Solusi dan Penyelesaian Masalah
Oleh karena itu masalah pelecehan seksual ini bisa saja menghadirkan multi tafsir. Pendekatan rasionalnya adalah melalui pendekatan etika dan moralitas. Menurut kami mengapa hal ini masih terjadi di masyarakat karena a) kurangnya sosialisasi dan kepekaaan social terhadap predator seksual ini. Padahal telah ditemukan banyak kasus pelecehan seksual yang berakhir pada pemerkosaan. Tidak tanggung-tanggung korbannya pun masih anak-anak. Demi memuaskan Hasrat yang tidak tepat para predator seksual rela mengorbankan etika dan Nurani demi kepuasaan dan Hasrat sementara.
Telah banyak ditemukan kasus seperti pemerkosaan guru terhadap muridnya baik di sekolah umum dan yang paling parah terjadi di Pesantren. Artinya masalah ini sudah sangat mengkhawatirkan dan peran sosial masyarakat diperlukan untuk memberikan edukasi agar tidak menjadi korban pelechan seksual. Solusinya diperlukan Gerakan sosial seperti PKK, Karang Taruna, Tokoh Pemuda, pejabat tingkat Kelurahan dan Desa serta pejabat RT atau RW. Sebab merekalah yang mengetahui persis warganya bertindak secara baik atau tidak.
Kemudian, b) korban pelecehan seksual dianggap sebagai masalah aib sehingga terkesan ditutupi. Hal ini sebenarnya keliru. Jika melalui mekanisme yang baik maka aib tersebut bisa saja tidak terbongkar asalkan ada kontrak dan perjanjian antara si pelapor dan apparat serta yang dilaporkan. Banyak terjadi pelecehan seksual yang hanya berakhir dengan kekeluargaan. Padahal implikasinya sangat besar. Jika si predator tidak dilaporkan kepada pihak apparat berwajib maka potensi perlakukan yang sama bisa saja terjadi kepada orang lain. Artinya dengan melaporkan sebenarnya menjadi strategi memutus mata rantai predator seksual untuk Kembali melakukan aksinya. Sebab jika itu tidak terjadi maka rekam jejak si predator tidak akan diketahui padahal predator seksual itu sangat berbahaya. Hal ini juga terjadi karena korban merasa bahwa masalah tersebut adalah sesuatu yang memalukan. Sehingga jika dilaporkan berpotensi menjadi beban keluarga dan menanggung malu secara social.
Dan poin c) kurangnya konseling dan Pendidikan seksual di kalangan remaja. Hal inilah yang membuat masyarakat tidak mengetahui secara pasti tentang perilaku apa saja yang menjadi pelecehan seksual. Sehingga minimnya pengetahuan masyarakat diperlukan konselor untuk menjadi penasehat bagi masyarakat agar bisa mengambil keputusan yang rasional untuk menyelesaikan masalah. Selama ini konseling sangat susah ditemukan di wilayah kelurahan atau kecamatan. Mungkin saja persoalan ini belum dianggap serius. Padahal jika melihat data di atas menunjukan persoalan ini sudah pada taraf yang mengkhawatirkan.
Selain itu, poin d) adanya konten digital yang tidak bisa dikontrol 100 persen membuat potensi perbuatan negatif semakin marak. Artinya banyak pengetahuan seksual diperoleh di media social. Implikasinya banyak yang melakukan uji coba walaupun tanpa melalui proses legal. Hal ini juga dianggap sebagai trend. Oleh sebab itulah control media juga diperlukan agar media menyuguhkan tuntunan yang bermanfaat bukan tontonan yang menimbulkan mudarat. Karena seribu satu macam hal negatif ada di media social. Tinggal kontrol agama dan moralitas yang bisa menekan perilaku negatif. Oleh sebab itulah peran semua pihak diperlukan untuk bisa bersinergi menyelesaikan persoalan ini agar tidak menjadi konsumsi public yang bedampak negative bagi generasi.
*Penulis: Dosen UPN Veteran Jakarta