Oleh: Haryati*
Sejak kasus kematian Mahsa Amini, gadis 22 tahun Kurdi pertengahan September tahun lalu, Iran mendapat kecaman publik internasional, termasuk dari publik Indonesia. Melalui pemberitaan yang sedemikian massif dan tidak wajar, Mahsa Amini disebutkan mati karena digebuk polisi moral Iran karena menolak mengenakan jilbab. Meski hasil forensik resmi (7/10/22) dari Legal Medicine Organization (LMO) menyatakan kematian Mahsa Amini murni serangan jantung dan tidak ada bukti kekerasan fisik. Namun aksi demontrasi yang mengarah pada kerusuhan massal terus terjadi, setidaknya sampai akhir Oktober.
Demonstrasi yang awalnya damai meminta pertanggungjawaban polisi kemudian mengarah pada aksi-aksi anarkis. Narasi menuntut keadilan berubah menjadi narasi perubahan sistem. Aparat kepolisian harus berhadapan dengan demonstran yang rusuh, menyerang aparat dengan senjata rakitan, merusak dan membakar fasilitas publik, serta melakukan teror pada warga sipil yang tidak mendukung gerakan anti pemerintah. Iran menuding AS dan Barat berada di balik gelombang kerusuhan yang meneriakkan slogan, “Perempuan, Kehidupan dan Kebebasan” tersebut, dengan rangkaian bukti, pimpinan demonstrasi telah mendapat pelatihan sebelumnya setidaknya dari 8 negara dan mendapat kucuran dana asing untuk menciptakan kerusuhan.
Dari luar, Iran diserang secara politik. AS dan Barat secara terbuka mendukung demonstrasi dan Gerakan anti pemerintah di Iran. Begitupun PBB, tanpa ada dialog dan meminta penjelasan apapun dari Iran, secara sepihak mengeluarkan resolusi mengenai situasi HAM di Iran. Resolusi tersebut didukung 80 negara anggota, sementara 68 negara lainnya abstain. Sementara Indonesia termasuk dalam 28 negara yang menolak.
Alasan Indonesia menolak resolusi PBB karena, pertama Indonesia percaya Iran bisa menyelesaikan sendiri masalah internalnya. Kedua, Indonesia lebih mengedepankan dialog lebih dulu dibanding langsung mengecam dan menjatuhkan sanksi. Ketiga, Indonesia menyebut kasus kerusuhan di Iran terlalu dibesar-besarkan oleh negara-negara anti Iran. KBRI Tehran melaporkan Iran masih dalam kondisi kondusif dan stabil, serta 300 lebih WNI di Iran masih terjamin keamanan dan keselamatannya.
Gagal melalui resolusi, PBB mengeluarkan Iran dari badan dunia yang mempromosikan kesetaraan dan pemberdayaan perempuan. Dewan Sosial dan Ekonomi PBB (ECOSOC) mengesahkan resolusi yang dirancang oleh AS untuk mengeluarkan Iran dari Komisi Status Perempuan, walaupun keanggotaan negara Mullah itu akan berakhir pada 2026. AS beserta 28 negara lainnya sebagai anggota Dewan Ekonomi dan Sosial PBB setuju dikeluarkannya Iran dengan alasan Iran semakin menindas hak asasi perempuan termasuk hak asasi kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>