More

    Kita Salah Memahami Yaman

    Oleh: Ryo Disastro*

    “Telah datang kepada kalian penduduk Yaman, mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya dan paling halus jiwanya.”

    HR. Ahmad

    Di tengah sorotan dunia terhadap apa yang terjadi di Gaza dan konflik di Timur Tengah, Yaman memiliki peran yang penting. Sebagai bagian dari bangsa Arab dan dunia Islam, Yaman tetap berdarah dalam diam. Tak banyak yang benar-benar memahami negeri yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai tanah yang diberkahi ini (QS.Saba’:15). Lebih menyedihkan lagi, banyak kesalahpahaman publik tentang Yaman terus menyebar, bahkan di kalangan umat Islam sendiri, khususnya umat Islam di Nusantara yang masih mengasosiasikan Yaman dengan pengkultusan terhadap kaum tertentu.

    Kondisi ekonomi Yaman pada tahun 2025 ini berada dalam krisis yang mendalam. Ekonomi Yaman mengalami kontraksi sebesar 1% pada tahun 2024, setelah penurunan 2% pada tahun sebelumnya. Sejak diperangi oleh Arab Saudi dan koalisi militernya pada 2015, PDB per kapita riil telah menurun sekitar 54%, mendorong mayoritas penduduk ke dalam kemiskinan (www.worldbank.org). Inflasi di Yaman tetap tinggi, dengan rata-rata sekitar 20,6% selama dekade terakhir. Nilai tukar rial Yaman telah merosot tajam, dari sekitar 1.200 per dolar AS menjadi sekitar 2.400 di wilayah yang dikuasai pemerintah.

    - Advertisement -

    Lebih dari 60% populasi Yaman menghadapi kondisi rawan pangan, dengan sekitar 17 juta orang diperkirakan akan terdampak hingga Februari 2025 lalu. Harga makanan pokok meningkat tajam, sebagian besar disebabkan oleh devaluasi mata uang dan kenaikan harga bahan bakar. Lebih dari 19,5 juta orang di Yaman membutuhkan bantuan kemanusiaan pada tahun 2025, meningkat hampir 7% dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, dengan segudang cobaan itu, bangsa Yaman tetap bertahan dan menjadi anomali.

    Kita salah memahami Yaman jika saat ini menganggap Yaman sebagai negara gagal dan terbelakang. Ya, Yaman memang negara termiskin di Semenanjung Arab. Tapi menyebutnya “gagal” adalah bentuk arogansi sejarah. Yaman adalah pusat peradaban kuno Arab Selatan—Saba, Himyar, dan Qataban. Inilah negeri Ratu Bilqis. Air Terjun Ma’rib dan sistem irigasi mereka disebut dalam Al-Qur’an karena kecanggihan teknologinya.

    Hari ini, Yaman bukan gagal (baca:miskin) karena bodoh, tapi karena dizalimi oleh kepentingan luar. Sejak “Arab Spring”, negara ini dijadikan medan tempur proksi antara Saudi, AS, dan UEA untuk memblokade pengaruh Iran-yang anti zionis dan anti barat-di kawasan. Yang gagal bukan rakyat Yaman, tapi sistem internasional yang membiarkan mereka menderita tanpa perhatian karena berdiri di atas prinsip yang berbeda.

    Kita salah memahami Yaman jika meyakini bahwa konflik internal yang terjadi di sana sebagai konflik Sunni-Syi’ah. Konflik di Yaman memang melibatkan kelompok Houthi (yang Syiah) dan pemerintah yang didukung koalisi Saudi dan AS. Tapi menyederhanakannya sebagai “perang Sunni-Syiah” adalah kesalahan besar. Konflik di Yaman adalah perang geopolitik regional antara Saudi (yang pro Barat) versus Iran (yang anti barat). Gregory Johnsen, seorang analis perang asal AS, menulis dalam bukunya The Last Refuge: Yemen, al-Qaeda, and America’s War in Arabia (2012), “This is less a war about theology than about power and control.”

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here