Oleh: Mansurni Abadi*

Manusia itu makhluk eksistensialis. Manusia memiliki kesadaran akan keberadaannya sendiri dan kebebasan mutlak untuk menentukan esensi (makna, nilai, identitas) hidupnya sendiri.
Berbeda dengan benda (misalnya palu yang esensinya sebagai alat pemukul sudah ditentukan sejak dibuat), manusia “terlempar” ke dunia ini tanpa tujuan atau makna bawaan yang sudah ditetapkan.
Meskipun dalam agama misalnya Islam dan Kristen yang mengarisbawahi tujuan manusia harus menjadi pemimpin yang membawa berkah bagi dunia namun tujuan ini bukanlah makna bawaan yang begitu saja menjadi jika tidak didasarkan pada kesadaran terhadap tanggung jawab besar.
Disatu sisi dalam menjalani keberadaanya sebagai makhluk eksistensial, manusia seringkali mengalami kecemasan eksistensial (karena tidak ada panduan mutlak dari luar).
Tapi dari sinilah keunikan dari Manusia karena mampu untuk mempertanyakan keberadaannya, menghadapi absurditas hidup, dan secara aktif menciptakan makna dan nilai melalui pilihan dan tindakannya dalam dunia yang dia tinggali.
Lalu bagaimana manusia membuktikan eksistensinya? Setidaknya dari semua pendapat tentang ini, adalah Filsuf Hannah Arendt yang membagi tiga komponen utama eksistensi Manusia yaitu berkerja, berkarya, dan bersuara. Artinya perihal Harta, kuota, casan, apalagi pasangan hanyalah fasilitas untuk mencapai kesempurnaan tiga komponen utama tadi.
Manusia tanpa ketiga aspek tadi bukanlah manusia sejati. Kalau kata orang zaman dulu “Belum jadi orang” namanya. Karena dengan bekerja manusia menjaga martabatnya. Melalui karya manusia membangun reputasinya. Dan dengan bersuara manusia menunjukkan daulatnya, menunjukkan kepentingan atau kehendaknya.
Namun kemudian datanglah era disrupsi yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi yang kemudian mengancam tiga inti eksistensi manusia. Ketiga inti itu seperti kebebasan, otentisitas, dan kemampuan mencipta makna.
Seperti yang diwanti-wanti oleh tiga filsuf dari Martin Heidegger yang menilai disrupsi sebagai Gestell (penyangga) yang mereduksi manusia menjadi sekadar “cadangan” dalam mesin teknis, mengikis esensi kemanusiaan; Byung-Chul Han yang mengkritik banjir informasi dan budaya performa yang menciptakan “masyarakat kelelahan”, menghancurkan ruang privat dan kedalaman batin yang vital bagi identitas otentik; sementara Herbert Marcuse mengecam kapitalisme disruptif yang menjerat manusia dalam “satu dimensi” melalui kebutuhan palsu dan konsumerisme, mematikan daya kritis dan imajinasi.
Secara kolektif, ketiga filsuf ini memperingatkan bahwa disrupsi, tanpa kesadaran kritis, berpotensi memperdalam alienasi, kehampaan, dan penyeragaman eksistensi manusia.
Lalu kemudian bagaimana menyelamatkan eksistensi manusia dari jebakan distrupsi ?
Filsafat menjadi Koentji
Bersambung ke halaman selanjutnya –>