kapasitas pendistribusian), maka seharusnya juga dipahami bahwa itu semua masih hanya ada dalam satu aspek saja yaitu ekonomi. Ada aspek-aspek lainnya yang juga harus dipahami bahwa menjadi orang-orang yang terlibat dalam PS sebagai KPS dan menjadi KUPS, harus memperhatikan aspek sosial, budaya, politik, dan lingkungan secara menyeluruh.
Ketika membicarakan aktivitas ekonomi, khususnya permodalan, tidak bisa menutup mata tentang realitas permodalan dalam bentuk pinjaman yang seringkali praktiknya tidak fair dan tidak adil. Termasuk ketika permodalan sudah dikelola sedemikian majunya dengan otomatisasi menggunakan teknologi seperti fintech start-up. Hal itu juga memunculkan kontradiksi bahkan resistensi. Selain soal teknis, harus kembali memeriksa pada soal ideologis yang berkaitan langsung dengan persoalan nilai, prinsip, dan moralitas. MenurutHearn (2022), harus kembali ke persoalan moral tentang karakter bahwa itu semua hanyalah menyelaraskan dengan kepentingan kapitalisme digital. Dalam krisis ekonomi, sosial, dan budaya kontemporer yang dipicu pandemi Covid-19; akhirnya menggarisbawahi kontradiksi internal dari perkembangan ini, dan berbagai inisiatif resistensi utang (permodalan) muncul selaras dengan gerakan lebih luas untuk keadilan sosial, ekonomi, dan iklim di seluruh dunia.
Substansi dari pelatihan ini sesungguhnya adalah pemberdayaan KPS dari KUPS menjadi Koperasi (Usaha) Perhutanan Sosial secara menyeluruh, dengan kalimat lain, penyadaran tentang perlunya kerjasama pada pembangunan pedesaan yang berkelanjutan. Gerakan koperasi juga berhubungan dengan kerja sama di sektor (pertanian) perhutanan. Pembangunan pedesaan (pinggiran hutan) yang berkelanjutan harus dilihat sebagai hasil dari pembangunan berkelanjutan dari semua entitas ekonomi yang beroperasi di wilayah tersebut, terutama bentuk-bentuk kecil lahan dan pengelolaan rumah tangga. Selain perlu juga untuk mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan pembangunan dalam pembangunan berkelanjutan agar berdampak positif bagi masyarakat secara umum, juga dapat dilakukan melalui koperasi. Makna koperasi sebagai gerakan juga berarti membangun kemandirian pada para pelakunya (kooperator) dan kemerdekaan masyarakat terhadap pihak-pihak lainnya yang kemungkinan justru merugikan mereka meskipun dalam skema kerjasama ataupun tidak.
Hasil penelitian Chekmarev, Lukichev, Konev, & Ulimbashev (2022) tentang bentuk-bentuk kecil pertanian pedesaan yang digabungkan atas dasar kerjasama, tunduk atau menjadi subjek pada fluktuasi siklus ekonomi dan menghadapi masalah ekonomi, lingkungan, demografi dan sosial global yang sama dengan entitas yang tidak bekerja sama. Namun, dampak dari proses negatif ini secara signifikan dilemahkan dengan memanfaatkan potensi kerjasama. Perluasan sistem koperasi, integrasi vertikal dan akses ke pasar global dapat menyebabkan peningkatan pengaruh koperasi dan integrasinya ke dalam sistem hubungan ekonomi global, tetapi juga penurunan kemampuan untuk memperhitungkan kepentingan anggotanya dalam pengambilan keputusan ekonomi. Sehingga, ketika KPS yang pada akhirnya berkoperasipun (dan tidak lagi sekedar sebagai KUPS), perlu untuk berhati-hati dalam berbagai bentuk kerjasama dengan berbagai pihak.
Meskipun koperasi sebagai gerakan sosial memungkinkan untuk menjadi instrumen revolusi sosial secara damai secara global (di tingkat loka, nasiona, dan internasional), namun berkompromi dengan ideologi, struktur, dan sistem kapitalisme-neoliberal yang hegemonik, justru akan melemahkan gerakan koperasi tersebut. Dengan demikian maka, bagi KPS yang memang bersepakat untuk berkoperasi dalam rangka membangun kemandirian ekonomi dan kemerdekaan politik serta bermartabat secara sosial-budaya, sebaiknya tetap harus lebih berpijak dengan kuat dan percaya diri dengan kearifan lokal masing-masing sebagai entitas adat atau komunitas lokal masing-masing. Meskipun demikian, masih memungkinkan untuk bekerja dengan pihak-pihak lainnya, namun juga harus konsisten dengan nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan norma-norma yang menjunjung tinggi kesetaraan dan keadilan sosial. Di tingkat domestik atau nasional misalnya, konsisten dengan komitmen pada Pancasila, sedangkan di tingkat internasional, konsisten dengan komitmen pada Dekalarasi Universal untuk Hak Asasi Manusia dan Tujuan-tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang menjamin keadilan sosial global.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>