More

    Negara Harus Memastikan Penyandang Disabilitas dan Kaum Perempuan Mendapat Pekerjaan dan Upah yang Layak

    Menuju Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas di Dunia Kerja: Membongkar Ketimpangan, Membangun Kesetaraan

    Di dunia kerja Indonesia, isu pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas masih menjadi tantangan yang berat. Meski Undang-Undang Penyandang Disabilitas (UUPD) telah memberikan kerangka hukum yang jelas, pelaksanaan di lapangan seringkali jauh dari harapan. Hal ini disebabkan oleh berbagai hambatan struktural, termasuk diskriminasi, kebijakan yang tidak inklusif, serta lingkungan kerja yang tidak ramah bagi penyandang disabilitas.

    Penerapan kuota pekerja disabilitas—1 persen untuk perusahaan swasta dan 2 persen untuk lembaga pemerintah—masih minim realisasi. Ketidaksinkronkan data, kurangnya pengawasan, serta kebijakan yang diskriminatif menjadi kendala utama. Di Kota Tangerang, misalnya, dari tujuh perusahaan besar yang mempekerjakan ribuan buruh hanya 144 penyandang disabilitas yang dipekerjakan. Sementara itu, di Yogyakarta dan Semarang, pelaksanaan kuota ini juga berjalan tidak optimal dengan alasan klasik: keterampilan penyandang disabilitas dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan pekerjaan.

    - Advertisement -

    “Paradigma abelisme—yang mengukur kemampuan individu berdasarkan standar “normalitas” fisik dan mental—masih mengakar dalam dunia kerja. Istilah seperti “cacat” yang kerap digunakan dalam regulasi resmi mencerminkan bias tersebut. Regulasi seperti Permenakertrans Nomor 25 Tahun 2008 bahkan memposisikan kecelakaan kerja dan disabilitas sebagai kalkulasi kompensasi, bukan sebagai isu perlindungan atau pemberdayaan pekerja,” kata Kokom Komalawati.

    Beban Ganda Perempuan Penyandang Disabilitas

    Perempuan penyandang disabilitas menghadapi diskriminasi berlapis, baik sebagai perempuan maupun sebagai individu dengan kebutuhan khusus. Kisah NA, seorang penyandang disabilitas yang bekerja di Dinas Sosial DKI Jakarta, menggambarkan tantangan tersebut. Meskipun telah bekerja selama lima tahun sebagai verifier data, ia masih menghadapi lingkungan kerja yang tidak menyediakan akomodasi layak, seperti aksesibilitas fisik. NA harus bersusah payah menaiki tangga manual di lantai 5 setiap hari tanpa fasilitas pendukung.

    Selain itu, perempuan penyandang disabilitas sering kali mendapatkan perlakuan diskriminatif yang lebih parah dibandingkan rekan mereka yang nondisabilitas. Mereka cenderung dipekerjakan pada pekerjaan dengan upah rendah atau kontrak kerja fleksibel yang rentan pemutusan sepihak. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan menjadi kelompok pertama yang diberhentikan ketika perusahaan menghadapi tekanan ekonomi atau relokasi.

    Perlakuan diskriminatif lainnya dialami perempuan penyandang disabilitas yang sedang hamil. Alih-alih mendapatkan perlakuan khusus seperti pekerja hamil lainnya, mereka dipaksa bekerja dalam kondisi yang tidak mendukung, seperti berdiri sepanjang hari tanpa kursi yang sesuai kebutuhan fisiknya.

    Dalam rangka menyambut Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada 25 November, kami, menuntut:

    1. Negara dan pengusaha harus memastikan dunia kerja yang inklusif dan ramah gender dengan mendorong semua instansi dan perusahaan tidak mencantumkan kualifikasi pekerjaan yang tidak ramah Penyandang Disabilitas dan biased gender.
    2. Mendesak negara mencabut peraturan perundangan yang mengondisikan kecelakaan kerja yang menyebabkan disabilitas sebagai sakit berkepanjangan yaitu, Pasal 81 angka 43 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 153 ayat (1) huruf a UU Ketenagakerjaan.
    3. Mendesak agar KND (Komisi Nasional Disabilitas) berdiri independen bukan di bawah Kementerian Sosial dan mengefektifkan ULD (Unit Layanan Disabilitas).

    Kami juga menyerukan serikat buruh, organisasi perempuan, dan Penyandang Disabilitas menagih tanggung jawab negara agar menyediakan dunia kerja yang inklusif dan bebas dari kekerasan berbasis gender.

    Kami juga mendukung perjuangan serikat buruh yang sedang menuntut kenaikan upah minimum.

    ***

    Aliansi untuk Hak Kerja Layak adalah aliansi serikat buruh, organisasi penyandang disabilitas dan pemerhati perburuhan, yang terdiri dari FSBN KASBI, FSBKU KSN, HWDI, PPEE FSPMI, LION, AFWA, SEHATI Sukoharjo, Perempuan Mahardika, JALA PRT, Kalyanamitra, FSBPI, FSBI, FSBM, YAPESDI, FSPBI, P2RI, LIPS.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here