Yaman hari ini adalah kombinasi antara tragedi dan pelajaran. Ia menunjukkan kepada dunia bahwa ketangguhan bukan hanya soal senjata dan uang, tapi juga soal watak dan kesetiaan pada nilai.
Kita salah memahami Yaman jika guncangan ekonomi akan membuat mereka tertekan. Yaman berbeda dari tetangganya yang kaya minyak seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, atau Qatar. Negeri ini pegunungan, gersang, dan sulit diakses. Tapi justru karena itulah, Yaman menjadi wilayah yang tangguh dan tahan terhadap dominasi eksternal. Di daerah seperti Saada atau Al-Mahwit, masyarakat hidup dari bertani di lereng-lereng curam, membangun rumah dari batu, dan menggali air dari tanah keras. Kondisi ini membentuk karakter masyarakat yang tangguh, mandiri, dan bersahaja.
Sementara Dubai memamerkan gedung pencakar langit dan mobil sport, kota seperti Taiz justru memamerkan ketahanan hidup: pasar tradisional yang tetap buka di tengah konflik, anak-anak sekolah yang tetap belajar meski tanpa listrik. Yaman bukan negara biasa di Jazirah Arab. Ia adalah tempat lahirnya peradaban kuno seperti Saba dan Himyar, sekaligus saksi bisu runtuhnya banyak kerajaan dan perang saudara yang tak kunjung reda. Di sinilah, watak bangsa dibentuk bukan oleh kemewahan minyak seperti di Qatar atau Arab Saudi, melainkan oleh gunung, debu, dan sejarah panjang pertahanan diri.
Kita salah memahami Yaman jika kondisi memprihatinkan yang mereka alami akan membuat mereka diam atas penjajahan zionisme di Palestina. Di antara bangsa Arab, rakyat Yaman termasuk yang paling vokal dan konsisten mendukung perjuangan Palestina. Sejak awal agresi Israel ke Gaza pada 2023, kelompok Houthi menyerang kapal-kapal yang terhubung ke israel di Laut Merah sebagai bentuk solidaritas terhadap Palestina.
Anda boleh setuju atau tidak dengan Houthi, tetapi fakta bahwa satu-satunya negara Arab yang melawan israel secara nyata adalah Yaman, patut menjadi renungan. Bahkan pemuda-pemuda Yaman, khususnya di bagian utara, tetap berdemo untuk Palestina di tengah blokade dan kelaparan. Bagi masyarakat Yaman, solidaritas terhadap sesama Muslim lebih penting daripada kompromi dengan kekuatan besar. Ini mencerminkan karakter bangsa yang lebih digerakkan oleh nilai moral dan keberanian, ketimbang hitung-hitungan diplomatik.
Yaman hari ini adalah kombinasi antara tragedi dan pelajaran. Ia menunjukkan kepada dunia bahwa ketangguhan bukan hanya soal senjata dan uang, tapi juga soal watak dan kesetiaan pada nilai. Dalam dunia Arab yang semakin mengglobal, bangsa Yaman tetap berdiri sebagai simbol dari wajah Arab lama: keras, religius, dan tidak mudah diatur. Dalam konteks regional, Yaman adalah faktor pengganggu (disruptor) yang tak bisa diabaikan. Ketika negara-negara lain stabil tapi kian kehilangan suara moral, Yaman justru menjadi “suara sumbang” yang mewakili keresahan dan idealisme bangsa Arab.
Kita, umat Islam di Indonesia, harus berhenti melihat Yaman dengan kacamata media arus utama. Sudah saatnya kita membaca ulang sejarah, mendengar suara rakyat Yaman dari sumber-sumber terpercaya, dan menyadari bahwa krisis Yaman adalah juga bagian dari luka umat yang lebih besar: keterpecahan, ketidakpedulian, dan kepentingan politik yang menyingkirkan nurani. Kita salah memahami Yaman jika kisah Maulid Habib lebih kita akrabi daripada kondisi terkini di Ma’rib dan Sa’dah. Jika kita betul-betul mencintai Rasul dan keluarganya, maka kepedulian terhadap negeri Yaman adalah sebuah konsekuensi.
*Penulis adalah anggota FPN (Free Palestine Network).






