Penulis novel tentang Palestina tidak hanya orang Palestina, tetapi juga orang-orang dari berbagai negara yang belum pernah menginjakkan kaki di Palestina. Tetapi dengan riset dan imajinasi, mereka bisa mengkonstruksi rasa empati dalam jiwa mereka dalam karya-karya yang menggugah nurani.
Misalnya, paragraf yang ditulis oleh Kirana Sulaeman dalam novelnya, Sketsa Gaza.
Saat kubuka feed Facebook, lagi-lagi sinyal melambat. Aku pun memutuskan untuk mencari Wi-Fi gratis yang kadang-kadang bisa kudapatkan dari gereja Saint Porphyrius. Tapi untuk itu, aku harus ke bawah, menuruni gedung enam lantai dengan tangga memutar. Begitu sampai ke bawah, aku duduk di tangga kecil di depan gerbang berkarat rumah susun ini. Di depanku, jalanan distrik Al Darraj berdebu pekat.
…
Aku mengecek HP-ku, ternyata Wi-Fi gereja bisa tertangkap, sinyalnya lumayan kuat. Segera saja, laman feed dipenuhi berbagai macam status dan berita. Pertama-berita, kulihat sepupuku, Wafaa, mengunggah status tentang kondisi Rumah Sakit Shifa tempat ia magang sebelum lulus dari fakultas kedokteran. “Rumah Sakit Shifa Gaza kekurangan obat-obatan penting, seperti yang dibutuhkan untuk prosedur cardiac angiographies. Kemarin, dua bayi prematur meninggal dunia karena tidak ada suntikan yang cukup untuk mengobati gangguan pernapasan mereka. Suntikan yang dikirim baru-baru ini dari Ramallah hanya akan bertahan tiga minggu lagi. Ini semua akibat blokade Israel. #StopBlockade.”
Kirana, dengan mengamati konten-konten yang diunggah anak-anak muda Palestina di berbagai platform media sosial, mampu berempati lalu membangun imajinasi, menciptakan sebuah karya yang mengabarkan kepada dunia, seperti apa kondisi anak-anak muda di Gaza hari ini.
Pengakuan atas pentingnya karya sastra dalam menyuarakan pembelaan dan mendorong bangkitnya gerakan masyarakat dunia untuk membela Palestina, antara lain muncul dalam bentuk pemberian Palestine Prize. Pada bulan November 2022 lalu, penyerahan Palestine Prize ini dilaksanakan di Beirut dan saya berkesempatan menjadi salah satu anggota dewan juri mewakili Asia Tenggara. Sayang sekali, belum ada karya sastra dari kawasan ini yang berhasil mendapatkan penghargaan. Para penerima hadiah ini berasal dari Palestina, Lebanon, Mesir, Iran, dan Yordania. Semoga semakin banyak sastrawan Indonesia yang mencintai kemerdekaan tergerak untuk menulis soal Palestina.
Saya akan menutup tulisan ini dengan mengutip puisi karya Mahmoud Darwis, “Pencinta Palestina”.
Duhai yang bermata dan bertato Palestina
Yang bernama Palestina
Yang bermimpi dan bercita-cita Palestina
Yang satu tangan, kedua kaki, dan tubuhnya Palestina
…
…
kubawa engkau sebagai bekal perjalananku
dan atas namamu, aku teriak dalam lembah:
kuda-kuda Romawi! Kutahu
meski berganti medannya!
Waspadalah..
Dari kilat yang menampar nyanyianku di atas granit
Akulah pemuda terbaik, kavaleri terbaik
Akulah penghancur berhala-berhala.[1]
——-
*Penulis Dina Yulianti (atau lebih dikenal dengan nama pena Dina Sulaeman) adalah dosen di program studi Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran. Ia bisa dihubungi di email dina14@unpad.ac.id.
[1]Terjemahan syair Mahmoud Darwish dikutip dari buku Pencinta dari Palestina, penerjemah: Fazabinal Alim