Tindakan Cucun Terlalu Berlebihan
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, berpendapat bahwa apa yang dilakukan DPR terlalu berlebihan. Apalagi, pidato yang memuat bahasa Inggris tak sepenuhnya, sehingga tidak bisa dianggap sebagai pelanggaran. Dari segi regulasi yang disinggung, yakni Undang-Undang Nomor 24/2009, tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, aturan itu tak spesifik memuat soal larangan menggunakan bahasa asing dalam pengucapan sumpah jabatan rektor.
Pasal 64 UU 24/2009 itu berisi soal larangan, di mana setiap orang dilarang mengubah lagu kebangsaan dengan nada, irama, kata-kata, dan gubahan lain dengan maksud untuk menghina atau merendahkan kehormatan lagu kebangsaan (huruf a). “Itu DPR hanya gimmick aja. Menggunakan istilah asing di kampus kan sudah jamak. Yang penting kan tidak full pidato. Ya jangan lebai lah,” kata Ubaid.
Selain itu, warga Indonesia juga tidak diperkenankan untuk memperdengarkan, menyanyikan, ataupun menyebarluaskan hasil ubahan lagu kebangsaan dengan maksud untuk tujuan komersial, serta menggunakan lagu kebangsaan untuk iklan dengan maksud untuk tujuan komersial (huruf b dan c).
Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul Wicaksana Prakasa, juga beranggapan bahwa sikap DPR terlalu berlebihan. Kalimat berbahasa Inggris yang diucapkan rektor UPI tidak digunakan dalam teks sumpah secara utuh. Ia juga bilang hal ini akhirnya tidak bisa disimplifikasi adanya sanksi untuk penggunaan bahasa asing dalam sumpah rektor.
“Istilah-istilah misalkan values for value, full commitment no conspiracy, dan defender integrity itu adalah bagian dari tugas dan tanggung jawab rektor yang akan memimpin perguruan tinggi untuk mengarungi pergaulan global. Sehingga pesannya atau message-nya harus juga tersampaikan kepada masyarakat global,” papar Satria.
Ia menekankan UU ini tidak terkait dengan larangan penggunaan bahasa asing dalam pelantikan rektor atau sanksi pidana yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku yang menggunakan bahasa asing dalam mengucap sumpah. Adapun salah satu perbuatan yang diganjar hukuman menurut UU tersebut, yakni setiap orang yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan bendera negara.
“Coba dicek ya di pasal 64 itu, ada larangan itu ya, mengubah lagu kebangsaan, memperkenalkan atau menyanyikan lagu hasil ubahan lagu kebangsaan atau menggunakan lagu kebangsaan untuk iklan misalkan, itu larangan. Nah kewajiban warga negara ini ya tanggung jawab kita ya sebagai warga negara dan ini bersifat seruan ya berisi moral positif, seperti itu, tidak ada sanksi,” ujar Satria
Ketentuan ini terdapat dalam pasal 66, di mana perbuatan tersebut bisa dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun, atau denda paling banyak Rp500 juta. Sementara pasal 25 ayat (3) menyebut, bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa.
“Dan ketentuan pidana dari pasal 66 sampai pasal 71 di sana (UU 24/2009) dijelaskan apakah ada misalkan penggunaan bahasa asing untuk katakanlah kepentingan pelantikan rektor itu kemudian betul-betul dilarang. Sekali lagi, Pak Cucun atau anggota DPR lain seharusnya bisa me-refer langsung dari undang-undang, yang misalkan dianggap sebagai pertentangan ya, dari masalah yang terjadi, misalkan contoh pelantikan rektor UPI, harus me-refer langsung ke undang-undang Nomor 24 Tahun 2009,” sambung Satria.
Lalu dalam pasal 28 dikatakan bahwa “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri”. Tidak ada poin yang berisi terkait kewajiban menggunakan bahasa Indonesia dalam konteks pelantikan rektor.
Satria mendorong para wakil rakyat untuk bisa menghargai integritas atau otonomi perguruan tinggi, serta memastikan kampus bisa terbebas dari kepentingan politik dan kelompok. Sebab, jika merujuk pada Magna Charta Universitatum, tata kelola pendidikan tinggi harus betul-betul menjunjung tinggi kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan atau otonomi perguruan tinggi.
“Sehingga ini yang kemudian menjadi concern, termasuk misalkan penggunaan wewenang rektor nantinya untuk memberikan gelar kehormatan dan lain sebagainya, yang sarat akan politik transaksional. Ini yang seharusnya menjadi concern dari DPR ya, bukan bahasa yang istilahnya formalitas, dan kalau bahasa gen Z itu ‘pansos’, gitu ya,” ujar Satria.
Guru besar sekaligus analis kebijakan pendidikan dari UPI, Cecep Darmawan pun mengungkap bahwa pelantikan rektor sah, di mana dua anggota dewan, sebagai anggota MWA, juga sepakat tanpa mempersoalkan teks pelantikan. Meski polemik penggunaan bahasa asing dalam pelantikan rektor tidak bisa dianggap sebelah mata, fokus yang berlebihan terhadap hal ini dianggap tak sesuai tempatnya.
DPR semestinya bisa menyoroti masalah pendidikan lain yang jumlahnya masih sangat banyak dan mendesak. “Menurut saya sih tidak dianggap bertentangan dengan undang-undang, karena teksnya memang bahasa Indonesia dan bukan bahasa asing. Kalau teksnya bahasa asing, saya juga akan protes. Ini memang bahasa Indonesia. Cuma ada sisipan beberapa kata yang itu pun slogan gitu,” ujar Cecep
Ia menggarisbawahi soal pentingnya DPR berpihak secara pendanaan terhadap perguruan tinggi. Selain itu, menurutnya, DPR juga perlu memperhatikan kesejahteraan guru dan dosen. Tak cuma itu, masih ada beberapa persoalan lain yang perlu diberi perhatian khusus oleh DPR, menurutnya, misal terkait tata kelola pendidikan.
“Sekarang bandingkan hakim saja 3 kali (lipat kenaikan) gajinya. Saya tidak menyatakan dosen lebih hebat dari hakim, tidak ya. Tapi saya yakin, hakim itu dilahirkan oleh para dosen juga. Mereka dulu pernah kuliah ya, pasti lahir dari para dosen. Bener kan? Jadi artinya kalau hakimnya diperhatikan harusnya dosennya juga diperhatikan,” katanya.
Artinya, DPR jangan sampai hanya berfokus pada hal-hal yang mungkin dianggap populis atau nasionalis, tapi justru secara substantif tidak berisi. DPR mestinya bisa lebih concern terhadap isu-isu yang lebih krusial dalam tata kelola perguruan tinggi.






