More

    Mother’s Day; Mimpi Buruk Perempuan Palestina

    Sebanyak 2000 perempuan dan anak perempuan di Gaza harus menderita cacat permanen akibat serangan Israel sejak 7 Oktober 2023.

    Kepala kantor media pemerintah Gaza

    Ditawan, Disiksa, Diperkosa

    Belum berakhir di situ, perempuan di Gaza juga harus mengalami penawanan. Kesalahan mereka hanya satu, terlahir sebagai perempuan Palestina. Kita tahu sendiri, ketika Israel menukar tawanan, kondisi fisik tawanan Palestina selalu buruk, mereka kesulitan berjalan dan bergerak. 

    Seorang anak perempuan di Tepi Barat pernah ditangkap karena melempari tank Israel dengan batu. Anak itu lantas diambil dan diperkosa secara bergilir oleh Israel. Peristiwa di Al Shifa Hospital juga tak bisa kita lupakan. Seorang perempuan hamil diperkosa di depan suami dan anaknya. Semua orang yang berada di daerah Al Shifa Hospital juga dipaksa melihat tindakan keji itu.  

    - Advertisement -

    Perempuan-perempuan di Palestina harus mengalami fase-fase terburuk dalam hidup. Di Indonesia, kita mungkin takut keluar larut malam, di Palesitna perempuan takut setiap waktu. Sewaktu-waktu mereka bisa diculik oleh Israel, tidak hanya malam hari. Setiap detik di Palestina adalah saat-saat mencekam dan menakutkan. Mereka bahkan lelah karena rasa takut. 

    Ketika ditawan mereka juga mengalami penyiksaan yang tidak bisa kita bayangkan. Penyiksaan yang membuat tubuh mereka kesulitan bergerak. Mata ditutup, tangan diikat, kaki diikat. Pernah terbayang? Jika ada satu bagian tubuh yang gatal, kita tidak bisa menggaruknya. Belum berbagai masalah lain, seperti dipukul dan disiksa tanpa bisa melawan karena kaki dan tangan terikat. 

    Cacat Permanen

    Kepala kantor media pemerintah Gaza pada Hari Perempuan Internasional melaporkan sebanyak 2000 perempuan dan anak perempuan di Gaza harus menderita cacat permanen akibat serangan Israel sejak 7 Oktober 2023. Pernah terbayangkan? Seorang perempuan harus mengalami cacat karena tidak melakukan apa-apa? Satu-satunya yang mereka lakukan hanyalah bertahan hidup. Namun bertahan hidup di Palestina tampaknya sesuatu yang membahayakan bagi Israel. Betapa ketakutannya Israel melihat seorang perempuan di Palestina hingga harus dibuat cacat agar tak bisa melakukan apa-apa. 

    Evakuasi

    Menjadi perempuan di Palestina artinya harus siap untuk setiap kondisi terburuk. Evakuasi adalah salah satunya. Bisa dibayangkan? Perempuan membutuhkan privasi yang sangat rumit dibanding laki-laki. Perempuan harus menjaga auratnya setiap saat. Dalam kondisi evakuasi, setiap perempuan di Palestina selalu mengenakan kerudungnya. Setiap saat bahkan saat mereka tidur, mereka tidak pernah menanggalkan kerudungnya. Mereka takut, sewaktu-waktu terjadi penyerangan, mereka tidak dalam kondisi tertutup auratnya. 

    Menjadi perempuan di Palestina adalah takdir buruk. Takdir yang membuat mereka membenci tubuhnya sendiri akibat diperkosa, membenci dirinya sendiri karena disiksa, dan membenci situasi di Palestina karena harus menderita. Menjadi perempuan di Palestina artinya harus selalu siap menghadapi hinaan, perkosaan, siksaan, dan pembunuhan tanpa satu pun kesalahan yang dilakukan. Teriakan tentang kesetaraan gender di Barat sana terlihat sangat palsu. Ketika mereka mendukung Israel yang memperlakukan perempuan seperti hewan, bukan manusia. Di hari Ibu, perempuan Palestina merayakannya dengan darah dan kematian, dengan derita dan air mata, dengan harga diri yang ternoda, dengan jiwa dan raga yang terkoyak.  

    *Penulis adalah seorang Ibu, Anggota FPN (Free Palestine Network).

    - Advertisement -

    5 COMMENTS

    1. Bayangkan,jika kita adalah salah satu dari mereka, perempuan Palestina yang menanti giliran dibunuh setiap 2 jam sekali. Bukan sekadar angka, mereka adalah manusia. Ibu, anak, keluarga.
      Seorang gadis kecil seperti Hind Rajab pun ditembak ratusan peluru.
      Di Gaza, menjadi perempuan berarti berada di ujung kehancuran, karena mereka tahu: hancurkan perempuan, hancurkan generasi. Inilah wajah genosida. Kita tak bisa diam.

    2. Dengan membunuh perempuan dan anak-anak, Zionis-Israel sejatinya sedang berupaya melenyapkan sebuah generasi. Itu kejahatan dalam levelnya yang paling kejam.

      Para ibu sedunia, bersatulah. Dengan persatuan yang dirajut bersama ini kita kelak akan menang.

    3. Tak tau lagi mesti berkata apa. Habis sudah tabungan kosa kata untuk membahasakan kondisi perempuan Gaza. Mata pun rasanya sudah tak sanggup lagi menitikkan airnya menyaksikan derita para kaum hawa itu. Namun sebagai sesama makhluk yang bernama ibu, sebagai sesama manusia hati akan terus menangis, meronta, meminta kita untuk peduli. Apa yang bisa kita perbuat? Bagaimana kita bisa membantu? Pertanyaan demi pertanyaan timbul di benak kita.

      Ibu Dina Sulaeman pernah memberi jawaban atas pertanyaan2 di atas sewaktu beliau berkunjung ke Kendari. Beliau menjelaskan bahwa bantuan setidaknya bisa dilakukan di sosial media dengan merepost postingannya ke sosmed kita. Istilah jaman sekarang ‘sharing is caring’. Itu hanya satu contoh. Intinya adalah kemauan. Apakah kita berniat mengulurkan tangan dengan lembut dan berusaha meringankan beban saudara kita di Palestina. Semoga genosida ini segera berakhir. Semoga Gaza kembali damai. Doa kita untuk mereka yang jauh di jarak tapi senantiasa dekat dalam munajat.

    4. Sungguh tak terbayangkan menjadi perempuan di Gaza. Mereka bukan hanya kehilangan rumah dan anak-anak, tapi juga dihancurkan secara fisik dan batin hanya karena mereka adalah ibu dan perempuan Palestina. Dunia harus berhenti menutup mata. Ini bukan sekadar konflik, ini adalah pemusnahan generasi. Hari Ibu yang seharusnya penuh cinta, di Gaza menjadi ladang air mata. Siapa lagi yang akan bersuara kalau bukan kita? Semoga setiap tulisan seperti ini bisa menggugah nurani dan membuka mata lebih banyak orang tentang genosida yang tengah berlangsung.

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here