Mengutamakan Hak Asasi Manusia dalam Penyidikan
Dalam paparannya berjudul ‘Urgensi Memperkuat Pengawasan dan Akuntabilitas Penyidikan dalam Revisi KUHAP’, Arif Maulana membahas pentingnya penguatan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam proses penyidikan. Ia mengangkat data dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang mencatat adanya 46 kasus kekerasan dan penyiksaan dalam proses penyidikan oleh aparat penegak hukum sepanjang 2022 hingga 2024, dengan total 294 korban. Beberapa di antaranya bahkan dilaporkan meninggal dunia.
Arif juga menyampaikan pandangannya terkait perlunya peningkatan transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi revisi KUHAP. Ia menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara kewenangan aparat penegak hukum dalam proses penyidikan dengan perlindungan hak-hak dasar semua pihak yang terlibat, termasuk tersangka, terdakwa, korban, dan saksi. Menurutnya, penyediaan bantuan hukum sejak awal proses penyidikan merupakan aspek krusial dalam mewujudkan proses peradilan yang adil dan menghormati prinsip-prinsip HAM.
Arif menutup paparannya dengan menyerukan perlunya revisi KUHAP yang benar-benar berpihak pada keadilan, bukan sekadar memperkuat kekuasaan negara atas rakyat. “Kita butuh KUHAP baru yang sungguh-sungguh menjamin proses peradilan yang jujur, adil, dan menghormati hak asasi manusia,” ucapnya.
Menghormati Martabat Manusia dalam Proses Penyidikan
Dalam pemaparannya, Dr. Fachrizal menekankan bahwa penerapan hukum pidana harus tetap menghormati martabat manusia. Ia mengingatkan pentingnya menjaga proses penyidikan dari perlakuan yang tidak manusiawi, termasuk membatasi eksposur tersangka di media massa.
“Penerapan upaya paksa, seperti penahanan, harus dilakukan secara proporsional dan bertujuan untuk memastikan kehadiran terdakwa di persidangan, bukan sebagai penghukuman sebelum adanya putusan pengadilan,” ujar Dr. Fachrizal.
Dr. Fachrizal juga menyampaikan bahwa reformasi hukum acara pidana perlu mempertimbangkan sejumlah prinsip penting, termasuk exclusionary rules, yaitu ketentuan bahwa bukti yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat digunakan di persidangan. Ia juga menyoroti prinsip fruit of the poisonous tree, yang menyatakan bahwa bukti lanjutan yang berasal dari bukti tidak sah turut dianggap tidak sah.
Di akhir paparannya, Dr. Fachrizal menekankan pentingnya memperkuat peran hakim sejak tahap awal penyidikan. Ia mengusulkan penguatan mekanisme praperadilan, bahkan mempertimbangkan model hakim komisaris seperti yang diterapkan di beberapa negara, untuk memastikan proses penyidikan berjalan sesuai prinsip keadilan.
Restorative Justice: Solusi Alternatif dalam Penyelesaian Kasus Kejahatan
Bersambung ke halaman selanjutnya –>






