Sebagai pelaku budaya merah, Amir juga ingin mengubah budaya tentara Indonesia yang, menurutnya, tercemar fasisme. Semasa menjadi Menteri Pertahanan, Amir menggagas Tentara Rakyat. Ia melihat bahwa tentara yang ada saat itu adalah tentara hasil didikan Belanda dan Jepang yang bermental penjajah sehingga harus diganti dengan Tentara Rakyat yang revolusioner. Maka ia pun mempersenjatai laskar-laskar dan kekuatan pemuda seperti Pesindo sebagai cikal bakal terbentuknya Tentara Rakyat. Namun, upaya ini lekas disapu Hatta.
Hatta hanya mengakui tentara bekas KNIL dan PETA, sementara laskar-laskar rakyat yang sebagian besar bergabung dalam PKI dianggap kotoran sehingga mesti dibersihkan dari tubuh tentara. Sampai sekarang, upaya untuk mengubah budaya tentara warisan KNIL dan PETA tidak kunjung berhasil. Usaha Amir ini sepertinya memerlukan pemimpin yang bernyali besar di masa depan—untuk pemimpin masa kini rasanya tidak perlu disebutkan karena sudah jelas siapa saja calon-calonnya. Budaya tentara yang diharapkan Amir tentu saja bukan budaya culik menculik, menjadi centeng modal, penjual lisensi, tetapi budaya revolusioner seperti Komandate Che Guevara, bukan seperti Jendral L, Jendral B atau Jendral P.
Terakhir, dan tak kalah penting, adalah Amir membawa budaya front atau budaya kerjasama. Ini bisa dilihat dari upaya tak kenal lelah Amir dalam membangun front sejak ditujukan untuk melawan fasisme hingga FDR. Semua upaya itu jelas tujuannya, yaitu agar front ini menjadi pegangan dalam gerakan. Sebuah Front Rakyat. Agar seperti lidi yang bersatu menjadi satu sapu. Namun, apa yang terjadi sekarang? Budaya front ibarat sudah menjadi barang langka. Mudah terkelilir oleh pragmatisme dan ego masing-masing. Paling banter, front yang ada sekarang adalah front pilpres. Setelah semua mendapatkan jabatan komisaris sesuai derajat dan pangkat, front akan bubar sendiri. Ironis memang, tapi itulah kenyataan hari ini.
Itulah intisari budaya yang kemudian mencerminkan tindakan dan pikiran Amir. Yaitu, budaya merah yang bukan merah jambu.
Bagi kami kau tak hilang tanpa bekas
Hari ini tumbuh dari masamu
Tangan kami yang meneruskan
Kerja agung juang hidupmu
Kami tancapkan kata mulia
Hidup penuh harapan:
Suluh dinyalakan dalam malammu,
Kami yang meneruskan sebagai pelanjut angkatan
.(Puisi Henritte Rolland Holst (Tante Jet) di nisan Aliarcham, Tanah Tinggi)***