Pada aliran Kedua, Filsafat yang melihat sumber segala masalah ada di luar diri, sehingga penyelesaianpun harus fokus pada masalah-maslah di luar. “Pada aliran Kedua, Filsafat yang melihat sumber segala masalah ada di luar diri—meliputi struktur sosial, sistem politik, ketimpangan ekonomi, atau desain teknologi—sehingga penyelesaian pun harus fokus pada transformasi eksternal.
Dalam menghadapi disrupsi eksistensi manusia solusinya terletak pada restrukturisasi radikal tatanan kolektif dengan cara mereformasi sistem kapitalis yang eksploitatif, membongkar hierarki kekuasaan, dan menata ulang relasi manusia-alam-teknologi melalui regulasi global dan keadilan antar-generasi.
Ancaman eksistensial bukanlah kesalahan individual, melainkan produk sistemik dari logika pertumbuhan tanpa batas, dominasi antroposentris, dan kegagalan tata kelola global. Pada konteks yang kedua bersikap konfrontatif terhadap kekuatan eksternal yang mendisrupsi menjadi penting dilakukan.
Sementara Aliran ketiga, dimana Filsafat melihat sumber masalah berada di dalam dan di luar diri. karena itu penyelesaiannya pun mesti berimbang antara keduanya maka mengatasi eksistensi manusia yang terancam oleh disrupsi perlu melalui sinergi transformasi personal dan restrukturisasi sistemik: penguatan kesadaran etis-individu (inner cultivation) dibarengi reformasi kelembagaan yang inklusif dan berkelanjutan.
Pada konteks solusinya terletak pada pendidikan holistik yang membangkitkan tanggung jawab ekologis, kebijakan berbasis etika keutamaan (virtue ethics), serta desain teknologi yang memadukan kearifan manusia dan prinsip kesalingtergantungan. Hanya dengan merangkul kedua dimensi ini, manusia dapat merespon disrupsi bukan sebagai korban pasif, melainkan sebagai agen aktif yang memulihkan keseimbangan mikrokosmos (diri) dan makrokosmos (dunia).
Individu dalam konteks pemahaman filsafat di aliran ketiga ini perlu mendasari eksistensinya secara Proaktif. Berdasarkan pertimbangan akal, tidak emosional serta tidak berdasarkan kepada stimulus orang, perbuatan orang lain, bukan reaktif atau bersikap berdasarkan apa yang diperbuat orang lain.
Meski pendekatan filsafat aliran ketiga ini cenderung integratif, namun praksisnya sendiri sering diabaikan penguasa karena menuntut komitmen paradigmatik yang kompleks dan mengikis logika kekuasaan yang dikotomis yang cenderung membagi realitas secara hitam-putih, hierarkis, dan eksklusif untuk mempertahankan dominasinya.
*Mahasiswa Filsafat Universitas Avondalle, Australia.






