Ada beberapa hal tidak wujudnya kedaulatan rakyat hari ini yaitu :
Pertama, Rakyat tidak berdaulat dalam masalah pangan. Kedaulatan pangan merupakan pemenuhan hak manusia atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai dengan budaya lokal yang ada. Rakyat berhak atas sembako murah. Indonesia mengalami inflasi 5,51 % sepanjang tahun 2022. Angka ini merupakan rekor teringgi dalam 8 tahun terakhir. Kepala BPS Margo Yuwono mengungkapkan, inflasi tertinggi sepanjang 2022 terjadi pada kelompok pengeluaran transportasi, yakni 15,26% dengan andil 1,84%. Kemudian kelompok pengeluaran perawatan pribadi mengalami inflasi 5,91% dengan andil 0,37%; kelompok makanan, minuman, dan tembakau 5,83% dengan andil 1,51%; serta kelompok pengeluaran penyediaan makanan dan minuman/restoran 4,49% dengan andil 0,4% (databoks.katadata.co.id). Faktor yang melatarbekangi tingginya inflasi itu adalah kelangkaan minyak goreng, anomali cuaca, penetapan kenaikan harga BBM. Langkah yang dilakukan pemerintah adalah operasi pasar, inspeksi pasar, merealisasikan belanja tidak terduga dan mengucurkan dukungan APBD untuk sektor transportasi. Inflasi tinggi membuat rendahnya daya beli rakyat. Dampaknya membuat pertumbuhan ekonomi menjadi melambat. Bagi rakyat yang berprofesi petani, mahalnya harga pupuk membuatnya tidak berdaya dalam bertani. Mahalnya harga solar sangat menyusahkan nelayan dalam kegiatan menangkap ikan di laut.
Kedua, Rakyat tidak berdaulat dalam pendidikan. Paulo Freire (1921-1997) menjelaskan bahwa pendidikan adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi manusia menjadi manusia agar terhindar dari bentuk penindasan, kebodohan sampai pada ketertinggalan. Pendapat Paulo Freire senada dengan apa yang sampaikan oleh Tan Malaka. Tan Malaka (1897-1949) berpendapat bahwa pendidikan itu sebuah usaha untuk membebaskan manusia dari kesengsaraan, ketertindasan, dan ketidaktahuan, menjadikan hidup lebih bermanfaat bagi diri sendiri dan sekitarnya, tidak ada lagi kasta dan pembeda kelas-kelas. Agar kedaulatan pendidikan itu dapat direalisasikan diperlukan pendidikan berbiaya murah atau tanpa biaya diiringi dengan kualitas terbaik. Faktanya di Indonesia, pendidikan itu sangat mahal. Misalnya di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Di Perguruan Tinggi Negeri ada biaya praktikum dan SPP yang relatif mahal. Menjelang akhir masa perkuliahan ada juga biaya KKN, praktek kerja lapangan, hingga biaya wisuda. Kesempatan untuk menikmati pendidikan tinggi makin sulit digapai seiring dengan melambungnya biaya kuliah di PTN. Ini artinya sama dengan melarang orang miskin kuliah. Sistem pendidikan biaya tinggi membuat rakyat banyak tak berdaya menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang pendidikan tinggi. Pendidikan di Indonesia hanya menciptakan manusia berjiwa buruh dan bukan menjadikannya tuan yang berprofesi sebagai entrepreneurdi negeri sendiri. Lebih parahnya lagi setiap pergantian menteri pendidikan, kebudayaan dan pendidikan tinggi maka berganti pula kurikulum.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>